Menuju konten utama

Orang Indonesia yang Berpuasa dan Berjilbab di Rusia

Ramadan tahun ini, Rusia menjadi salah satu negara dengan waktu puasa terpanjang, 19,5 hingga 20 jam. Untungnya tahun ini tak bertepatan dengan musim panas.

Orang Indonesia yang Berpuasa dan Berjilbab di Rusia
Infografik Kenangan ramadan di rusia 2017

tirto.id - Sudah hampir tiga tahun Agnes Harvelian, seorang mahasiswa Indonesia, hidup di Rusia. Agnes sedang melanjutkan studi hukum di Far Eastern Federal University, Vladivostok—kawasan Timur Rusia yang berbatasan dengan Korea Utara.

Di Rusia, ada sekitar 15 sampai 20 juta penduduk yang beragama Islam. Jumlah itu mencapai sekitar 5-6 persen dari total populasi negara itu berdasarkan sensus 2010. Namun, menjalani hidup sebagai pemeluk agama Islam di Rusia tidaklah mudah. Apalagi bagi mereka yang menggunakan atribut agama, seperti jilbab.

Agnes adalah salah satu dari segelintir perempuan berjilbab di Vladivostok. Berbagai kekerasan verbal, kecurigaan tak mendasar, hingga pandangan sinis sudah seperti makanan sehari-hari bagi Agnes.

“Kalau di dunia akademik seperti di kampus, sih, aman-aman aja, tapi kalau di tempat umum, ya, memang agak berat,” kata Agnes saat bercerita lewat telepon, Senin (29/5).

Banyak teman-teman Agnes yang takut memakai jilbabnya ketika berada di luar kampus. Di luar lingkungan kampus, Agnes beberapa kali mendapat kekerasan verbal. Ia pernah diteriaki dengan nada marah dan mengejek. Ia juga sering diperiksa berlebihan oleh petugas keamanan ketika memasuki tempat-tempat umum, seperti tempat wisata, bahkan restoran dan cafe.

“Jadi ke mana-mana selalu diperiksa dan dicurigai oleh satpam. Bawa tas kecil aja diperiksa,” kata Agnes.

Awalnya ia kaget dengan perlakuan semacam itu. Tetapi semakin lama, ia semakin terbiasa dan memahami ketakutan penduduk setempat. Meski begitu ia tak gentar. Agnes tetap memakai jilbabnya di dalam maupun di luar kampus. Ia membiarkan saja pemeriksaan-pemeriksaan yang berlebihan itu. Agnes mau membuktikan bahwa perempuan berjilbab tidak berbahaya.

20 Jam Berpuasa

Tahun ini menjadi Ramadan ketiga bagi Agnes di Vladivostok, dan mungkin akan menjadi Ramadan terakhirnya di kota itu. Sebab dua atau tiga bulan lagi, ia akan menyelesaikan studinya dan kembali ke Indonesia.

Agnes masih ingat saat pertama kali menjalankan puasa di Rusia. Tahun 2015, Ramadan di Rusia bertepatan dengan libur musim panas. Waktu puasa yang panjang, hampir 20 jam, membuat Agnes menghabiskannya dengan istirahat dan tidur. Saat itu tubuhnya belum terbiasa, ia juga khawatir tidak kuat puasa kalau melakukan banyak aktivitas.

Kalau di Indonesia ia biasanya sahur jam 4 pagi dan berbuka sekitar jam 6 malam. Di Validivostok ia harus sahur sekitar jam 3 pagi dan berbuka jam 10 malam. Setelah berbuka, masih ada ritual salat tarawih dan witir yang biasanya selesai jam 1 pagi, hanya berselang dua jam dari waktu sahur berikutnya. Alhasil, Agnes biasanya hanya minum ketika sahur lantaran masih kenyang setelah berbuka.

Pada tahun ke dua, Agnes mulai terbiasa. Ia sudah kuat berpuasa dengan aktivitas padat di kampus. Tahun ini rentang waktu puasa di Rusia masih sekitar 19,5 hingga 20 jam. Namun, ia akan terasa lebih ringan bagi Agnes, karena bertepatan dengan musim yang dingin sehingga cairan tubuhnya tak cepat terkuras.

Waktu puasa yang panjang, otomatis mengurangi jam tidur di malam hari. “Biasanya, sih, enggak tidur dari buka sampai sahur, tidurnya setelah sahur,” kata Agnes. Selama Ramadan tahun lalu dan tahun ini, ia hanya tidur sekitar empat hingga lima jam sehari.

Kalau Ramadan bertepatan dengan musim dingin, waktu puasa akan sangat pendek di Rusia, yakni 10 jam saja. Sayangnya, Agnes belum pernah merasakan Ramadan musim dingin di negara itu. Meski begitu, Agnes memanfaatkan waktu magrib yang lebih cepat selama musim dingin untuk mengganti puasa yang bolong selama Ramadan.

Mencari Makanan Halal

Tantangan lain menjadi Muslim di Rusia adalah sulitnya mencari makanan halal. Pilihannya masak sendiri, atau makan di restoran vegetarian.

“Hampir 85 persen restoran pasti ada pork-nya,” ujar Agnes. Sebagai muslim, Agnes tentu dilarang menyantap makanan olahan daging babi (pork).

Agnes memang tidak makan babi. Tetapi, kalau kesulitan mencari makanan halal, ia biasanya makan saja di restoran yang juga menyediakan babi. Ia memesan menu paling aman seperti ikan, kentang, jamur, atau telur.

“Gue lebih santai kalau urusan makanan. Selama bukan pork, gue makan aja, lah, daripada kelaparan.”

Selama Ramadan, sulit juga bagi Agnes menikmati buka puasa dan tarawih bersama dengan komunitas Islam. Tempat tinggalnya jauh dari mesjid, sekitar 1,5 jam perjalanan dengan transportasi umum. Lagipula, mesjid-mesjid di Rusia dipenuhi laki-laki. Terasa janggal sekali bagi perempuan pergi ke Mesjid.

Agnes pernah tarawih di mesjid sekali. “Tetapi semacam ada budaya bahwa perempuan di sini tidak pergi ke mesjid,” kata Agnes. Setelah itu, ia memutuskan tarawih sendirian di rumah saja.

Momen buka puasa bersama biasanya malah digelar oleh teman-temannya yang bukan Islam. Mereka berkumpul di salah satu flat, memasak makanan halal, lalu makan bersama saat waktu buka puasa.

“Biasanya mereka yang ngundang, mereka yang masak, gue cuma duduk aja, enggak dibolehin bantu-bantu karena lagi puasa,” kata Agnes sambil tertawa.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Zen RS