tirto.id - Anak-anak Oei Wie Gwan—pelopor industri rokok PT Djarum—adalah penggemar bulu tangkis. Selain mereka, para karyawan PT Djarum pun menggandrungi olahraga yang sama. Pada 1969, tiap sore mereka bermain bulu tangkis di brak atautempat melinting rokok di Jalan Bitingan Lama yang kini jadi Jalan Lukmonohadi nomor 35, Kota Kudus.
Tahun berikutnya, tak hanya pemilik dan karyawan PT. Djarum yang bermain bulu tangkis di tempat tersebut, tapi juga orang luar yang salah satunya adalah Liem Swie King yang saat itu masih remaja. Ia adalah adik dari atlet bulu tangkis Indonesia tahun 1960-an, yakni Megah Inawati dan Megah Idawati. Liem Swie King kemudian menjadi salah satu legenda bulu tangkis Indonesia.
“Ketika akan latihan pada sore [hari], kami harus kerja bakti dahulu merapikan lapangan dari penampah. Kami menyapu lapangan dari sampah-sampah tembakau yang bertebaran,” ungkap Liem Swie King dalam memoarnya yang bertajuk Panggil Aku King (2009).
King ingat bagaimana Robert Budi Hartono sering melihatnya berlatih. Seingatnya, salah seorang anak Oei Wie Gwan itu tak hanya membiayai bulu tangkis, tapi juga turut latihan fisik dan memberi arahan. Saat itu kawan berlatih dan bertanding King adalah Kartono.
Pada 1972, King menjadi juara tunggal putra junior di Piala Gubernur Jawa Tengah atau Piala Moenadi. Saat itu pelatihnya adalah adalah Agus Susanto dan Koesmanto. Prestasi King itu membuat PT. Djarum semakin bersemangat. Maka pada 1974, Perkumpulan Bulutangkis Djarum alias PB Djarum pun diresmikan.
Mulanya, perkumpulan bulu tangkis ini dipimpin oleh Thomas Budi Hartono. Namun, setelah diresmikan pada 1974 diketuai oleh Setyo Margono. Setelah itu, PB Djarum melebarkan sayapnya ke luar Kudus dengan membentuk pusat pelatihan seperti di Semarang (1976), Jakarta (1985), dan Surabaya (1986).
Pada 1984, atlet-atlet binaan PB Djarum berlaga dalam perebutan Piala Thomas di Kuala Lumpur, Malaysia, dan berhasil membawa Indonesia menjadi juara. Dalam formasi tim Thomas Indonesia kala itu, tujuh dari delapan anggota tim berasal dari PB Djarum, yakni Liem Swie King, Kartono, Christian Hadinata, Hastomo Arbi, Hadiyanto, Heryanti, dan Hadibowo. Menurut Monty Setiadarma dalam Rahasia Ketangguhan Mental Juara Christian Hadinata (2013), waktu itu ketujuh orang ini disebut The Magnificent Seven of Djarum.
Setelah Liem Swie King gantung raket, pembinaan yang dilakukan PB Djarum terus berjalan. Ardy Bernardus Wiranata, Alan Budikusuma, dan Hermawan Susanto, adalah beberapa contoh atlet bulu tangkis binaan PB Djarum setelah era King dan kawan-kawan. Seperti para pendahulunya, mereka juga kerap menorehkan prestasi.
Ardy menjadi juara Swedia Terbuka tahun 1991 dan jura All England pada tahun yang sama. Pada Olimpiade 1992, ketiga atlet asal PB Djarum itu memborong perolehan medali di sektor tunggal putra. Alan Budikusuma meraih emas, Ardy Bernardus Wiranata perak, dan Hermawan Susanto perunggu.
Putri Juga Berprestasi
Prestasi para atlet bulu tangkis binaan PB Djarum juga terjadi di sektor putri, seperti Ho Djay Ging, Ivana Lie, dan Kho Mei Hwa. Mereka menjadi juara pada Kejurnas tahun 1980, 1983, dan 1987. Ivana Lie bahkan pernah menjadi juara di Taiwan Open 1982.
Setelah generasi mereka, muncul nama-nama seperti Yuliani Santoso yang pernah jadi juara Taiwan Terbuka 1992 dan Swiss Terbuka 1993, Yuni Kartika juara Jerman Terbuka 1990, serta Zelin Resiana juara Swiss Terbuka 1993.
Torehan prestasi yang diraih para pemain bulu tangkis binaan PB Djarum ini disebut Monty Setiadarma sebagai, “turut memberikan andil penting dalam era keemasan bulu tangkis Indonesia.”
PB Djarum yang berlatar perusahaan rokok sohor Indonesia dari Kudus ini memang menjadi salah satu benteng bulu tangkis Indonesia. Di tengah keterpurukan cabang olahraga lain, Indonesia mampu menjadi jawara pada permainan tepak bulu angsa, dan menghibur serta membuat bangga masyarakat.
Dalam sejarah panjang bulu tangkis Indonesia dengan segala prestasinya, terdapat saham PB Djarum yang tak dapat disepelekan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi