Menuju konten utama
Analisis Hasil Debat Capres

Nihil Keseriusan Capres Bereskan Masalah Pendidikan dalam Debat

Ketiga capres dinilai masih belum memiliki tawaran yang solutif dalam menyelesaikan masalah pendidikan.

Nihil Keseriusan Capres Bereskan Masalah Pendidikan dalam Debat
Capres nomor urut 1 Anies Baswedan (kiri) menyampaikan pandangannya disaksikan Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto (tengah) dan Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo (kanan) saat Debat Kelima Pilpres 2024 di Balai Sidang Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Minggu (4/2/2024). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

tirto.id - Debat kelima Pilpres 2024 sebagai debat terakhir di Pilpres 2024 sudah terselenggara, Minggu (4/2/2024) malam. Di debat terakhir, tiga capres menyampaikan sejumlah gagasan dalam tema kesejahteraan sosial, pembangunan SDM dan inklusi dengan sub tema, antara lain pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, kebudayaan, teknologi informasi, serta kesejahteraan sosial dan inklusi.

Masalah kesejahteraan dan kompetensi guru menjadi pembahasan dalam sesi ketiga pada debat terakhir, namun dalam tema pendidikan ini, ketiga capres dinilai masih belum memiliki keseriusan menyelesaikan masalah pendidikan.

Capres nomor urut 1, Anies Baswedan, menekankan pentingnya peran pendidik dalam mencerdaskan bangsa. Ia menekankan kesejahteraan pendidik adalah tanggung jawab semua pihak.

"Kita ingin pendidik bisa mendidik anak-anak kita. Karena itu, kita harus bertanggung jawab dengan penuh atas kesejahteraan pendidiknya agar dia bisa konsentrasi menjadi anak-anak kita. Prinsip itu harus dipegang oleh seluruh penanggung jawab kebijakan di seluruh Indonesia. Kalau kita punya pegangan itu, maka terjemahannya mudah," kata Anies saat debat di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (4/2/2024).

Anies menilai, hal itu bisa diterjemahkan tentang menyejahterakan pendidik melalui penghasilan yang adil dan setara. Ia mencontohkan puluhan ribu guru honorer yang belum jadi guru dengan status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), kemudian 1,6 juta guru belum bersertifikasi hingga memikul beban administrasi.

Dalam menyelesaikan isu tersebut, Anies menjanjikan percepatan sertifikasi guru, pengangkatan 700 ribu guru honorer menjadi PPPK dan pemberian beasiswa untuk anak dosen, anak guru dan anak tenaga kependidikan.

"Jangan sampai mereka mendidik ratusan anak, tapi anaknya tidak pernah bisa menyelesaikan pendidikan sampai tuntas," kata Anies.

Anies juga mendorong pemberian tunjangan bagi dosen dan peneliti berbasis kinerja.

Ia pun menekankan pengurangan beban administrasi, terutama bagi dosen. Dosen harus fokus mengajar, meneliti, dan pengabdian masyarakat daripada mengurus masalah administrasi.

"Jadi prinsipnya ada nilainya dulu yang kita pegang, kemudian ada turunan teknisnya, teknokrasinya seperti yang tadi saya sampaikan, dan kemudian bebaskan dari beban-beban yang tidak perlu," kata Anies.

anies-muhaimin Debat Kelima Pilpres 2024

Calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 1 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar memasuki ruangan Debat Kelima Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Minggu (21/1/2024). Youtube/KPU RI

Menanggapi permasalahan pendidikan yang diutarakan Anies, capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, sepakat dengan Anies. Ia pun menyinggung posisi Anies di masa lalu sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang paham betul masalah-masalah yang ada pada sektor pendidikan.

"Saya menilai jawaban-jawaban Pak Anies baik, bagus, relevan. Saya banyak setuju dengan jawaban tersebut. Mungkin, maklum, beliau mantan Menteri Pendidikan, begitu. Tapi, enggak, saya sangat sependapat," kata Prabowo dalam debat.

Prabowo hanya menambahkan perlunya audit sistem dan pengelolaan anggaran pada sektor pendidikan agar bisa lebih baik. Menurut Prabowo, masih ada dugaan kebocoran anggaran dalam penyaluran alokasi anggaran, sehingga diperlukannya audit guna membenahi masalahnya.

"Ini menyangkut memang masalah mental dan budaya banyak pejabat-pejabat kita. Jadi, kita harus koreksi diri, kita harus audit dan di mana masalah sistemik yang kurang baik harus kita perbaiki. Kita harus berani memperbaiki sistem yang kurang baik," kata Prabowo.

Sementara itu, capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo, mendorong agar ada pemberian fasilitas bagi masyarakat. Ia menilai negara harus menjamin pendidikan bersifat inklusif.

"Negara harus hadir dan makin inklusi," kata Ganjar dalam debat.

Ganjar bercerita saat menjabat Gubernur Jawa Tengah, menemukan adanya guru SMA, SMK dan SLB di tingkat provinsi mendapatkan gaji Rp300 ribu.

Dalam kacamata Ganjar, hal itu tidak adil. Ia pun menaikkan gaji guru kala itu sesuai UMP Jawa Tengah ditambah 10 persen dan ada proses sertifikasi.

Kemudian, Ganjar juga mengaku ada aplikasi Bolpen, lembaga bimbingan teknis yang memberikan bantuan pada guru demi meningkatkan mutu pendidik.

"Maka guru akan bisa bekerja dengan baik dan dia mesti dibebaskan dari persoalan administrasi yang menjerat," kata Ganjar.

Anies menanggapi positif respons gagasan yang disampaikan dua pesaingnya itu. Menurut Anies, pendidikan bukan hanya dipandang sebagai beban biaya, melainkan sebagai sebuah investasi.

Oleh karena itu, Anies berharap agar negara berani adil dan tidak pelit menggelontorkan anggaran besar untuk pendidikan.

"Negara jangan pelit kalau bicara tentang investasi di bidang pendidikan dan jangan pelit kalau sama guru. Jangan pernah kita memberikan yang seminim mungkin untuk guru. Berikan yang adil sehingga mereka bisa konsentrasi," kata Anies.

Debat Kelima Pilpres 2024

Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo (kanan) menyampaikan pandangannya disaksikan Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto saat Debat Kelima Pilpres 2024 di Balai Sidang Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Minggu (4/2/2024). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

Gagasan Capres untuk Pendidikan Hanya Gimik dan Normatif

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), sebagai salah satu lembaga organisasi profesi di bidang pendidikan menilai gagasan pendidikan yang ditawarkan seluruh capres hanya gimik dan normatif belaka.

“Menyimak debat capres isu pendidikan, P2G menilai belum menyentuh persoalan fundamental pendidikan nasional,” kata Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim, Senin (5/2/2024).

Ketiga Capres dinilai belum memperhatikan data-data aktual dan belum menawarkan solusi konkret yang menunjukan ragam masalah kualitas pendidikan Indonesia.

P2G, kata Satriwan mencatat setidaknya ada 10 persoalan yang tidak dibahas secara optimal dalam debat.

Pertama, permasalahan nilai literasi dan matematika yang masih rendah. Hasil Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) tahun 2022, terungkap fakta bahwa 1 dari 2 anak Indonesia belum mampu mencapai kompetensi minimum literasi dan 3 dari 4 anak Indonesia belum mencapai kompetensi minimum numerasi.

Ia pun mengutip skor hasil PISA Indonesia 2022 yang terus merosot tajam. Skor Numerasi Matematika Indonesia (366) sama dengan Palestina yang kondisinya jauh lebih tidak stabil karena sekolah mereka porak poranda akibat perang.

Skor numerasi tersebut bahkan menjadi yang terendah sejak 2006.

Begitu pun dengan skor Literasi Membaca di Indonesia pada 2022 juga menjadi yang terendah di antara skor PISA tahun-tahun sebelumnya, yakni sebesar 359. Padahal, di tahun 2009, Indonesia pernah mencatatkan skor PISA literasi membaca sebesar 402.

“Belum ada tawaran perbaikan konkret dan signifikan mengenai problematika mendasar rendahnya literasi dan matematika anak Indonesia," kata Satriwan.

Kedua, Satriwan melihat para capres juga tidak menyinggung bagaimana peringkat Indeks Kompetitif Global Indonesia. Indeks ini sangat berkorelasi dengan pendidikan, sebab bagaimana kebijakan pendidikan nasional akan menentukan seberapa kompetitif peserta didik sebagai sumber daya manusia Indonesia ketika bersaing secara global nanti.

Data Global Competitive Index (GCI) 2023, Indonesia belum bisa melampaui posisi Malaysia (27), Thailand (30) dan Singapura (4), tiga negara tetangga yang sama-sama berada di dalam kawasan Asia Tenggara.

Satriwan mengatakan, dalam bersaing secara global, Indonesia juga perlu mempertimbangkan modal yang dimiliki Indonesia. Merujuk Human Capital Index (HCI) 2020, Indonesia menempati posisi 96 dari 174 negara.

Berdasarkan capaian pendidikan dan status kesehatannya, diperkirakan anak Indonesia yang lahir tahun 2020, 18 tahun kemudian hanya dapat mencapai 54% dari potensi produktivitas maksimum. Kedua indeks ini tidak disentuh dan tidak diberikan solusi konkret oleh ketiga capres dalam debat.

Ketiga, para capres tidak spesifik dalam membahas kunci kesuksesan kebijakan pendidikan dalam menghasilkan tenaga kerja terampil, ada di SMK.

Sampai saat ini, SMK masih menjadi pusat pengangguran berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). BPS mencatat sampai Februari 2023 terdapat 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Pengangguran tertinggi masih lulusan SMK sebesar 9.60%, sedangkan lulusan SMA 7,69%.

Tahun 2021, lulusan SMK tertinggi menyumbang 11,45% dari total 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Tahun 2023 turun menjadi 9,60%.

"Artinya selama dua tahun terakhir upaya pemerintah menggenjot pendidikan vokasi hanya berhasil mengurangi 1,85% pengangguran SMK. Lagi-lagi para capres tidak menyentuh persoalan fundamental pendidikan tersebut," kata Satriwan.

Keempat, P2G juga menyayangkan dalam debat para capres tidak memberikan solusi mengenai fakta bahwa saat ini angkatan kerja lulusan SD masih mendominasi.

Mengutip data BPS sampai 2023, angkatan kerja lulusan SD 39,76%, lulusan SMA 19,18%, lulusan SMP 18,24%, sisanya lulusan Perguruan Tinggi D1-3 2,20% dan D4, S1,S2,S3 sebesar 9,13%. Alhasil, produktivitas tenaga kerja Indonesia masih dihasilkan lulusan SD.

“Kenapa keterserapan angkatan kerja lulusan SD masih dominan? Mestinya makin tinggi jenjangnya, maka makin besar angkatan kerjanya. Ini seharusnya bisa dijawab dalam debat capres, tapi tidak disentuh," kata Satriwan.

Pada poin kelima, semua capres tidak menawarkan peta jalan atau road map pendidikan nasional yang gagal dibuat pemerintah sekarang.

Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri, mengatakan road map pendidikan ini harus menjadikan pendidikan sebagai satu sistem yang saling berkaitan, tidak parsial.

Dengan adanya road map pendidikan nasional, kata Iman, tak perlu lagi adanya implementasi kebijakan yang berubah setiap pergantian rezim.

“Kami kira tidak perlu kebijakan berjilid-jilid seperti episode Merdeka Belajar era Nadiem Makarim ini," kata Iman.

PROGRAM DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menyampaikan Program dan Kebijakan Pendidikan Tinggi bertajuk Merdeka Belajar: Kampus Belajar di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Jumat (24/1/2020). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/ama.

Keenam, Iman berharap road map yang dibuat bukan hanya mengikuti tren global dan industri pendidikan yang makin teknologi sentris. Pembuatan beragam platform pendidikan dan pembelajaran telah menjadi persoalan bagi guru, dosen, siswa, sekolah dan sistem data pendidikan nasional.

Ia menilai, penambahan beban administrasi seperti Platform Merdeka Mengajar (PMM) di era Mendikbud Ristek Dikti, Nadiem Makarim saat ini, pemutakhiran data pendidikan menyebabkan masalah baru dalam rekrutmen guru PPPK, server PPG yang sempat down, dan motif-motif bisnis dalam digitalisasi pendidikan.

Ketujuh adalah masalah biaya pendidikan. Berdasarkan dokumen visi-misi para capres. pasangan Anies-Muhaimin menjanjikan sekolah gratis, yang belum terurai dengan baik maksud dari program tersebut.

Kemudian janji Prabowo-Gibran yang akan menjalankan program makan siang dan susu gratis, dengan rencana penggunaan anggaran dari sektor pendidikan.

Sebagaimana diketahui, berdasar UUD 1945, pasal 31, pemerintah wajib menganggarkan 20 persen APBN dan APBD untuk pendidikan. APBN untuk pendidikan saja sebesar Rp612 triliyun.

"Jika Rp400 triliunnya justru dipakai untuk program makan siang dan susu gratis, maka jelas berpotensi bertentangan dengan UUD 1945. Sebab akan mengurangi drastis alokasi anggaran untuk bidang pendidikan lainnya," tanya Iman.

Sementara untuk janji Ganjar-Mahfud, yakni akan memberikan gaji guru sebesar Rp20-30 juta per bulan, Iman sebut tidak masuk akal.

Sebab, jika dijumlahkan dengan total guru sebanyak 3,3 juta orang, anggaran APBN akan terkuras hingga lebih dari Rp1.000 triliun.

Selain itu, maraknya pinjaman online (pinjol) yang menyelinap masuk ke dalam sektor pendidikan memperparah kehidupan guru maupun mahasiswa yang banyak terjerat.

Bagi mahasiswa akibat liberalisasi kampus berbentuk PTN BH. Keberadaan PTN-BH masih menjadi penghalang akses pendidikan bagi masyarakat ekonomi lemah. Ini harus dibenahi.

"Tapi lagi-lagi para capres tidak menyinggung persoalan mendasar ini dalam debat," ungkap Iman.

Guru Honorer Jadi PPPK Bukan Solusi Utama

Masalah kesejahteraan dan kualitas guru menjadi poin ke delapan yang tidak dibahas secara komprehensif dalam debat kelima Pilpres 2024. Sama sekali tak ada komitmen dari tiga capres untuk mengangkat guru sebagai PNS.

"Hanya terlontar oleh Capres 01 akan mengangkat guru honorer menjadi P3K. Ini sangat disayangkan, guru P3K itu sifatnya _emergency exit_, kok malah dijadikan solusi utama. Solusi kekurangan guru adalah ya dengan membuka rekrutmen guru PNS," ungkap Iman.

Kemudian, persoalan mendasar lainnya adalah dari 3,3 juta guru masih tersisa 1,6 juta guru belum disertifikasi. Artinya sekitar 40% lebih guru Indonesia belum memenuhi syarat profesional dan kompeten sebagaimana perintah UU Guru dan Dosen.

Ia menilai, permasalahan tersebut tidak lepas dari kegagalan pemerintah dalam memenuhi perintah UU Guru dan Dosen. Ia menilai, semua guru Indonesia sudah tersertifikasi pada 2015.

Sertifikat pendidik itu adalah salah satu syarat wajib yang menandakan seorang guru itu kompeten atau profesional.

Kesembilan, para guru yang berhasil direkrut oleh pemerintah melalui skema PPPK baru 794.724 orang sampai 2024 ini. Bahkan masih ada belasan ribu guru sudah lolos passing grade (PG) yang nilainya di atas ambang batas (istilah P-1), sejak 2021 dijanjikan diberi formasi sampai 2024, tapi sampai sekarang tidak jelas statusnya.

Sementara itu, kebutuhan guru sampai 2024 sebesar 1.312.759 guru ASN. Harapan kami, para capres memperhitungkan agar masalah guru PPPK pada era ini tidak terulang kembali.

P2G berharap dibuka kembali seleksi PNS, karena PPPK guru hanya alternatif, bukan solusi utama.

Dari segi kesejahteraan, rata-rata guru honorer di Indonesia digaji berkisar antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta. Oleh sebab itu dibutuhkan solusi konkret atas masalah kesejahteraan guru. Jika hanya bicara kenaikan gaji fantastis, itu juga tidak realistis.

Terakhir adalah masalah isu PPDB Zonasi juga tidak disentuh dalam debat capres. Padahal ini menyangkut nasib 50 juta lebih siswa se-Indonesia.

"Belum adanya komitmen dari para capres apakah akan melanjutkan Kebijakan PPDB Zonasi? atau akan menghentikannya total? atau akan memperbaiki skema teknisnya? Tak satupun yang menyinggung problematika zonasi ini. Sangat disayangkan sekali," kata Iman.

Alokasi anggaran Bantuan Operasional Satuan Pendidikan 2024

Sejumlah siswa didampingi guru mengikuti kegiatan belajar membuat karya seni di SD Negeri Pekunden, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (26/1/2024).ANTARA FOTO/Makna Zaezar/foc.

Capres Main Aman di Sektor Pendidikan

Sementara itu, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai aksi para kandidat dalam debat terkesan main aman dan tidak ada tawaran solusi baru dalam permasalahan pendidikan Indonesia.

"Semua jawaban bersifat biasa-biasa saja, tanpa ada terobosan baru dan tawaran sebuah sistem pendidikan yang lebih berkeadilan," kata Kornas JPPI Ubaid Matraji dalam keterangan, Senin (5/2/2024).

Ubaid menilai semua kandidat gagal menjawab pertanyaan soal keberpihakan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN.

Ubaid mempersoalkan pengelolaan sisa anggaran pendidikan yang kerap kali dialokasikan ke kementerian/lembaga lain. Akibatnya, kualitas peserta didik akan terus jauh tertinggal dengan negara-negara tetangga.

Semua kandidat juga tidak punya tawaran solutif menjawab masalah yang sudah turun-temurun diwariskan oleh presiden-presiden sebelumnya, yaitu masalah kompetensi dan kesejahteraan guru.

Janji Anies, menurut Ubaid seperti kaset usang yang diputar ulang setiap perhelatan pemilu. Ubaid juga menyayangkan sikap Prabowo yang membahas soal kebocoran dana pendidikan tanpa ada solusi yang ditawarkan guna membereskannya.

"Harusnya tim sudah mengkaji kelemahan sistem yang sekarang, lalu perbaikan sistemnya seperti apa yang ditawarkan? Saya tunggu-tunggu ternyata tidak ada," tutur Ubaid.

Sementara itu, Ganjar lebih menyoroti soal kesejahteraan guru, solusinya adalah peningkatan gaji guru. Sedangkan untuk peningkatan mutu, solusinya dengan pemanfaatan teknologi. Hal tersebut dinilai tidak menawarkan apa-apa bagi guru.

"Hari ini guru kita sudah ‘muntah-muntah’ soal kewajiban harus update aplikasi ini dan itu. Dan ternyata memang, pelatihan guru melalui aplikasi ini gagal meningkatkan mutu guru," kata Ganjar.

Ubaid juga melihat tidak ada solusi konkret untuk menghentikan agenda liberalisasi di pendidikan tinggi. Pertanyaan soal UKT mahal di perguruan tinggi negeri ini juga gagal dimanfaatkan oleh para kandidat untuk membuat kebijakan baru dan skema baru dalam pembiayaan di perguruan tinggi.

Semua main aman dan tidak punya keberpihakan yang jelas.

"Jika para kandidat itu menginginkan perubahan sistem yang kini dianggap sebagai liberalisasi pendidikan, maka ide terobosannya adalah harus berani menghapus status PTNBH, sebagai biang kerok mahalnya biaya kuliah. Sayangnya, tidak ada satupun kandidat yang mempersoalkan soal status PTNBH dan sistem yang tidak berkeadilan yang termaktub dalam UU No.12 tahun 2012," tutur Ubaid.

Baca juga artikel terkait DEBAT CAPRES atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto