tirto.id - Peneliti lembaga kajian internet ID Institute, Irwin Day menyoroti kegiatan pengadaan mesin sensor baru milik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
Sempat muncul isu bahwa mesin sensor seharga Rp211,8 miliar, yang diklaim oleh Kemkominfo jauh lebih efektif untuk penapisan atau filtering situs-situs berkonten negatif, itu ialah Deep Packet Inspector (DPI).
Tapi, Kemkominfo telah membantah kabar itu dan menyatakan mesin itu hanya alat yang bekerja dengan sistem crawling. Lelang pengadaan mesin itu dimenangkan oleh PT Industri Telekomunikasi Indonesia (PT Inti).
Irwin menjelaskan penggunaan mesin DPI memiliki resiko bocornya privasi pengguna internet. Risiko itu muncul karena DPI bukan semata mesin sensor atau filtering. DPI bekerja dengan memanfaatkan firewall dan database dan kemudian menganalisis konten-konten yang dikunjungi pengguna. Dia menjelaskan hal ini di acara "Diskusi Internet Baik" di Jakarta, pada Jumat (20/10/2017).
Sementara apabila mesin itu hanya alat yang bekerja dengan sistem crawling, yakni teknik menyaring data—umumnya berbasis teks—serupa dengan kerja Google di belakang layar, masih tersisa kejanggalan. Menurut dia, mesin dengan cara kerja memakai sistem crawling kurang pas jika dihargai lebih dari Rp200 miliar.
Irwin menjelaskan kegiatan filtering atau panapisan situs-situs pemuat konten negatif bisa dilakukan setidaknya melalui 4 cara. Penggunaan mesin DPI, menurut pegiat Yayasan Nawala, itu hanya salah satu jenis cara.
Cara pertama ialah dengan melakukan filter pada domain. Menurut Irwin, cara tersebut merupakan teknik paling sederhana namun efisien. Filtering dilakukan dengan memblokir sepenuhnya pada domain yang ditargetkan, contohnya Pornhub.
Selanjutnya filtering dilakukan pada URL (Uniform Resource Locator) alias alamat spesifik suatu halaman web. Meskipun terbilang mudah, cara ini, menurut klaim Irwin tidaklah efektif. Halaman yang difilter sangat mungkin terduplikasi pada halaman-halaman lain.
Selain itu, filtering pun dapat dilakukan menggunakan Proxy. Cara ini merupakan teknik lama namun hanya efektif untuk skala kecil. Dan terakhir, filtering bisa dilakukan memanfaatkan DNS.
Peneliti ID Isntitute lainnya, M. Salahuddien, menilai bahwa filtering merupakan sesuatu yang memang harus dilakukan. Filtering harus dilakukan karena, menurut dia, “Indonesia tidak memiliki kemampuan men-take down situs (terutama) yang di host di luar negeri.” Salahuddien mengungkapkan hal tersebut dalam konteks situs-situs yang menyebarkan konten negatif.
Dia mengimbuhkan proses filtering di Indonesia selangkah lebih maju dibandingkan negara lain terutama karena Indonesia telah memiliki aturan hukum dasar tindakan tersebut. Regulasi itu ialah Pasal 40 Ayat 2a dan 2b UU ITE dan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 tahun 2014 Tentang Penangan Situs Internet Bermuatan Negatif.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Addi M Idhom