Menuju konten utama

Ombudsman Desak IPDN Hapus Kultur Kekerasan Lewat Kurikulum

Ombudsman RI mendesak IPDN melakukan revolusi kurikulum untuk mencegah kasus kekerasan di kalangan peserta didiknya terus berulang.

Ombudsman Desak IPDN Hapus Kultur Kekerasan Lewat Kurikulum
(Ilustrasi) Presiden Joko Widodo melakukan Pelantikan Pamong Praja Muda (PPM) Angkatan XXIV Tahun 2017 di Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Selasa (8/8/2017). ANTARA FOTO/Fahrul Jayadiputra.

tirto.id - Ketua Ombudsman, Amzulian Rifai, menyayangkan kejadian pengeroyokan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) baru-baru ini. Ia berharap IPDN tidak hanya mengobral janji dan segera memperbaiki kurikulum agar budaya kekerasan tidak berlanjut di kalangan peserta didiknya.

Rifai juga meminta kepada pemerintah mendorong pengelola IPDN untuk segera melakukan perbaikan kurikulum itu. Dia menilai kurikulum menjadi faktor utama pemicu budaya kekerasan di IPDN.

“Oleh karena itu menurut saya harus ada satu tindakan tegas dan yang kedua adalah kurikulum yang betul-betul bisa menghindari kejadian serupa itu. Ada revolusi, itu tentu revolusi kurikulumnya, kalau revolusi mental kan butuh waktu,” kata Rifai kepada tirto di Gedung Ombudsman, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (31/8/2017).

Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti), menurut Rifai, sudah menjalankan program yang berhasil mengurangi jumlah kasus kekerasan di kampus swasta dan negeri. Rifai berpendapat langkah Kemenristek Dikti harus ditiru oleh IPDN.

“Jangan ada lagi kekerasan-kekerasan atau yang mengarah kepada itu. Pemerintah menurut saya berhasil pada perguruan tinggi umum. Angka kasus kekerasan di perguruan tinggi umum itu jauh sekali menurun. Bisa ternyata,” kata dia.

Rifai mengkritik IPDN sebab hanya melakukan tindakan formalitas terhadap pelaku-pelaku penganiayaan kampus itu, meski berkali-kali berjanji melakukan perbaikan. Ia tidak melihat adanya ketegasan dari IPDN seiring kasus penganiayaan atau kekerasan yang terus berulang.

“Ngomongnya bagus, tapi kalau (kekerasan) terjadi lagi, berarti (omongan) itu tidak dilakukan,” katanya.

Ia menduga sebagian pelaku kekerasan yang mengenyam pendidikan di IPDN adalah anak dari pejabat tertentu yang merasa memiliki hak istimewa dan kebal dari tindakan tegas IPDN.

“Ini baru sebatas dugaan saya saja,” ujar dia. “Karena sekian tahun berulang lagi dan jawabnya sama dan kalau disebut musibah, tapi terjadi lagi, pasti kan something wrong (ada yang salah).”

Meski begitu, Rifai tidak menyalahkan Ermaya Suradinata selaku Rektor IPDN. Ia berpendapat bahwa tidak mungkin Ermaya mendiamkan kekerasan yang terjadi di dalam naungannya. Ia yakin Ermaya ingin kampus IPDN menerima penialaian bagus dari masyarakat.

Tapi, Rifai berpendapat perlu ada transparansi dari pihak IPDN kepada publik mengenai penanganan kasus-kasus kekerasan yang melibatkan peserta didik lembaga pendidikan bawahan Kemendagri itu.

“Pertanggungjawaban kepada publik, langkah-langkah yang dilakukan itu dikemukakan kepada publik diberitahu kepada publik supaya kita tahu apa sih yang dilakukan (oleh IPDN),” ujar Rifai.

Dia mengimbuhkan, ”Yang paling penting itu bagaimana ada jaminan supaya (kasus kekerasan) tidak terulang ke depan karena kalau konsep-konsep di atas kertas saja, kita semua jago menyampaikan itu.”

Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Ermaya Suradinata mengakui ada 10 praja IPDN yang terlibat kasus pengeroyokan ke teman satu angkatan mereka itu. Tapi, menurut dia, hanya 5 praja yang terlibat langsung dengan aksi kekerasan tersebut.

"(kasus) penamparan dan sanksi yang diberikan turun tingkat, turun pangkat," kata Ermaya di Kemendagri, Jakarta, Kamis (31/8/2017) seperti dikutip Antara.

Dia mengaku tidak memecat 5 praja IPDN pelaku penamparan lantaran korban tidak mengalami luka berat. "Dipecat itu kalau sampai dirawat, ini tidak. Orangnya (korban) normal biasa saja," kata Ermaya.

Sebaliknya, Mendagri Tjahjo Kumolo, pada Selasa lalu (28/8/2017), mendesak IPDN memberikan sanksi tegas ke para pelaku kekerasan itu. "Jangan diberi kesempatan, jangan diberi kelonggaran sanksi," kata Tjahjo sebagaimana siaran pers laman Kemendagri.

Baca juga artikel terkait IPDN atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Addi M Idhom