tirto.id - Ketakutan akan kondisi chaos adalah hal yang manusiawi. Maka wajar jika seseorang menimbun makanan sesaat atau sebelum terjadi blackout (mati listrik total), bencana alam, kebangkrutan ekonomi, atau kolapsnya negara.
Meski demikian, bertahan hidup lebih dari sekadar urusan pangan. Kaum survivalis mengerti benar soal ini. Di Amerika Serikat, mereka disebut sebagai preppers:orang-orang yang memahami praktik-praktik bersiap menghadapi bencana.
Allison Kabel and Catherine Chmidling pernah menganalisisnya dalam artikel ilmiah bertajuk "Disaster Prepper: Health, Identity, and American Survivalist Culture" (Jurnal Human Organization, Vol.73, 2014).
Kabel dan Chimdling mengemukakan fenomena prepper di Amerika telah berkembang menjadi sub-kultur. Artinya, kegiatan mempersiapkan kemungkinan terburuk tidak hanya didasarkan pada motif pragmatik, tapi telah menjadi bagian dari gaya hidup.
Para prepper ditelaah sebagai orang-orang yang mengimajinasikan kiamat alami maupun buatan manusia yang mengakibatkan “kehancuran masyarakat sipil”.
Mereka meyakini pemerintah tidak bisa diandalkan untuk mengatasi krisis, sehingga harus bergantung pada diri sendiri. Dalam sejumlah skenario, mereka bahkan membayangkan pemerintah sebagai entitas antagonis yang menjadi dalang krisis serta berbalik mengancam nyawa mereka.
Kaum prepper mengantisipasi bencana dengan cara mengamankan diri ke tempat perlindungan khusus yang sebagian berlokasi tidak satu lingkungan dengan rumah. Di tempat tersebut mereka menimbun makanan, air, bahan bakar, obat, dan persediaan pendukung lain.
Imajinasi prepper berubah seiring waktu. Pada 1970-an mereka ketakutan akan kebangkrutan ekonomi, hiper-inflasi, dan kelaparan massal. Mereka mengutamakan tempat penyimpanan makanan dan pindah ke daerah pinggiran yang memungkinkan untuk berkebun.
Perang Dingin memuncak pada era 1980-an. Paranoia terhadap segala sesuatu yang berbau Uni Soviet meluas ke berbagai sendi kehidupan. Kondisi ini mendorong golongan prepper untuk merancang metode bertahan hidup di tengah ancaman radiasi seandainya perang nuklir benar-benar terjadi.
Beralih ke dekade 1990-an, masyarakat Amerika dilaporkan banyak yang membeli generator listrik, alat pemurni air, dan bahan pangan yang bisa bertahan untuk beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun. Mereka memendam kekhawatiran akan blackout alias pemadaman listrik total.
Ada beberapa kejadian yang blackout yang bisa dijadikan pelajaran. Misalnya The Great Northeast Blackout, pemadaman listrik massal yang melanda Amerika dan Kanada pada November 1965.
Penyebabnya adalah problem konfigurasi listrik pembangkit tenaga listrik di Air Terjun Niagara. Listrik mati pada jam sibuk, berlangsung seharian, dan menjebak lebih dari 800 ribu orang yang sedang berada di kereta bawah tanah di New York. Pesawat terbang pun tak bisa mendarat.
Kasus lain terjadi pada 2003. Pohon tumbang yang menimpa pembangkit tenaga listrik di utara Ohio membuat kerusakan sejumlah rangkaian listrik tegangan tinggi. Dampaknya kala itu dirasakan oleh 50 juta orang.
Terulangnya blackout dalam skala yang lebih masif serta menimbulkan kerugian yang lebih besar bukanlah sesuatu yang mustahil. National Geographic mencatat ada empat ancaman nyata yang menyasar jaringan listrik Amerika.
Pertama, serangan siber terhadap jaringan komputer pemerintah melalui inflitrasi malware atau celah keamanan lain. Kedua, serangan getaran elektromagnetik (EMP). Ketiga, radiasi badai matahari (ancaman non-manusia). Keempat, kehancuran kisi-kisi pada pusat pembangkit listrik.
Memasuki abad ke-21, jumlah prepper dilaporkan naik setelah dua kejadian: serangan teror Gedung Kembar di New York pada 11 September 2001 dan pemilihan presiden 2016 yang dimenangkan Donald Trump.
Keduanya membuat banyak warga takut akan ketidakstabilan di bidang keamanan dan politik dalam negeri. Oleh sebab itu, selain mempersiapkan kebutuhan primer, mereka juga membekali diri dengan senjata api serta alat-alat pertahanan diri lain.
Teori lawas menyatakan kaum prepper rata-rata berasal dari golongan libertarian sayap kanan, yang pro-keluarga batih, fundamentalisme agama, dan tidak percaya otoritas negara. Pada masa kekuasaan Trump, muncul prepper dari golongan liberal.
Dua tahun silam Matther Sedacca melaporkan untuk Quartz mengenai kebangkitan prepper liberal yang membentuk komunitas maya di Facebook dengan nama Liberal Prepper’s.
Salah satu narasumber Sedacca adalah Colin Waugh. Satu bulan sebelum pemilihan presiden 2016 ia dan istri memutuskan untuk membeli senjata api untuk pertama kalinya.
Waugh mengantisipasi kemenangan Trump yang dibekingi kelompok gila senjata. Ia membayangkan akan segera jadi target “perburuan”.
“Untuk pertama kali dalam hidup, aku menyadari kemerdekaanku adalah tanggung jawabku sendiri. Aku tak bisa lagi mempercayai Trump, atau Kongres, untuk menjamin hak dan kebebasanku,” katanya.
Waugh termasuk orang yang merasakan Trump sebagai presiden yang bisa membawa Amerika ke jurang chaos. Alih-alih menyempit, ia dan yang lain merasakan kemungkinan terjadinya kebangkrutan ekonomi semakin terbuka.
Di luar negeri Trump tidak disukai oleh berbagai komunitas internasional serta memancing ketegangan dengan negara lain. Di dalam negeri Trump menaikkan tensi hubungan antar-ras dan dianggap bertanggung jawab terhadap jatuhnya korban jiwa akibat serangan teroris supremasi kulit putih.
Dalam grup Liberal Preper’s anggota saling berbagi berbagai keterampilan dan taktik untuk bertahan dalam peristiwa bencana. Tapi, tidak sedikit juga yang membahas pertahanan diri dan tidak mengharamkan perbincangan mengenai kepemilikan senjata api.
“Mereka (orang-orang konservatif pendukung Trump) menertawakan kami, berpikir bahwa kami adalah sekumpulan orang-orang tanpa senjata. Tapi sebagian dari kami ada yang bersikap ‘hey brengsek, ayo kalau berani, hadapi kami’,” kata Kenny Stabler, salah satu pengurus grup.
Keanggotaan grup yang berjumlah lebih dari 2.000 akun meluas ke berbagai spektrum ideologis, dan tidak dipermasalahkan pengurus grup. Mereka pada akhirnya menyadari bahwa musuh pendukung Trump tidak hanya orang-orang liberal, tapi juga yang anarkis sampai yang kekiri-kirian lainnya.
“Kapitalisme semakin brutal, dan perang adalah bisnis besar. Jadi mungkin orang-orang mengakses internet untuk mendidik diri sendiri dan memahami sedikit lebih banyak tentang apa yang terjadi—itu bukan sesuatu yang buruk untuk dilakukan,” imbuh Stabler.
Chad Huddleston, profesor antropologi di Southern Illinois University, berkata pada Sedacca bahwa kondisi yang sama juga terjadi pada awal pemerintahan Barrack Obama pada 2008. Saat itu gerakan patriot sayap kanan seperti 3 Percenters didirikan dengan karakteristik sebagai kelompok prepper.
Huddleston menyebut bencana alam dan problem finansial sebagai faktor pendorong makin populernya gerakan prepper. Ia mencontohkan badai Katrina pada 2005, yang menghancurkan negara bagian New Orleans, dan krisis tahun 2008 yang menghantam sistem finansial dan pasar perumahan nasional.
Kaum prepper sebenarnya tidak hanya ada di Amerika. Mereka ada Australia, Inggris, dan negara-negara lain. Hanya saja prepper di Amerika memiliki reputasi sebagai salah satu golongan paling paranoid karena banyak dari mereka yang menghubung-hubungkannya dengan kiamat.
Dalam laporan Tirto sebelumnya dibahas bagaimana orang kaya di Negeri Paman Sam ramai-ramai membangun bunker yang diklaim bisa melindungi diri dari kiamat. Saking larisnya, sejumlah investor bahkan telah melirik pembangunan bunker sebagai lahan bisnis baru.
Laporan Evan Osnos untuk New Yorker yang berjudul Doomsday Prep for the Super-Rich menyebut Kansas sebagai tempat strategis pembangunan sejumlah bungker.
Namun, sejak Pilpres 2016, kantor imigrasi Selandia Baru mencatat kedatangan 13.401 warga Amerika yang sebagian di antaranya membangun bungker. Peter Thiel, pendukung Trump dari Silicon Valley, bahkan dikabarkan telah membeli tanah dan memperoleh kewarganegaraan Selandia Baru.
Orang-orang kaya ini berbeda dari warga kelas menengah atau bawah yang hanya mengandalkan basement rumah serta mengandalkan timbunan bahan pokok seadanya.
Isu survivalisme, pada akhirnya, menjadi gambaran telanjang bagaimana ketimpangan antar-kelas di Amerika juga berpengaruh terhadap nasib warganya kala kiamat tiba.
Editor: Windu Jusuf