tirto.id - Pada Selasa (18/6) waktu Perancis, Michel Platini, mantan presiden UEFA (Konfederasi Sepak Bola Eropa) ditangkap oleh kepolisian setempat atas dugaan korupsi terkait pemberian status tuan rumah Piala Dunia 2022 kepada Qatar.
Penangkapan Platini dilakukan di Nanterre, Paris. "Para pejabat terkait telah menyelidiki dugaan korupsi yang terkait dengan Piala Dunia 2018 dan 2022 selama dua tahun terakhir dan dilaporkan telah mewawancarai Sepp Blatter, mantan presiden FIFA, pada 2017," demikian seperti dilaporkan oleh BBC.
Qatar dipastikan terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 sejak 2 Desember 2010, setelah mengalahkan empat negara lain, yaitu Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, dan Australia. Keputusan tersebut dikeluarkan FIFA bersamaan dengan penetapan Rusia sebagai penyelenggara Piala Dunia 2018.
Terdapat 22 petinggi FIFA yang berhak memberikan suara untuk hal tersebut. Platini, bersama Sepp Blatter, Julio Grondona, Issa Hayatou, hingga Angel Maria Villar, termasuk dalam voters. Dalam pemungutan suara (voting) terakhir, ketika Qatar dihadapkan dengan AS, ada 14 suara yang memilih negara Asia Barat tersebut, berbanding 8 untuk AS.
Pemilihan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 mengundang kontroversi karena banyak hal. Saat terpilih menyelenggarakan Piala Dunia pada Desember 2010, misalnya, timnas negara tersebut ada di peringkat ke-113 FIFA. Qatar juga belum pernah lolos ke putaran final Piala Dunia.
Selain itu, terdapat perdebatan terkait jadwal Piala Dunia tersebut, yang untuk pertama kalinya akan diselenggarakan pada musim dingin, yakni mulai 21 November hingga 18 Desember 2022, dengan melibatkan 32 tim yang lolos ke putaran final. Dengan jadwal ini, maka jadwal pertandingan sejumlah liga elit di Eropa akan terganggu.
Pada Maret 2019, The Sunday Times merilis laporan investigasi yang memuat bahwa Al Jazeera, saluran televisi Qatar, menawarkan uang sebesar 400 juta dolar AS kepada FIFA hanya 21 hari sebelum keputusan FIFA memilih negara tersebut. Selain itu, terdapat tambahan 480 juta dolar AS yang siap dikeluarkan pemerintah Qatar kepada FIFA tiga tahun setelah itu.
FIFA tidak pernah memberikan komentar terkait hal ini.
Sementara pada 8 Oktober 2015, Platini mendapat hukuman larangan melakukan aktivitas di dunia sepak bola oleh Komite Etik FIFA. Pasalnya, pada tahun 2011 ia terbukti menerima uang 2 juta franc Swiss dari presiden FIFA kala itu, Sepp Blatter. Uang tersebut baru dibayarkan sembilan tahun kemudian setelah Platini selesai bekerja sebagai penasehat khusus Blatter pada 1999 hingga 2002.
Semula Hukuman tersebut berlaku selama enam tahun, namun dikurangi menjadi empat tahun (berlaku hingga Oktober 2019) usai Platini melakukan banding kepada Court of Arbitration for Sport (CAS). Pada tahun 2014, Platini mengaku melakukan pertemuan rahasia dengan Mohamed bin Hammam sebelum memilih Qatar.
Mantan Raja Eropa
Pada masa kejayaannya, era 80-an awal, Platini adalah raja dari segala raja dalam dunia sepak bola. Sebagai gambaran, ia menjadi pemain pertama dalam sejarah yang memenangi gelar Ballon d'Or tiga tahun berturut-turut: 1983, 1984, 1985. Dan sepanjang tiga tahun tersebut, ia mengalahkan para pesepak bola lain yang nama-namanya bikin lutut gemetar: Kenny Dalglish hingga Karl-Heinz Rummenigge, Ian Rush sampai Michael Laudrup.
Di lapangan hijau, Platini adalah sosok yang nyaris tanpa cacat. Selain bergelimang trofi dan penghargaan individu, ia juga menginspirasi Zidane ketika masih bocah, menggembleng Didier Deschamps sebagai pemain tangguh, hingga merangkul Eric Cantona - pemain yang dianggap Platini sebagai yang "terbaik di eranya" - menuju jalan yang benar. Namun, Cantona justru sering mengkritik Platini ketika ia masih menjadi Presiden UEFA.
Tentunya tak hanya gelar individu saja yang diborong Platini. Di Juventus, ia meraih dua gelar Serie A, satu Coppa Italia, satu Piala Winners, satu Liga Eropa/Piala Champions, satu Piala Super Eropa, dan satu Piala Interkontinental. Sementara bersama Perancis, Platini mempersembahkan satu gelar Piala Eropa dan menempati posisi ketiga dalam Piala Dunia 1986 di Meksiko. Ia pun tercatat masih berstatus pencetak gol terbanyak kedua Les Bleus sepanjang masa dengan torehan 41 gol.
Di timnas, Platini dikenal sebagai otak dari Carre Magique: Istilah taktik untuk menyebut empat pemain di lini tengah Perancis yang kala itu menjadi poros dari indahnya permainan Les Bleus. Mereka adalah Alain Giresse, Luis Fernandez, Jean Tigana, dan Platini sebagai figur sentral. Kelak, pada 1998, 2000, serta 2018 lalu, Carre Magique Perancis kembali menorehkan tuah emasnya melalui Zinedine Zidane dan Paul Pogba sebagai motor permainan.
Namun demikian, Platini memutuskan pensiun dari sepak bola ketika usianya relatif belum terlalu uzur: 32 tahun. Keputusan tersebut mulai ia pikirkan matang-matang usai laga Juventus - tim yang ia perkuat kala itu - menghadapi Sampdoria dalam lanjutan Serie A musim 1986/1987. Alasannya murni karena urusan ketangkasan fisik: Kecepatan yang berkurang.
"Kami memainkan pertandingan liga melawan Sampdoria dan tiba-tiba saya menyadari bahwa saya telah kehilangan kecepatan ekstra. Lalu, saya berkata kepada diri sendiri: 'Oke, inilah saatnya [untuk pensiun]’. Jika saya tidak lagi memiliki kecepatan untuk mencetak gol, maka saya tidak bisa melanjutkan permainan saya," demikian ucap Platini, seperti dilansir Four Four Two.
Pasca pensiun, Platini sempat melatih timnas Perancis sebelum masuk dalam jajaran eksekutif di UEFA maupun FIFA. Tahun 2007, ia terpilih sebagai presiden UEFA, mengalahkan Lennart Johansson yang sebelumnya menjabat selama 16 tahun.
Berbagai kebijakan ketat kemudian dibentuk Platini. Sejumlah kebijakan itu mulai dari kebijakan menentang perpindahan pemain di bawah usia 18 tahun karena menganggap hal itu sebagai praktik ilegal perdagangan anak, menerapkan kuota pemain lokal untuk klub-klub papan atas Eropa, hingga mengurangi jumlah klub asal Italia, Spanyol, dan Inggris yang berpartisipasi di kompetisi Eropa.
Dengan segala prestasi tersebut, maka, sungguh ironis jika kini Platini, yang pernah dijuluki Le Roi (Sang Raja), tengah menghadapi situasi yang berpeluang menyeretnya ke penjara.
Pada 2008 silam, Platini pernah diminta Four Four Two untuk menjawab beberapa pertanyaan dari orang biasa mengenai dirinya. Sebuah pertanyaan menarik datang dari Jack Hayes, warga Swindon, sebuah kota kecil yang terletak di barat daya Inggris. Ia menanyakan: "Bagaimana Anda ingin orang mengenang nama Platini dalam 50 tahun ke depan?”
"Sejujurnya, saya tidak peduli soal itu. Orang-orang pernah ingin mengganti nama 'Stade de France' menjadi 'Michel Platini Stadium,' dan beberapa stadion lainnya. Saya selalu mengatakan 'Tidak'," jawab Platini.
"Saya sudah berkecimpung di dunia olahraga sepanjang 35 tahun dan telah menerima berbagai hal dari [omongan yang] kasar hingga yang halus. Selama saya masih ada, saya ingin orang-orang memiliki kesan baik tentang apa yang saya coba lakukan. Tapi, begitu saya sudah tidak ada, siapa, sih, yang peduli? Biarkan mereka berpikir semaunya!”
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara