Menuju konten utama

Pakar Hukum UGM: Pidato Ahok Jangan Dipahami Secara Tesktual

Saksi ahli di persidangan ke-14 kasus penodaan agama, yang juga Guru Besar Hukum UGM, Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan pernyataan Ahok soal Al-Maidah Ayat 51 di Kepulauan Seribu harus dipahami secara kontekstual. 

Pakar Hukum UGM: Pidato Ahok Jangan Dipahami Secara Tesktual
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memasuki ruang sidang di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (14/3/2017). ANTARA FOTO/Reno Esnir.

tirto.id - Pakar Hukum Pidana UGM, sekaligus saksi ahli yang diajukan kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di persidangan ke-14 kasus penodaan agama, Edward Omar Sharif Hiariej berpendapat pernyataan seseorang, yang dituduh menodai agama, tidak bisa hanya dipahami secara tekstual saja.

Karena itu, menurut Edward, pidato Ahok di Kepulauan Seribu, yang terkait Surat Al-Maidah Ayat 51, perlu dipahami secara kontekstual untuk memastikan ada atau tidak unsur penodaan agama di dalamnya.

Guru Besar Fakultas Hukum UGM itu beralasan perbuatan menodai agama yang dituduhkan kepada Ahok tidak berupa tindakan melainkan pernyataan yang bisa memunculkan multitafsir. Sementara Ahok didakwa oleh JPU melanggar pasal 156a KUHP yang isinya memuat unsur “maksud” atau niatan menodai agama.

“Kalau terkait dengan Pasal 156a ini, katakanlah ia menyobek atau menginjak-injak kitab suci, maka itu bisa dijustifikasi penghinaan atau penodaan. Tapi, karena ini adalah suatu peryataan, maka harus dilihat secara eksplisit. Selain ahli agama, tapi juga ada ahli bahasa. Karena kita harus melihat tidak secara tekstual saja, tapi juga konstektual,” kata Edward dalam persidangan di Auditorium Kementerian Pertanian Jakarta pada Selasa (14/3/2017).

Adapun Pasal 156a KUHP berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, yakni (1) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dan (2) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Saksi ke-4 di persidangan ke-14 kasus penodaan agama Ahok itu juga menyatakan perlu ada pendapat ahli lintas-bidang untuk menilai maksud sebenarnya dari pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 lalu.

Untuk memahami maksud Ahok, ia menambahkan, keterangan tak hanya cukup dari kalangan ahli agama dan ahli bahasa melainkan juga dari para pakar bahasa tubuh. Ahli bahasa tubuh penting untuk menilai korelasi antara ekspresi raut wajah dan gerakan tubuh Ahok dengan isi pernyataan dia yang dianggap menodai agama.

“Karena memang 156a tidak hanya menghendaki kesengajaan. Kesengajaan itu objektif konteksnya. Suatu perbuatan nyata. Tapi yang paling mendasar dalam pasal 156a dalam penjelasan itu adalah elemen niat. Niat itu adalah subjektif konteks elemen. Itu tidak bisa terpikir dengan apa yang diucapkan, tapi harus dipikir circumstances-nya, keadaan kesehariannya, untuk sampai pada kesimpulan memenuhi unsur itu (berniat menodai agama) atau tidak,” kata Edward.

Kesimpulan dari pendapat Edward itu ialah perlunya pembuktian yang kompleks dan menyeluruh untuk memastikan adanya “niat menodai agama” di pernyataan Ahok tentang Al-Maidah Ayat 51.

“Menentukan niat seseorang itu sulit sekali. Hanya yang bersangkutan dan Tuhan yang benar-benar tahu,” ujar Edward.

Edward menyoroti masalah “niat” itu karena berpendapat tuduhan terhadap motivasi Ahok menodai agama tidak bisa hanya dibuktikan dengan menganggapnya sebagai bentuk Kesengajaan Berkesadaran Kepastian atau Keharusan. Aspek “kesengajaan” memang mudah dibuktikan, tapi unsur “niat” perlu pembuktian yang kompleks.

“Karena tindakan itu berdasarkan niat (pasal 156a, poin 2), maka tidak bisa berdasar pada teori kesengajaan saja, tetapi harus melihat kesehariannya. Jadi keseharian ini yang nanti kita lihat,” kata Edward.

Pendapat Edward ini berseberangan dengan isi kesaksian ahli pidana UII, Mudzakkir pada sidang ke-11 kasus ini pada 21 Februari 2017 lalu. Saksi ahli dari pihak JPU itu menilai perbuatan penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok masuk dalam kategori Kesengajaan Berkesadaran Kepastian atau Keharusan.

Maksud dia, pidato Ahok di Kepulauan Seribu pada dasarnya bermaksud kampanye jelang Pilkada DKI Jakarta, tapi ucapan dia mengenai Surat Al-Maidah Ayat 51 membawa konsekuensi adanya perbuatan penodaan agama.

“Jelas ada maksud, dalam konteks ini pemilihan, jadi menurut ahli jelas dipastikan maksud dan tujuan terkait dengan pemilihan dengan menggunakan kata-kata dibohongin (dibohongi pakai Al-Maidah Ayat 51). Menurut ahli jelas tujuannya agar supaya yang bersangkutan bisa mengajak orang yang beragama islam (memilih Ahok), sehingga ahli berpendapat ini adalah kesengajaan sebagai kepastian,” kata Mudzakkir saat itu.

Baca juga artikel terkait SIDANG AHOK atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Addi M Idhom