tirto.id - Nahdlatul Ulama (NU) menggelar seminar bertema "Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk Papua Tanah Damai", di Jayapura, Kamis (18/5/2017). Seminar itu bekerjasama dengan Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama Papua. Kapolda Papua, Inspektur Jenderal Polisi Boy Rafli Amar juga menjadi salah satu pembicara dalam seminar itu.
Kapolda Papua Boy Rafli Amar mengatakan, HTI membawa paham yang berbeda dan bertentangan dengan Pancasila dan NKRI, namun harus menggunakan cara-cara yang elegan untuk membubarkan organisasi itu.
"Tidak dengan cara kekerasan, tapi dengan yang bijak. Karena ada undang-undang yang mengatur terkait pembubaran organisasi," kata Boy di Jayapura, Kamis (18/5/2017), seperti dikutip dari Antara.
Menurut salah satu pembicara Ridwan Al-Makassary, HT didirikan oleh Taqiyuddin An-Nabhani pada tahun 1953 di Yerusalem, dengan membawa ideologi mendirikan khilafah Islam, atau pemerintahan Islam berdasarkan khilafah dan menolak adanya sistem demokrasi.
Ridwan melanjutkan, HT berkembang pesat di negara-negara Islam dan pernah melakukan kudeta di Yordania, sehingga pemerintah di negara itu mengusir dan melarang keberadaan organisasi itu.
"HT coba berkembang di beberapa negara seperti Pakistan, Tajikistan, Turki, Mesir dan Malaysia dan beberapa negara Islam lainnya, namun belakang dilarang dan ditolak karena dinilai membahayakan negara," ujarnya.
"Sementara di Inggris, Australia dan Kanada yang menganut paham negara multikultural, HT berkembang di sana dengan baik, tapi jika melanggar akan diproses hukum," katanya.
Ia juga menjelaskan awal munculnya HTI di Indonesia, yakni sejak tahun 1980-an dengan menyasar mahasiswa dan jemaah masjid yang menggunakan sistem sel, dan pembagian buletin-buletin dakwah Al Islam di setiap Jumat yang dibagi secara gratis.
Sementara di Papua, kata Ridwan, HTI masuk sejak 2000-an karena imbas dari dibukanya keran demokrasi pascapemerintahan mantan Presiden Suharto yang banyak mengekang organisasi Islam. HTI menyebarkan paham khilafah dan melakukan doktrinisasi kepada kadernya di Papua.
"Karena Papua itu tujuan favorit saudara kita mencari kehidupan lebih baik, atau gampang cari duit. Jadi banyak dari luar Papua datang bawa serta ideologi itu, seperti dari Jawa dan Makassar," katanya.
Kendati demikian, kata Ridwan, aksi senyap HTI di berbagai tempat di Papua mulai mendapat penolakan dari elemen masyarakat, karena tidak sesuai dengan Pancasila dan NKRI, yang bisa merusak tatanan yang ada.
"HTI ini bisa saya sebut makar di bidang pemikiran, coba lakukan doktrinisasi kepada kader untuk melawan negara. Mereka gunakan strategi ambiguitas, membungkus acara dengan kegiatan melawan negara, berikan pemahaman yang bertentangan, mereka ini berminyak air," kata Ridwan.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto