tirto.id - Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Dari sini, lebih dari setengah kebutuhan minyak sawit dunia dipenuhi. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat sepanjang tahun lalu ekspor minyak sawit menembus angka US$23 miliar, atau naik 26 persen dibanding perolehan pada tahun sebelumnya.
Dengan kontribusi sebesar itu, bagaimana sebetulnya nasib buruh di sektor ini? Sudahkah mereka sejahtera?
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Serbundo), Natal Sidabutar, mengatakan target harian seorang buruh di perkebunan sawit harus memanen 1.200 hingga 2.000 kilogram tanaman sawit.
Beban kerja itu jelas tidak ringan. Sebab, kata Natal dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (29/4), “Idealnya 600 sampai paling 900 kg per hari.” Sehingga para buruh perlu lembur demi memenuhi target itu.
Persoalannya, itu tidak dibarengi dengan pemberlakuan upah lembur. Hal ini semakin diperkeruh karena upah buruh perkebunan sawit, kata Natal, bahkan masih ada yang di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Misalnya di Sulawesi Tengah. Di sana upah harian buruh sawit Rp59.400, padahal seharusnya jika merujuk pada UMK mereka mendapat Rp84.116. Di Sumatera Utara upah mereka rata-rata Rp79.600 per hari, sedangkan standar UMK Rp80.480. Di Papua upahnya Rp61.295, sedangkan idealnya Rp96.672 per hari.
Selain itu, Natal mengatakan para pekerja juga kerap kena sanksi atas kesalahan-kesalahan yang sebetulnya bisa ditolerir. Misalnya, para buruh bakal dipotong upahnya Rp5 ribu sampai Rp50 ribu kalau salah memotong janjang atau tidak memotong buah yang harusnya sudah waktu panen. Jika para buruh salah memotong pelepah sawit, maka mereka bakal didenda Rp2.500 per pelepah.
“Lalu kalau [proyek] borong tidak tercapai, para buruh bakal dapat potongan gaji yang disesuaikan dengan besaran kekurangan targetnya,” terang Natal.
Hal-hal seperti ini jadi prakondisi bagi praktik yang lebih menyeramkan: munculnya pekerja anak dan perempuan yang tak berstatus jelas. Biasanya ini terjadi karena buruh sawit—rata-tata laki-laki—melibatkan istri dan anaknya untuk ikut bekerja. Sayangnya, perusahaan memperbolehkan ini, tapi dengan syarat tak ada kontrak dan upah yang jauh lebih rendah.
Ada pula buruh anak dan perempuan yang benar-benar tidak dapat upah tambahan. Mereka dipekerjakan orangtua atau suami sekadar agar target harian terpenuhi.
Tidak ada jumlah pasti buruh sawit di seluruh Indonesia. Namun menurut hitung-hitungan kasarnya ada sekitar 11 juta orang, 70 persen di antaranya berstatus buruh harian lepas dan kontrak atau dengan kata lain terikat pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
“Sehingga banyak yang disebut ‘buruh siluman’ kalau kami bilang,” katanya.
Mengambil Momentum May Day
Sebagaimana pengurus serikat pada umumnya, Natal juga berharap kondisi kerja para buruh di sektor yang menyumbang duit besar bagi negara ini membaik. Baginya, tuntutan paling dasar agar kondisi kerja lebih baik adalah menurunkan target produksi harian. Hal ini yang bakal mereka suarakan di hari buruh internasional atau May Day yang jatuh pada 1 Mei nanti. Ia bersama 5.000-an pekerja, bakal berdemonstrasi di Medan, Sumatera Utara.
“Masalah sanksi juga harus dihapus,” katanya.
Tuntutan lainnya adalah meminta negara membuat regulasi khusus bagi para buruh kebun sawit. Dasar hukum yang ada selama ini, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menurut Natal tidak memadai. Aturan ini lebih cocok bagi buruh pabrik.
“50 persen upah untuk memenuhi jumlah kalori 3.000 per hari. Tapi kawan-kawan di industri perkebunan sawit dengan berjalan kaki saja 5-8 hektare itu sudah lebih dari 3000 kalori. Artinya upah tidak akan mencukupi mengganti asupan yang dikeluarkan oleh kawan-kawan buruh sawit selama ini,” kata Natal.
Praktik eksploitasi fisik dan mental yang terjadi di perkebunan sawit mengakibatkan kemiskinan struktural yang “diwariskan” buruh ke anak-anaknya. Banyak di antara mereka yang bahkan tak mampu mengontrak rumah.
"Bekerja di situ [perkebunan] agar dia dapat tempat tinggal. Jadi, bisa dibilang buruh kebun adalah gelandangan yang tertunda," kata Natal lirih.
Apa yang dikatakan Natal mengenai tidak memadainya peraturan yang ada dipertegas oleh anggota Trade Union Rights Center (TURC), Andy Akbar. Menurutnya banyak aspek yang belum ada peraturannya, sehingga memungkinkan para pengusaha berlaku sesukanya.
"Pemerintah Indonesia memaksakan perkebunan sawit diatur dengan UU Ketenagakerjaan. Di bawah UU ada Permen, PP (Peraturan Pemerintah), Perpres (Peraturan Presiden), Inpres (Instruksi Presiden), dan lain-lain, tapi hingga saat ini kosong untuk atur pekerja sawit," ujar Andy.
Selain karena kekosongan regulasi, masalah lain berkaitan dengan lokasi perkebunan sawit yang sangat luas sehingga buruh-buruh relatif terisolir dari dunia luar. Ini jadi masalah ketika terjadi pelanggaran di tempat kerja. Mereka sulit melapor ke dinas terkait karena sulit sinyal. Untuk lapor langsung ke instansi terkait juga sangat jauh.
Pelanggaran juga terjadi karena lemahnya pengawasan pemerintah daerah hingga pusat.
"Beberapa kali dialog dengan instansi daerah yang fokus soal ketenagakerjaan, diketahui ada dua hal alasan kenapa pemerintah tidak bersikap, yaitu soal keterbatasan SDM dan anggaran," kata Andy. Ia mengatakan bahwa pemerintah baru bersikap atau mengawasi ketika ada laporan yang masuk.
“Ada atau tidak ada laporan, [seharusnya] pemerintah harus melakukan pengawasan. Banyak masalah terjadi di lapangan karena itu.”
Peneliti perburuhan sekaligus dosen dari Ilmu Politik FISIP UI, Samuel Gultom, mengatakan apa yang terjadi pada buruh sawit adalah ironi. Sebab, katanya, pengusaha sawit itu sebagian besar “kelas kakap”, tak jarang yang masuk daftar orang terkaya di Indonesia.
“Pengusaha terlalu serakah untuk berbagi kesejahteraan. Padahal kalau mau berbagi, mereka tetap bisa kaya kok," katanya.
Sorotan lengkap soal persoalan buruh perkebunan sawit terpadat laporan yang berjudul "Lembar Fakta Perlindungan Buruh Sawit Indonesia 2018" antara lain menyoroti beban kerja terlampau tinggi, target tidak manusiawi dan munculnya pekerja anak.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan GAPKI Sumarjono Saragih, menanggapi ihwal pernyataan buruh dan laporan nasib buruh, ia menegaskan perusahaan kelapa sawit di Indonesia ada sekitar 3.500 perusahaan di mana 750 di antaranya adalah anggota GAPKI. Selain itu, anggota GAPKI hanya 30 persen dari seluruh lahan sawit di Indonesia, sehingga 70 persen di luar kendali GAPKI.
"Kalau terjadi pada anggota GAPKI itu namanya kasus," katanya.
Sumarjono mengatakan pihaknya bekerjasama dengan CNV Internationaal dan International Labour Organization (ILO) dalam menangani persoalan buruh sektor sawit. "Memang masalah itu ada, tapi cuma kasus dan perlu diselesaikan dan memperbaikinya. Peran serikat buruh ini juga penting, bahwa mereka harus ngerti cara kerja yang baik," katanya.
Ia kembali menegaskan bahwa soal adanya pelanggaran ketentuan soal upah dan eksploitasi buruh khususnya soal target beban kerja yang berlebihan, Sumarjono menegaskan semua itu adalah pelanggaran, maka bila ada pelanggaran solusinya adalah penegakan hukum. Sehingga, kata dia harus dilihat kasus per kasus, tak bisa memandang semua industri sawit buruk.
"Jangan dieksploitasi semua industri sawit itu melakukan pelanggaran, itu namanya sudah kampanye hitam,” katanya.
Ihwal pekerja anak di perkebunan sawit, Ketua Bidang Komunikasi GAPKI Tofan Mahdi mengatakan di perkebunan kelapa sawit anggota GAPKI menyediakan sarana tempat penitipan dan bermain anak para pekerja.
"Biasanya di hari libur sekolah, anak-anak diajak oleh orang tuanya main ke kebun. Orang tuanya bekerja, anak-anak bermain di sekitar tempat orang tuanya bekerja. Kemudian kegiatan kumpul keluarga seperti ini di-captured (difoto) oleh NGO," kilah Tofan.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Rio Apinino