Menuju konten utama

Pakta Integritas UI Membatasi Hak Politik, "Memangnya Kopkamtib?"

UI merilis Pakta Integritas yang harus disepakati mahasiswa baru. Beberapa isinya membatasi hak politik, yang, menurut seorang alumnus, seperti Kopkamtib.

Pakta Integritas UI Membatasi Hak Politik,
Bangunan di Kampus Universitas Indonesia Depok. FOTO/Ilham Kuniawan Gumilang

tirto.id - Asti, bukan nama sebenarnya, masih sibuk mengurus segala tetek bengek administrasi dan tugas masa orientasi saat di grup Whatsapp kelompok Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru Universitas Indonesia (PKKMB UI) 2020 masuk sebuah file berjudul 'Pakta Integritas', Sabtu (5/9/2020). Koordinator kelompok, yang berstatus kakak tingkat, memberikan pengantar: "Berikut adalah pakta integritas yang WAJIB diisi oleh seluruh mahasiswa baru UI."

"Arahannya disuruh tanda tangan saja. Enggak ada, kayak, kalau enggak mengerti boleh tanya," kata Asti kepada reporter Tirto, Senin (14/9/2020).

Ia dan mahasiswa baru lain diminta menandatangani dokumen itu di atas materai setelah dicetak. Setelah dipindai, kemudian dikirim lagi ke panitia PKKMB. Tenggatnya Minggu (6/9/2020) pukul 11.00.

Asti langsung melakukan apa yang diperintahkan. "Lagian kami juga masih banyak urus administrasi dan tugas orientasi lain (jurusan, fakultas, gabungan). Jadi kami mikirnya melengkapi administrasi saja," katanya. "Banyak yang sudah baca, termasuk saya, tapi ya enggak begitu mengerti juga karena buru-buru. Kami juga percaya-percaya saja sama kampus."

Untuk memastikan semua mahasiswa baru mengumpulkan Pakta Integritas, masing-masing koordinator kelompok mencatat nama yang sudah mengumpulkan. Bagi yang belum mengumpulkan terus diingatkan melalui grup.

Terdapat 13 poin dalam pakta yang diterima Tirto dan telah dikonfirmasi Kepala Kantor Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI, Amelita Lusia, Jumat (12/9/2020) pekan lalu.

Poin pertama dan kedua tentang kewajiban mahasiswa baru mengamalkan nilai-nilai universitas dalam kehidupan sehari-hari dan kewajiban mahasiswa baru mematuhi tata tertib dan peraturan kampus.

Poin ketiga sampai kelima menyatakan kesediaan mahasiswa baru menerima sanksi akademik atau pidana atau perdata apabila melakukan pelanggaran aturan kampus atau hukum positif yang berlaku di Indonesia. Poin keenam terkait kewajiban memberikan informasi dan data yang benar. Pada poin ke-7, mahasiswa baru wajib menjaga harkat martabat pribadi, keluarga, dan instansi.

Pada poin ke-8, mahasiswa baru diminta mempersiapkan diri dan menjalankan dengan sungguh-sungguh apabila diminta mewakili universitas atau negara dalam kegiatan akademik maupun non-akademik. Lalu poin ke-9 menyebut mahasiswa akan bertanggung jawab pribadi jika mengalami gangguan fisik atau mental.

Pakta Integritas juga mengatur soal kehidupan politik dan berorganisasi mahasiswa baru.

Pada poin ke-10, dikatakan bahwa mahasiswa baru UI "tidak terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara." Poin nomor 11, mahasiswa baru dilarang mengikuti kegiatan yang diselenggarakan pihak yang tak mengantongi izin kampus.

"Tidak melaksanakan dan/atau mengikuti kegiatan yang bersifat kaderisasi/orientasi studi/latihan/pertemuan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan yang tidak mendapat izin resmi dari Pimpinan Fakultas dan/atau Pimpinan Universitas Indonesia," demikian isi poin ke-11.

Pakta ditutup dengan pernyataan berikut: "Dengan ini, saya telah membaca, memahami isi dari Pakta Integritas ini, serta setuju secara sadar dan tanpa ada unsur paksaan, untuk menandatanganinya. Jika saya melakukan pelanggaran terhadap Pakta Integritas ini, maka saya bersedia menerima sanksi dari universitas, yang setinggi-tingginya yaitu pemberhentian sebagai mahasiswa/i Universitas Indonesia."

Merugikan Mahasiswa

Pakta Integritas ini tersebar di media sosial. Setelah itulah Asti baru menyadari bahwa dokumen yang dia tandatangani bermasalah. Misalnya poin nomor 9 ("siap menjaga kesehatan fisik dan mental serta bertanggung jawab secara pribadi jika di kemudian hari mengalami gangguan kesehatan").

"Bahkan berarti jika terjadi pelecehan seksual, kekerasan, dan semacamnya di lingkungan kampus, kami juga jadi dianggap enggak perlu disediakan layanan kesehatan baik fisik maupun mental. Universitas jadi abai sekali terhadap keadaan mahasiswanya," kata Asti.

Demikian pula dengan poin ke-10. Frasa "politik praktis" atau "mengganggu tatanan akademik dan bernegara", menurutnya tidak memiliki definisi yang jelas sehingga berpotensi karet. Ia khawatir Pakta Integritas membuat mahasiswa yang kritis terhadap kampus atau pemerintah terancam dihukum.

"Benar-benar membatasi ruang gerak mahasiswa dan seolah UI enggak mau ribet sekali," kata Asti.

Karenanya, ia menuntut UI, yang memiliki moto veritas, probitas, iustitia (kebenaran, kejujuran, keadilan) membatalkan dokumen tersebut.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI Fajar Adi Nugroho pun mengkritisi Pakta Integritas. Menurutnya, UI sudah memiliki Peraturan Rektor dan Peraturan Majelis Wali Amanat (MWA) yang memuat larangan-larangan bagi mahasiswa. Posisi Pakta Integritas dalam sistem aturan UI menjadi tidak jelas.

Poin ke-9 Pakta Integritas pun bertentangan dengan pasal 84 Anggaran Rumah Tangga UI yang menyatakan mahasiswa berhak untuk memperoleh pendidikan, pembelajaran, dan layanan yang berkualitas.

"Pada akhirnya, ilusi program kampus merdeka tampak jelas di kampus kuning ini. Kampus perjuangan yang ternyata juga perlu untuk diperjuangkan dari dalam, hal-hal yang menjadi hak-hak mahasiswa," ujar Fajar.

Fajar mengatakan BEM akan menggelar audiensi dengan pihak universitas dalam waktu dekat untuk membahas masalah ini.

Setelah Pakta Integritas ramai dibicarakan dengan nada negatif di media sosial, UI mengeluarkan tanggapan lewat siaran pers nomor Peng-186/UN2.HIP/HMI.03/2020. Menurut siaran pers, dokumen "yang telah beredar di kalangan mahasiswa baru bukan merupakan dokumen resmi yang telah menjadi keputusan Pimpinan UI."

"Hal ini ditunjukkan antara lain dengan beredarnya beberapa versi dari dokumen dengan judul yang sama di kalangan masyarakat dan ketidaksesuaian format dokumen tersebut dengan format standar dokumen resmi UI," kata UI pada poin ke-2.

Dengan kata lain, yang dipermasalahkan adalah beredarnya berbagai versi dari Pakta Integritas. Mereka sendiri membenarkan adanya dokumen ini dengan mengatakan "Pimpinan UI sangat menyayangkan penyebaran dokumen yang menyangkut kepentingan mahasiswa tersebut."

Baik Asti maupun Fajar juga menegaskan dokumen yang diterima dan ditandatangani mahasiswa baru adalah dokumen yang banyak dibicarakan.

"Memangnya Kopkamtib?"

Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al-Rahab yang juga alumnus UI mengatakan pada prinsipnya pakta integritas itu diterapkan pada mereka yang memiliki kewenangan. Dengan demikian, yang wajib menandatangani adalah pengelola kampus, bukan mahasiswa.

Menurutnya mewajibkan mahasiswa menandatangani dokumen seperti itu, apalagi di atas materai, adalah bukti bahwa kampus "grogi melihat perkembangan di luar. Enggak tahu mau bikin apa sehingga bertindak ke sana." "Kalau dia enggak grogi, ya ngapain mahasiswa harus dilarang ini itu?" kata Amiruddin kepada reporter Tirto, Senin (14/9/2020).

Ia fokus mengkritik hal-hal yang bersifat politis dalam Pakta. Menurutnya, mahasiswa adalah manusia dewasa yang sudah memiliki hak politik, dan tidak ada yang bisa mengekang itu.

Tugas kampus dalam hal ini adalah mengarahkan agar hak dasar warga negara itu bisa dijalankan dengan bertanggung jawab oleh mahasiswa. Misalnya dengan pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan tentang hak asasi manusia (HAM).

"Ya, kan, kampus. Emang Kopkamtib larang-larang orang? Emang kita mau bikin NKK/BKK?"

Baca juga artikel terkait HAK POLITIK atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino