tirto.id - Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan menyatakan akan memberikan bantuan hukum terhadap Ketua Umum Persaudaraan Alumni (PA) 212 Slamet Ma'arif yang menjadi tersangka dalam kasus pelanggaran pemilu.
Hal tersebut disampaikan Zulkifli saat Ketum PA 212 Slamet Maarif dan Ketum Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama Yusuf Martak menemui jajaran Partai Amanat Nasional (PAN) di Jalan Daksa I nomor 10, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (20/2/2019).
"Kalau ulama mendapat masalah apapun, PAN akan mendukung mencintai ulama, kalau ada yang mendapat musibah apapun, tentu kita akan bantu sepenuhnya kepada siapa aja termausk ustaz Slamet Ma'rif," ujarnya Rabu (20/2/2019).
Kemudian, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu juga menghimbau kepada aparat penegak dan juga badan pengawas pemilu (Bawaslu), untuk bersikap adil terkait kasus yang menimpa Ma'arif. Apalagi saat ini merupakan momen tahun politik.
"Kepada semua pihak, baik kepada terlapor, pelapor, diperlakukan dengan adil. Karena aparat itu aparat negara, aparat merah putih, kalau yang salah, ya salah," kata Zulkifli.
Selain kepada Ma'arif dan pelapornya, Ketua Dewan Penasehat Badan Pemenangan (BPN) Prabowo-Sandi ini juga meminta kepada aparat penegak hukum untuk berlaku adil kepada siapa saja yang melakukan pelanggaran.
"Termasuk pada bupati dan semua, kalo melanggar sama hukumannya," pungkasnya.
Slamet Maarif ditetapkan sebagai tersangka pada Minggu (10/2/2019), dalam kasus dugaan pelanggaran jadwal kampanye Pemilu 2019. Kasusnya terjadi di Solo, saat Slamet berorasi dalam acara Tabligh Akbar PA 212 di Jalan Slamet Riyadi, Gladak, Pasar Kliwon, Surakarta, pada Minggu (13/1/2019).
Dalam acara itu dia diduga menyerukan orang-orang memilih pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Dia diduga melangar Pasal 280 ayat (1) huruf a, b, d, e, f, g, h, i, j, sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Yakni tentang kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Ancamannya adalah pidana penjara maksimal satu tahun dan denda maksimal Rp12 juta (pasal 492 UU Pemilu), atau penjara dua tahun dan denda paling banyak Rp24 juta (pasal 521 UU Pemilu).
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Irwan Syambudi