tirto.id - Pernyataan Hermawan Susanto (27) yang mengancam bakal memenggal kepala Presiden Joko Widodo saat berunjuk rasa di depan Bawaslu RI berbuntut panjang. Hermawan ditetapkan sebagai tersangka dengan jeratan pasal makar serta Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) oleh Polda Metro Jaya.
Hermawan disangka melanggar Pasal 104 KUHP dan Pasal 27 ayat (4) juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Ia diduga melakukan makar dengan maksud membunuh dan melakukan pengancaman terhadap presiden.
Kepolisian memastikan pasal makar dan UU ITE yang disangkakan terhadap Hermawan berdasarkan fakta hukum. Meski begitu, Karopenmas Mabes Brigjen Dedi Prasetyo enggan memberi penjelasan rinci ihwal penerapan pasal tersebut lantaran itu merupakan subtansi penyidikan.
"Berdasarkan fakta hukum berupa dua barang bukti yang dijadikan sengaja alat bukti, dikaitkan dengan unsur delik yang dilanggar," ujar Dedi saat dihubungi reporter Tirto, Senin (13/5/2019).
Polisi Diminta Hati-hati Gunakan Pasal Makar
Namun, kepolisian diingatkan Manager Kampanye Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri untuk berhati-hati menggunakan pasal makar dan UU ITE. Ia menilai dua pasal tersebut sebagai produk hukum yang bermasalah secara substansi.
"Mengajak Komnas HAM sebagai mitra kajian [dalam mengkaji penerapan pasal] adalah langkah tepat. Sembari menunggu revisi atau amandemen UU," kata Puri saat dihubungi reporter Tirto, Senin siang.
Puri menyatakan hak berpendapat memang dibatasi dengan ukuran tertentu, salah satunya tidak mengeluarkan ujaran kebencian berbasis SARA. Namun ia tidak sepakat jika pelaku sampai harus diancam hukuman mati.
"Dalam hal ini kepolisian memiliki kewenangan untuk meninjau pasal apa yang bisa dikenakan," kata dia.
Pada sisi lain, Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno menilai penggunaan pasal makar terhadap Hermawan --juga Eggi Sudjana dan Kivlan Zen--sebagai bentuk kekhawatiran pemerintahan Joko Widodo.
"Rezim saat ini perlu khawatir juga karena ada opini tentang people power yang dimobilisasi," kata Adi saat dihubungi reporter Tirto.
Menurut Adi, pemerintah melihat ada kecenderungan masyarakat sedang diprovokasi untuk melakukan people power. "Pemerintah khawatir di tengah masyarakat yang gampang terbelah dan terprovokasi saat ini."
Perlu Pembuktian
Sementara itu, Guru Besar Bidang Hukum Acara Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho menilai langkah polisi menerapkan pasal makar terhadap pengancam Jokowi sudah tepat. Ia beralasan objek yang diancam akan dibunuh adalah presiden.
"Kalau objeknya orang pribadi, ya berbeda," ujar Hibnu.
Hibnu mengatakan tersangka sudah dewasa sehingga segala ucapan dan perbuatan harus dipertanggungjawabkan. Ia menambahkan hal ini juga sebagai bentuk pendidikan kepada masyarakat agar lebih berhati-hati menyampaikan sesuatu.
"Kebebasan berpendapat ada etika dan santun. Apalagi soal nyawa, mau membunuh, kok, disebut kebebasan berpendapat," kata dia.
Meski begitu, Hibnu mengatakan aparat penegak hukum mesti membuktikan sangkaan yang dijeratkan terhadap Hermawan.
"Ada banyak alternatif dakwaan berlapis, mana yang terbukti. Jika makar tidak terbukti, ya ancaman pembunuhan bisa terbukti," ujarnya.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Gilang Ramadhan