tirto.id - Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Ahmad Alamsyah Saragih menilai penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas pulau hasil reklamasi Teluk Jakarta, yakni Pulau D, oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Utara tidak etis untuk dilakukan.
Sebab, menurut dia, penerbitan HGB itu dilakukan menjelang lengsernya Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat pada Oktober mendatang. Alamsyah berpendapat Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat semestinya mengetahui usulan ke BPN Jakarta Utara untuk penerbitan HGB pada PT Kapuk Naga Indah, pengembang Pulau D.
“Bagaimanapun publik akan melihat, kok diterbitkan di masa akhir jabatan gubernur? Itu jadi tanda tanya,” kata dia di Kantor ORI Jakarta pada Kamis (31/8/2017).
Dia menjelaskan sebenarnya penerbitan Sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan Hak Guna Bangunan (HGB) atas Pulau D tidak cacat secara prosedur. Menurut Alamsyah, Sertifikat HGB itu bisa diberikan asalkan ada persetujuan Gubernur DKI Jakarta terhadap keputusan BPN tersebut.
Namun, Alamsyah melanjutkan, permasalahannya ada pada belum selesainya penyusunan revisi Perda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Dua regulasi itu biasa disebut Raperda Reklamasi.
“Apakah etis kalau di hulunya (Raperda Reklamasi) belum beres, lalu sudah masuk ke wilayah hilir (penerbitan HGB Pulau D),” ujar dia.
Ombudsman: Pulau D Belum Boleh Dijual Meski Ada HGB
Alamsyah juga meminta Pemprov DKI Jakarta bertindak tegas terhadap PT Kapuk Naga Indah yang sudah mulai menjual lahan di pulau D. Menurut dia, Sertifikat HGB bukanlah jaminan final akan ada izin mendirikan bangunan. Karena itu, apabila ada pihak-pihak yang menjual lahan, tetapi porsi penggunaannya belum jelas, hal itu harus ditindak.
“Apakah boleh bangun apartemen (di Pulau D)? Belum tentu. Itu yang harus dikejar terus kalau sudah mulai jual-menjual,” kata dia.
Alamsyah menambahkan kajian lingkungan terkait proyek reklamasi juga perlu diketahui oleh publik. Seharusnya, kajian tersebut bisa dilihat oleh publik secara bebas. “Saya sendiri belum pernah lihat prosedur kajiannya, karena hanya 'kata-nya',” ujar dia.
Dia menegaskan bahwa pemerintah sepatutnya melibatkan nelayan, sebagai penerima dampak langsung, dalam menyusun kajian lingkungan terkait reklamasi. “Tentunya ada batas kewajaran, masa cuma (melibatkan) 1 orang? Masyarakat pasti berkelompok-kelompok. Yang penting, semua diundang,” kata dia.
Pernyataan Alamsyah diperkuat dengan keterangan seorang nelayan yang tinggal di kawasan Muara Angke, Iwan yang mengaku para nelayan rekan-rekannya di Teluk Jakarta tidak pernah merasa dilibatkan dalam kajian lingkungan itu.
Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, dalam siaran persnya Rabu kemarin, menuding pemerintah pusat dan DKI Jakarta memuluskan proyek reklamasi. Mereka memprotes penyusunan KLHS buatan Pemprov DKI Jakarta sebab tanpa partisipasi nelayan dan organisasi lingkungan hidup, penerbitan HPL Pulau C dan D serta HGB Pulau D, hingga putusan MA soal izin Pulau G. Koalisi juga mengkritik langkah Gubernur Djarot meminta pencabutan moratorium reklamasi.
Gubernur Djarot membenarkan telah menyurati Kemenko Kemaritiman terkait moratorium reklamasi. Dia beralasan Pemprov DKI telah memiliki sertifikat HPL Pulau C dan D dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Artinya, pemanfaatan kedua pulau itu tinggal menunggu pencabutan moratorium dan dua Raperda Reklamasi disahkan.
Penerbitan HGB atas Pulau D, menurut dia, juga wajar dalam administrasi daerah. Djarot juga mengingatkan pengembang masih butuh banyak syarat untuk pemanfaatan pulau D.
"Harus bikin dulu KRK (Ketetapan Rencana Kota), UDGL-nya (Urban Design Guideline) seperti apa? Ini kan HPL (Hak Pengelolaan Lahan) milik kita, milik Pemprov, pemanfaatannya seperti apa itu ada aturan yang harus dipenuhi," kata Djarot. "Setelah KRK dia harus mengajukan SIPPT (Surat Izin Penunjukkan Penggunaan Tanah), supaya bisa diajukan mendapatkan IMB."
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Addi M Idhom