tirto.id - Pada masa kejayaan Nokia, semua orang pasti mengenal salah satu produknya Nokia 3310. Selain terkenal dengan fitur uniknya yang mampu bergonta-ganti cover dengan mudah, handphone tersebut juga dikenal dengan durabilitasnya yang luar biasa. Nokia ini laris manis sehingga sering disebut handphone sejuta umat.
Bertahun-tahun berselang, ketenaran akan durabilitas telepon genggam tersebut masih melegenda. Tidak percaya? Coba saja lakukan pencarian di situs berbagi video, Youtube. Anda akan menemukan segudang video yang membandingkan durabilitas handphone tersebut dengan smartphone-smartphone masa kini. Tidak hanya video, ribuan meme pun tercipta terinspirasi dari ketangguhan Nokia 3310.
Nokia 3310 adalah representasi dari ketangguhan ponsel-ponsel "bodoh" – seperti feature phone dan basic phone – yang hingga saat ini pun masih belum mampu ditandingi oleh smartphone pada umumnya. Yang menarik, "bandelnya" ponsel-ponsel itu pun juga terepresentasikan pada pangsa pasarnya, bahkan hingga saat ini.
Riset yang dilakukan oleh perusahaan riset MARS Indonesia di lima kota di Tanah Air (Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan) pada tahun 2015 lalu menjadi penegas. Hasil riset itu cukup mencengangkan, karena bukan Samsung si raja Android, ataupun iPhone sebagai jawara di Indonesia. Juaranya adalah Nokia, yang sering disebut sudah mengalami kejatuhannya.
Riset menunjukkan, Nokia menjadi merek handphone yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat Indonesia pada tahun lalu, dengan persentase sebesar 38,8 persen. Sang raja Android, Samsung, menyusul di tempat kedua dengan persentase yang terpaut 10 persen lebih, yakni 27 persen. Blackberry berada tepat di bawah Samsung dengan 17,1 persen, yang kemudian dikuntit oleh Cross dengan 6,8 persen.
Nokia masih laris karena dia memiliki segmen ponsel murah dengan harga sekitar Rp200 ribu. Pasar ini tentu sangat penting mengingat 48,4 persen masyarakat Indonesia masih memiliki pendapatan di bawah Rp 1 juta, sementara sebanyak 47,8 persen tingkat pendidikan konsumen Indonesia adalah tamatan Sekolah Dasar (SD). Dengan demikian dapat disimpulkan jika pasar Indonesia masih dikuasai oleh segmen pasar middle low class.
Lebih lanjut, perilaku konsumen middle low class disebut oleh riset tersebut sensitif terhadap harga.
Melihat data yang ada, menjadi masuk akal bila smartphone, yang sebagian besar masih berada pada kisaran harga di atas Rp 1 juta, bukan menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia untuk berkomunikasi.
Selain itu, penetrasi internet Indonesia menurut Internet Live Stats sendiri per bulan Juli 2016 baru mencapai 20,4 persen. Padahal, internet merupakan inti dari "kepintaran" smartphone.
Perlu diketahui, tidak banyak produsen yang bermain di pasar ponsel "bodoh" ini. Perusahaan seperti Sony dan LG diketahui sudah meninggalkan segmen pasar ini, sementara Samsung dan Microsoft merupakan pemain besar yang masih bertahan pada segmen pasar ini.
Sebagai catatan tambahan, Microsoft memang sudah mengakuisisi lini bisnis handphone Nokia senilai $7,9 miliar pada tahun 2014 lalu. Namun, Microsoft kemudian memutuskan untuk menjual bisnis entry-level feature phone pada FIH Mobile Ltd., sebuah anak perusahaan dari Foxconn, pada Mei 2016 ini.
Wabah Dunia?
Microsoft sendiri pada tahun lalu mengklaim bahwa penjualan salah satu seri feature phone-nya, Nokia 105, mencapai lebih dari 80 juta unit sejak diluncurkan pada tahun 2013. Menariknya, Microsoft mengklaim pembelian handphone tersebut ternyata tidak hanya dilakukan oleh konsumen di pasar negara berkembang, tetapi juga meningkat di negara dengan ekonomi yang lebih maju pula.
"Orang-orang melihatnya [ponsel 'tradisional'] sebagai pendamping untuk smartphone, tetapi juga ketika mereka pergi ke pantai atau ke festival musik sebagai perangkat yang sempurna yang dapat mereka bawa," kata Head of Microsoft Phones Design Peter Griffith, seperti dikutip dari blog resmi Microsoft.
"Ini adalah tren yang membuktikan bahwa perubahan kebutuhan dan perilaku orang [...] sering merupakan sebuah bahan kejutan akan keberhasilan suatu produk."
Menurut riset Strategy Analytics, diperkirakan sekitar 44 juta basic phone terjual selama tahun 2015, atau sekitar 2 persen dari pasar global, demikian seperti dikutip dari The Financial Times.
Banyak pengguna smartphone mengeluhkan kemampuan baterai yang ada pada smartphone mereka, selain mudah rusaknya alat-alat komunikasi canggih tersebut.
Seperti dikutip dari The Financial Times, banyak analis mengatakan bahwa saat ini jumlah orang yang menggunakan smartphone mahal pada kesehariannya, tetapi kemudian beralih menggunakan ponsel yang lebih ringkas dan murah ketika mereka kembali pergi keluar pada malam hari, terus meningkat.
Arah industri ponsel memang sudah jelas. Meski smartphone masih tertinggal jauh dalam hal daya tahan baterai jika dibandingkan dengan ponsel 'bodoh' – hal yang menjadi jualan utama teknologi ponsel ini selain harga yang murah dan durabilitasnya, namun dengan teknologi terus berkembang. Bukan tidak mungkin smartphone-smartphone generasi terbaru dapat mengatasi gap yang masih menjulang tersebut.
Dalam riset yang dilakukan oleh perusahaan riset CCS Insight pada tahun 2015, pasar ponsel tradisional ini juga diperkirakan terus menyusut. Jika pada tahun 2015, sekitar 590 juta ponsel “bodoh” diperkirakan terjual, maka pada tahun 2019, diproyeksikan angka tersebut akan menyusut menjadi 350 juta.
Terlepas dari segala data yang ada, saat ini ada satu hal yang pasti, ponsel "jadul" Nokia memang masih mendapat tempat di hati. Ia masih mampu bertahan di tengah gemerlap kecanggihan smartphone yang semakin penuh sesak.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti