tirto.id - Sonny Setiawan batal berangkat ke Pangkal Pinang, Bangka Belitung naik pesawat Lion Air nomor penerbangan JT-610, Senin (28/10) kemarin. Ia tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada 6.20 WIB. Pesawat sudah lepas landas sepuluh menit sebelumnya.
Sonny ketinggalan pesawat. Andaikan pegawai Ditjen Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan Kantor Wilayah Provinsi Bangka Belitung itu naik, dia juga tak akan pernah sampai ke Pangkal Pinang. Tiga belas menit setelah mengudara, pesawat hilang kontak. Pesawat disinyalir jatuh. Puing-puingnya ditemukan sudah mengapung dan tenggelam di sekitar titik terakhir ia terlacak, perairan Tanjung Pakis, utara Kabupaten Karawang.
Penyebab kecelakaan tersebut belum diketahui. Namun, akibatnya sudah jelas: 189 penumpang dan kru yang diangkut Lion Air tersebut meninggal.
Sonny juga bukan satu-satunya pemilik kisah seperti itu. Empat tahun lalu, Barry dan Izzy Zim serta bayinya batal naik Malaysia Airlines MH17 yang ditembak jatuh di langit Ukraina. Penerbangan itu overbooking sehingga Malaysia Airlines mengalihkan ketiga orang itu ke penerbangan lain.
Peluang seorang pembeli tiket sebuah maskapai penerbangan terlambat datang ke bandara, seperti dalam kasus Sonny, memang tidak nol persen. Nyatanya, peluang itu lah yang menjadi celah maskapai menjual tiket lebih banyak daripada kursi yang tersedia (overbooking), suatu hal yang bikin maskapai mendulang uang tetapi membuat keluarga Barry dan ratusan ribu calon penumpang lainnya batal mengudara.
Overbooking, Beda di AS, Eropa, dan Indonesia
Praktek overbooking, meskipun merugikan konsumen maskapai, legal dan dilazimkan dalam dunia penerbangan. CEO Delta Airlines, salah satu maskapai terbesar di Amerika Serikat (AS), Ed Bastian mengatakan overbooking sebagai suatu proses bisnis yang valid. Sedangkan CEO penerbangan murah Air Asia Tony Fernandes mengakui maskapainya menjalankan praktik overbooking.
"Itu praktik yang umum. Itu hal yang benar untuk dilakukan. Karena jika sebuah pesawat mengudara dengan mengangkut kursi kosong [tanpa penumpang], pendapatannya hilang selamanya," ujar Fernandes, seperti dilansirTravel Weekly.
Praktik overbooking menganggap peluang pembeli tiket tidak datang tepat waktu sesuai jadwal penerbangan karena terjebak macet, cuaca, atau hal lainnya tidak nihil. Dengan menjual tiket lebih dari jumlah kursi, para maskapai berharap ada orang lain menggantikan penumpang yang terlambat tersebut. Masalahnya, kedua penumpang membeli satu kursi yang sama. Apabila keduanya datang tepat waktu dan tidak ada lagi kursi kosong di pesawat, salah satu dari mereka mesti batal ikut penerbangan tersebut.
Keinginan maskapai untuk menghindari kerugian lewat praktik overbooking membuat penumpang tidak berdaya. Yang menentukan seorang penumpang, termasuk yang berhadapan dengan overbooking, tetap saja pihak maskapai penerbangan.
Regulator maskapai justru melindungi praktik itu. Beberapa regulator sudah membuat peraturan tentangnya supaya konsumen tidak terlalu rugi. Sementara di negara (misalnya: Indonesia) yang regulator yang belum mengatur overbooking, konsumen mesti berhadapan sendiri dengan maskapai.
Regulator di AS dan Uni Eropa sudah mengatur soal overbooking. Departemen Transportasi AS mengharuskan para maskapai untuk mencari penumpang yang mau membatalkan penerbangannya secara sukarela di pintu check-in atau boarding. Namun, apabila tidak ada penumpang yang mau menyerahkan kursinya secara sukarela, maskapai mau tidak mau mesti memaksa sejumlah penumpang membatalkan penerbangan. Departemen Transportasi AS mengkategorikan hal itu sebagai penumpang yang dibatalkan penerbangannya secara tidak sukarela.
Menurut laporan Departemen Transportasi AS (PDF), sebanyak 180 ribu penumpang di 10 maskapai terbesar di AS secara sukarela membatalkan penerbangannya karena praktik overbooking sepanjang Januari-Juni 2018. Sebanyak 52,6 ribu di antara merupakan penumpang American Airlines Network dan 34,2 ribu lainnya ialah penumpang United Airlines Network. Jumlah terbanyak disumbang Delta Airline Network, yakni sebanyak 62,7 ribu penumpang.
Masih menurut laporan yang sama, Delta Airlines Network membatalkan secara tidak sukarela penerbangan 35 penumpang yang diangkutnya pada Januari-Juni 2018. Pada masa yang sama, American Airlines Network melakukan tindakan serupa terhadap 1.105 penumpang. Praktik serupa juga dilakukan Southwest Airlines (1.045 penumpang), Spirit Airlines (1.322 penumpang), Alaska Airlines Network (950 penumpang), dan United Airlines Network (78 penumpang).
Departemen Transportasi AS tidak memberi mandat kepada maskapai soal bentuk dan uang ganti-rugi bagi penumpang yang dibatalkan secara sukarela. Sedangkan di Uni Eropa, secara umum maskapai akan menawarkan kompensasi berupa voucher hingga uang.
Departemen Transportasi AS mengatur adanya uang ganti-rugi dengan jumlah berbeda sesuai selisih jam kedatangan penerbangan selanjutnya bagi penumpang yang dibatalkan secara tidak sukarela. Apabila pesawat pengganti tiba kurang dari 1 jam, penumpang tidak mendapat uang ganti-rugi. Jika pesawat pengganti tiba 1-2 jam, maskapai harus memberi uang ganti-rugi setara 200 persen harga tiket penerbangan yang dibatalkan dengan batas maksimum sebesar $675. Jika pesawat pengganti tiba lebih dari 2 jam atau maskapai tidak memberikan pesawat pengganti, maskapai harus membayar uang-ganti bagi penumpang setara 400 persen, dengan batas maksimum $1350.
Sedangkan Regulasi 261/2004 Uni Eropa, mengatur uang-ganti rugi bagi korban overbooking apabila syarat ini terpenuhi: pesawat berangkat dari negara Uni Eropa; pesawat berangkat dari luar Uni Eropa ke negara Uni Eropa dengan maskapai penerbangan asal Eropa; penumpang tiba lebih tiga jam lebih lambat di tempat tujuan.
Berdasarkan Regulasi itu, Uni Eropa menetapkan besar uang ganti-rugi berdasarkan jarak tempuh. Apabila tempat tujuannya ke negara Uni Eropa, maskapai harus memberi 250 euro ke penumpang yang menempuh jarak kurang dari 1.500 km atau 400 euro ke penumpang yang menempuh jarak lebih 1.500 km. Apabila tempat tujuannya ke luar negara Uni Eropa, maskapai harus memberi 250 euro ke penumpang yang menempuh jarak kurang dari 1.500 km, 400 euro ke penumpang yang menempuh jarak 1.500-3.500 km, atau 600 euro ke penumpang yang menempuh jarak lebih dari 3.500 km.
Di Indonesia, praktik overbooking belum diatur. Pada September 2017 silam, Rolas Budiman memenangkan gugatan atas Lion Air. Enam tahun sebelumnya, Lion Air membatalkan penerbangan Rolas dari Manado ke Jakarta. Rolas sudah membeli tiket, tetapi di depan loket check-in, Lion Air memberi tahu bahwa dia tidak bisa ikut penerbangan itu. Kursi pesawat sudah penuh, kata pihak Lion Air.
Gugatan hukum Rolas kepada Lion Air melaju hingga ke tingkat Peninjauan Kembali. Lion Air divonis bersalah dan mesti memberi ganti rugi Rp23,5 juta kepada Rolas.
Dua klien korban overbooking yang pernah ditangani David Tobing, pengacara sekaligus Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI), juga mendapat ganti-rugi yang berbeda.
Klien pertama sudah membeli tiket penerbangan kelas bisnis rute Jeddah-Jakarta suatu maskapai dalam negeri. Ia juga memiliki boarding pass. Namun, kursi kelas bisnis penuh. Pihak maskapai memintanya duduk di kelas ekonomi. Sebagai ganti rugi, maskapai hanya memberikan uang sebanyak selisih harga tiket kelas bisnis dan ekonomi.
"Masalahnya ini enggak fair. Penumpang yang harusnya bisa duduk selonjoran telentang, jadi enggak bisa. Saya mendampingi dia di pengadilan. Belum sampai sidang, berdamai. Bayar ganti rugi sebanyak Rp100 juta," ujar David ketika dihubungi Tirto, Rabu (31/10/2018).
Sedangkan kasus klien kedua, David berhadapan dengan maskapai penerbangan luar negeri. Kronologinya, si klien sudah check-in tiket kelas bisnis, mendapat boarding pass, dan melewati pintu imigrasi untuk rute Jakarta ke Hong Kong.
"Pas sudah sampai pesawat, enggak ada tempat duduk. Di ekonomi juga enggak ada. Akhirnya, dia tidak berangkat," ujar David.
David mendampinginya secara hukum. Maskapai akhirnya memberi ganti-rugi 2 tiket perjalanan pergi-pulang rute Jakarta-AS untuk kliennya. Ia mengatakan di Indonesia belum ada aturan kompensasi bagi para penumpang yang batal penerbangan akibat maskapai overbooking.
"Kalau mau ditarik kesimpulan, belum ada kompensasinya. Belum ada aturannya. Ini merugikan," ujar David.
Celah-Celah Keuntungan
Ada beda pendapatan yang diraih maskapai penerbangan bila tak menerapkan praktik overbooking atau sebaliknya pada negara yang sudah punya aturan soal overbooking. Adanya peraturan kompensasi, maskapai tentu akan kehilangan sejumlah uang tapi pada praktiknya justru mendatangkan keuntungan.
Kita asumsikan setiap calon penumpang hanya membeli 1 tiket tunggal, jumlah kursi pesawat sebanyak 180, harga tiket sebesar $250, dan uang ganti-rugi penumpang setara $800. Apabila jumlah penumpang yang tepat waktu hanya 162, tanpa menerapkan overbooking, pendapatan yang masuk ke maskapai sebesar 180 x $250 yang setara dengan $45.000.
Kasus kedua. Apabila maskapai menjual 15 tiket overbooking dan penumpang yang tidak tepat waktu sebanyak 15, maskapai akan mengangkut 180 penumpang (sesuai jumlah kursi) dan tidak perlu membayar uang ganti-rugi kepada siapapun. Dengan begitu, pendapatan yang digaet maskapai dalam penerbangan tersebut sebesar 195 x $250, yakni sebesar $48.750.
Di kasus kedua, maskapai berada dalam posisi terbaiknya untuk mendulang uang. Namun, yang terburuk juga bisa terjadi melalui penjelasan kasus ketiga. Di kasus ketiga, maskapai menjual 15 tiket overbooking dan semua penumpang tepat waktu.
Dengan begitu, maskapai mesti mengangkut 195 penumpang, padahal kursi yang tersedia hanya 180. Maskapai harus mengusir 15 penumpang dan memberikan uang ganti-rugi kepada semuanya (totalnya mencapai $12.000). Sehingga pendapatan yang masuk ke maskapai sebesar di kasus kedua dikurangi uang ganti-rugi atau setara dengan $36.750. Nilainya kurang dari pendapatan tanpa overbooking.
Kasus kedua dan ketiga menggambarkan bahwa maskapai akan begitu hati-hati dalam menentukan jumlah tiket overbooking yang akan dijualnya. Dengan menganalisis data penerbangan selama bertahun-tahun sebelumnya, maskapai dapat mengetahui bahwa peluang penumpangnya datang tepat waktu, misalnya, 90 persen. Nilai peluang itu selanjutnya bisa digunakan untuk menghitung peluang 1, 2, atau 3 penumpang terlambat tiba di bandara dengan menerapkan distribusi binomial - metode statistika untuk mengetahui nilai peluang kejadian yang sifatnya biner (ya/tidak atau telat/tidak telat).
Dari peluang hasil penghitungan distribusi binomial, maskapai bisa menetapkan jumlah tiket overbooking yang optimal (pendapatan besar, uang-ganti kecil) di suatu penerbangan. Menurut laman Ted-ed, untuk jumlah kursi 180, jumlah tiket optimalnya sebanyak 198. Apabila seluruh tiket habis terjual, pendapatan di satu penerbangan mencapai $48.774, lebih besar $4.000 daripada tanpa overbooking.
Bayangkan, berapa uang yang dikeruk sebuah maskapai penerbangan lewat overbooking dari praktik yang dilakukan secara sistemis?
Editor: Suhendra