Menuju konten utama

Pasien Kanker Pertanyakan Alasan Obat Trastuzumab Dihapus dari BPJS

Juniarti melayangkan gugatannya ke Presiden Joko Widodo terkait dihapusnya obat kanker payudara trastuzumab dari tanggungan BPJS.

Pasien Kanker Pertanyakan Alasan Obat Trastuzumab Dihapus dari BPJS
Ilustrasi. Herceptin Trastuzumab. REUTERS/Luke MacGregor

tirto.id - Pengacara yang merupakan mantan wartawan, Juniarti (46), telah melayangkan gugatannya terhadap Presiden Joko Widodo, BPJS Kesehatan, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, dan Dewan Pertimbangan Klinis. Adapun gugatan tersebut dilakukan karena Juniarti menilai BPJS Kesehatan tidak serius dalam menjamin kesehatannya.

Juniarti yang mulai menjadi peserta BPJS Kesehatan pada 2016 itu, mengupayakan agar obat kanker trastuzumab batal dihapus dari daftar obat yang seharusnya ditanggung. Menurut Juniarti, penghapusan itu membuat aksesnya untuk memperoleh obat terbaik bagi penyakit kanker payudara dengan HER2 positif terhambat.

“Padahal obat ini langsung ke target, karena HER2 positif dihantam. Namun [obat] ini tidak menghentikan kemoterapi. Dia mendampingi,” ujar Juniarti di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada Jumat (27/7/2018).

Lebih lanjut, Juniarti menjelaskan bahwa, HER2 positif tersebut membuat penyakitnya perlu penanganan khusus. Juniarti mengindikasikan penyakit kanker payudara dengan HER2 positif tidak bisa diperlakukan sama dengan kanker payudara pada umumnya. Pasalnya, HER2 positif itu mempercepat kinerja kanker sampai 70 persen.

Berdasarkan riset yang telah dilakukannya, trastuzumab memang merupakan obat paling ampuh bagi penderita kanker payudara dengan HER2 positif.

Kendati demikian, harga obat itu tidak murah. Pengobatan dengan trastuzumab memerlukan 16 kali sesi pengobatan, yang mana untuk biaya tiap sesi pengobatannya bisa mencapai Rp25 juta.

Adapun Juniarti yang didampingi tim kuasa hukum saat melayangkan gugatannya, mengaku telah bertemu dengan BPJS Kesehatan dalam beberapa pekan terakhir. Juniarti menyebutkan pertemuan sempat terjadi pada 3 dan 23 Juli 2018. Untuk yang pertemuan pada 23 Juli 2018, merupakan panggilan atas somasi yang dilakukan Juniarti.

Rusdianto Matulatuwa selaku kuasa hukum Juniarti tidak melihat adanya itikad baik dari BPJS Kesehatan dalam mengabulkan permintaan kliennya.

“Saya hanya lihat bahwa yang datang saat itu adalah mereka yang bekerja di bidang pelayanan tapi mentalnya businessman. Empatinya terhadap nyawa seseorang tidak ada. Hanya melayani, nggak ada ketulusan,” ucap Rusdianto.

Tak hanya itu, Rusdianto turut mengeluhkan dalih mahalnya obat sebagai alasan untuk menghapus trastuzumab dari daftar obat yang ditanggung. Menurut Rusdianto, BPJS Kesehatan tidak berfungsi seperti seharusnya, yakni menyediakan akses pengobatan terbaik bagi masyarakat kelas menengah dan ke bawah.

“Padahal di situlah seharusnya dia hadir. Ketika itu sudah masuk pada wilayah kewajiban, maka tidak boleh pikir yang lain-lain. Tunaikan tanggung jawab sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang,” jelas Rusdianto.

Dihubungi secara terpisah, Kepala Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat mengungkapkan bahwa, dicabutnya trastuzumab dari daftar karena tidak memiliki dasar indikasi medis untuk digunakan pada pasien kanker payudara metastatik maupun restriksi.

Nopi menyebutkan, keputusan tersebut telah berlaku sejak 1 April 2018. Tidak lagi dijaminnya obat itu juga dikatakannya telah sesuai dengan keputusan Dewan Pertimbangan Klinis.

“Namun untuk peserta JKN-KIS yang masih menjalani terapi obat trastuzumab dengan peresepan protokol terapi obat sebelum 1 April 2018, yang akan tetap dijamin BPJS Kesehatan sampai dengan siklus pengobatannya selesai sesuai dengan peresepan maksimal formularium nasional,” kata Nopi melalui pesan singkat.

trastuzumab

Baca juga artikel terkait KANKER atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Yandri Daniel Damaledo