Menuju konten utama

Oxfam Desak G-20 Tunda Pembayaran Utang di Masa Pandemi hingga 2022

Oxfam mendesak G-20 agar membatalkan pembayaran utang negara-negara berpenghasilan rendah selama pandemi hingga 2022, agar negara-negara tersebut bisa menabung miliaran dolar AS. 

Oxfam Desak G-20 Tunda Pembayaran Utang di Masa Pandemi hingga 2022
Ilustrasi OXFAM. foto/istockphoto

tirto.id - Organisasi nirlaba internasional yang bergerak di bidang kemanusiaan, Oxfam (Oxford Committee for Famine Relief), memperingatkan G-20 untuk membatalkan seluruh pembayaran utang melalui DSSI (Debt Service Suspension Initiative) hingga 2022.

Pembatalan ini juga berlaku kepada negara berpenghasilan rendah di masa pandemi COVID-19.

Bedasarkan penelitiannya,Oxfam mengungkap bahwa 73 negara termiskin akan tetap membayar kembali utangnya yang hingga senilai 33,7 miliar dolar AS atau 2,8 juta dolar AS per bulan sampai akhir 2020.

Nilai tersebut dua kali lipat jika anggaran kesehatan tahunan dari Malawi, Zambia dan Uganda digabungkan.

Menurut Chema Vera Direktur Executive Sementara Oxfam International, jika pembatalan pembayaran utang tersebut tidak dijalankan, maka 73 negara akan gagal untuk melindungi kemanusiaan dari krisis ekonomi terbesar sepanjang sejarah.

Dilansir dari IIF yang mengutip dari Statistik utang International (International Debt Statistics;IDS), Bank Dunia memperkirakan kreditor swasta kemungkinan memegang 20 persen utang 500 miliar dolar AS dari 73 negara DSSI.

Berdasarkan hasil penelusuran dari Bank Dunia, kreditor swasta tersebut dibagi menjadi tiga kategori.

Pertama, pemilik obligasi yang memegang hampir 65 persen kreditur swasta dari negara DSSI.

Kedua, bank komersial sekitar 25 persen, kemudian, ketiga yaitu kreditur swasta lain seperti pabrikan, eksporter, dan jaminan jangka panjang kredit perdagangan dari agensi credit ekspor (10%).

Delapan negara yang paling berisiko mengalami distress utang eksternal di antaranya ialah Kamerun, Ghana, Laos, Maladewa, Tajikistan, Zambia, Grenada dan Mozambik.

Jubilee Debt Campaignjuga menyebutkan bahwa 64 negara berpenghasilan rendah memiliki pengeluaran utang yang lebih tinggi untuk anggaran kesehatan.

Bahkan sebelum goncangan ekonomi akibat pandemi pada 2019, pemerintah dari 121 negara berpenghasilan rendah dan menengah harus menghabiskan pengeluaran kesehatan rata-rata 10,7 persen dari anggaran pemerintah.

Nilai tersebut jelas tak sebanding daripada jumlah rata-rata 12,2 persen untuk pembayaran utang eksternal.

Selain itu, 76 negara IDA (International Development Association), yang diklasifikasi oleh Bank Dunia sebagai negara termiskin di dunia, paling tidak harus membayar utang 18,1 miliar dolar AS ke negara lain, 12,4 miliar dolar AS ke lembaga multilateral, dan 10,1 miliar dolar AS untuk kreditor swasta external.

Oleh karena itu, Jubilee Debt Campaign, Oxfam dan 200 organisasi lain mendesak G-20 beserta otoritas lainnya untuk membatalkan pembayaran utang di masa pandemi ini.

Sarah-Jayne Clifton, Direktur dari Jubilee Debt Campaign mengatakan, "Kita perlu tindakan mendesak dari komunitas internasional untuk membatalkan pembayaran utang negara berkembang 2020."

Ia menambahkan, "Ini adalah cara tercepat untuk membantu menyediakan pembiayaan yang sangat dibutuhkan untuk menopang sistem kesehatan masyarakat dalam menghadapi krisis global yang belum pernah terjadi sebelumnya."

Vera menuntut G-20 untuk melindungi negara-negara berpenghasilan rendah dari lembaga rating kredit yang mengancam akan menurunkan rating mereka dan meningkatkan nilai pembayaran utang.

Atas alasan tersebut, negara-negara seperti Ghana dan Kenya takut bergabung dengan kampanye itu.

Selain itu, ia juga meminta Amerika Serikat dan inggris untuk segera mengeluarkan undang-undang baru dalam menghentikan pemberi pinjaman pribadi dan dan vulture fund yang menipu negara-negara berkembang dan menuntut mereka untuk membayar utang.

Menurutnya, kreditor swasta tidak boleh menjarah negara-negara termiskin dalam suatu pandemi, dengan membatalan semua pembayaran utang eksternal untuk 2020.

Dengan demikian, negara berpenghasilan rendah bisa menabung puluhan miliar dolar untuk bertahan hidup melewati krisis ini.

Krisis Ekonomi menjadi semakin parah akibat dampak dari pandemi ini, menurut salah satu publikasi yang berjudul “Global Economic Effects of COVID-19”, pandemi COVID-19 telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi global akan terpangkas sekitar 3,0 persen sampai 6,0 persen di 2020.

Hal tersebut belum dihitung dari kemungkinan infeksi gelombang kedua di masa mendatang.

Jatuhnya ekonomi tersebut akan berisiko menyebabkan resesi ekonomi terparah sejak depresi global tahun 1930-an.

Selain itu, perdagangan global juga akan jatuh 13 persen sampai 32 persen, tergantung seberapa dalam dalam dan luasnya penurunan ekonomi.

Baca juga artikel terkait UTANG NEGARA BERKEMBANG atau tulisan lainnya dari Mochammad Ade Pamungkas

tirto.id - Ekonomi
Kontributor: Mochammad Ade Pamungkas
Penulis: Mochammad Ade Pamungkas
Editor: Yandri Daniel Damaledo