tirto.id - Nurul (26) seorang karyawan swasta tentu tak menyangka arus balik lebaran tahun ini bak neraka. Bagaimana tidak, perjalanan mudik yang ditempuh 17 jam Jakarta-Blitar harus dibayar dengan perjalanan balik hingga 22 jam pada Minggu, 9 Juni 2019.
“Pas pulangnya, kalau normal jam 6 pagi sampai, tapi baru sampai sekitar pukul 11 siang [molor sekitar 5 jam]” keluh wanita berusia 26 tahun itu saat dihubungi reporter Tirto, Selasa pagi (11/6/2019).
Nurul mengisahkan, saat kembali ke Jakarta menggunakan bus, ia dihadang macet di sekitar Karawang dan menjelang Cikampek. Kondisi ini membuat dirinya terlambat tiba di ibu kota.
“Arus balik barengan kayaknya, tapi [arus balik] tahun ini lebih parah dari tahun sebelumnya,” kata Nurul mengisahkan.
Macet bagi pemudik seperti Nurul, tentu bukan hanya soal terlambat sampai tempat tujuan. Stamina yang terkuras dan tingkat stres yang tinggi imbas macet menjadi satu kondisi yang tentu tak menyenangkan untuk dikenang.
Kemacetan “horor” yang melelahkan juga dialami Fauzy yang tahun ini mudik menggunakan kendaraan pribadi. Menjajal tol baru dan adanya iming-iming one way jalan tol, menjadi alasan dia memboyong keluarganya mudik ke Kebumen menggunakan mobil pribadi.
Macet yang dialaminya terjadi ketika arus balik menuju rumahnya di Cibubur, pada Minggu (9/6/2019). Saking macetnya, ia akhirnya memutuskan keluar jalur tol dan menempuh jalan arteri.
“Macet lagi di Jakarta-Cikampek, makanya mau balik ke Cibubur lewat jalur biasa dari habis one way sudah macet kira-kira KM 70, enggak tahu berapa lama, penyebabnya gara-gara banyaknya kendaraan jadi numpuk,” sebut dia.
Pengalaman Nurul dan Fauzy hanya sepenggal cerita dari ratusan ribu, bahkan jutaan pemudik yang melakukan perjalanan via tol Trans Jawa.
Sekretaris Inspektorat Jenderal Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Imran Rasyid menyatakan pengguna jalan tol dalam arus mudik dan arus balik idulfitri 2019 meningkat tajam. Kenaikan itu berdasarkan data H+2 atau per Sabtu (8/6/2019).
“Peningkatan sebesar 63,5 persen yaitu 451.104 kendaraan,” ujar dia di Posko Tingkat Nasional Angkutan Lebaran Terpadu 2019, Minggu (9/6/2019).
Selain itu, terjadi kenaikan juga dalam jumlah kendaraan mudik via jalan non-tol (arteri). “Peningkatan sebesar 61 persen atau 328.669 kendaraan,” kata Imran.
Jumlah itu bila dikonversikan menjadi 1.643.345 orang. Saat ini, tol Trans Jawa telah tersambung dari Merak sampai Probolinggo sejauh 962 km. Untuk pertama kalinya pemudik bisa merasakan ruas tol terpanjang di Indonesia pada musim Lebaran 2019 ini.
Pihak pengelola jalan tol dalam hal itu PT Jasa Marga (persero) sebenarnya telah menyiapkan langkah antisipatif. Salah satu yang dilakukan adalah dengan mengoperasikan total gardu operasi hingga empat kali lipat dari kondisi lalu lintas normal.
“Kami memaksimalkan kapasitas gerbang tol untuk melayani peningkatan volume lalu lintas, sebagai contohnya adalah 33 lajur transaksi serta 29 mobile reader yang dioperasikan secara tandem di GT Cikampek Utama dan 25 lajur transaksi serta 29 mobile reader yang dioperasikan secara tandem di G Kalihurip Utama,” jelas Corporate Secretary PT Jasa Marga (Persero) Tbk M. Agus Setiawan.
Pengamat transportasi publik Darmaningtyas menilai, penyelenggaraan mudik tahun ini sebenarnya cukup bisa jadi catatan positif bagi sejarah penyelenggaraan mudik di tanah air. Sayangnya, macet saat arus balik menjadi catatan merah yang tak bisa diabaikan.
“Hanya saja pada arus balik mengalami ketersendatan, tidak selancar arus mudiknya,” kata Darmaningtyas saat dihubungi reporter Tirto, Selasa pagi.
Dari hasil analisanya, Darmaningtyas menilai, kemacetan parah saat arus balik terjadi imbas penerapan one way. Berbeda dengan one way saat mudik yang mana kendaraan langsung terurai di berbagai gerbang tol berbeda. Sementara saat arus balik kendaraan selepas one way langsung menumpuk di satu gerbang tol.
Ketika ratusan ribu mobil antre masuk gate tol yang sama dalam waktu yang bersamaan, kata dia, maka jelas akan terjadi pelambatan akibat adanya waktu taping tiket di gate tol.
Darmaningtiyas memberikan contoh, bila setiap mobil memerlukan waktu taping e-toll selama dua detik saja, maka dari 100.000 mobil yang taping dalam sehari [kenyataannya justru lebih], terjadi penundaan perjalanan sampai 200.000 detik atau setara dengan 55,55 jam.
“Jadi meskipun diterapkan one way system, namun bila masih harus taping e-toll, pasti akan terjadi tumpukan perjalanan minimum satu detik untuk setiap kendaraan. Akumulasi dari ratusan ribu kendaraan yang mengalami tumpukan karena taping itulah yang melahirkan kemacetan,” beber dia.
Menurut dia, solusi yang bisa ditempuh pemerintah demi perbaikan penyelenggaraan mudik tahun depan sekaligus perbaikan pengelolaan layanan jalan tol di masa depan adalah dengan mengubah sistem pembayaran yang saat ini masih menggunakan kartu yang ditempel atau taping kartu, menjadi sistem elektronik berbasis sinyal.
Artinya, kata dia, pembayaran bisa dilakukan tanpa perlu menempel kartu, tapi cukup menggunakan sensor yang membaca data pada alat yang terpasang di kendaraan.
“Bila ingin terhindar dari hambatan perjalanan di tol, maka sistem pembayarannya tidak menggunakan gate lagi, melainkan menggunakan OBU (on board unit) yang tidak perlu taping” ujar dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz