Menuju konten utama

Mati-matian Menjaga Industri Sawit dari Gempuran Boikot Eropa

Prancis akan memberlakuan pajak impor progresif minyak kelapa sawit. Produk yang mengandung palm oil, palm kernel oil, dan coconut oil akan dikenakan pajak progresif. Indonesia dan malaysia merasa peratuan tersebut bersikap diskriminatif karena tidak diterapkan terhadap produk nabati yang dihasilkan Eropa. Kontribusi industri minyak sawit terhadap perekonomian Indonesia cukup signifikan.

Mati-matian Menjaga Industri Sawit dari Gempuran Boikot Eropa
Dua pekerja menata kelapa sawit di atas truk di perkebunan kelapa sawit, Mesuji Raya, OKI, Sumatera Selatan, Selasa (9/2). Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) keberatan dengan pemerintah Perancis atas pengenaan pajak regresif terhadap produk Crude Palm Oil (CPO) Indonesia, yang dianggap sangat memberatkan petani. ANTARA FOTO/ Budi Candra Setya

tirto.id - Kepergian Jacha Potgieter ke Kalimantan mengubah total cara berbisnisnya. Potgieter memilih berbisnis kafe yang bahan-bahannya bebas dari kandungan sawit. Sungguh sulit menemukan pemasok yang bisa memenuhi keinginannya. Namun, Potgieter sudah bertekad kuat tidak menggunakan produk minyak sawit. Keinginan itu muncul setelah melihat besarnya kerusakan hutan di Kalimatan yang diduga akibat ekspansi kebun sawit.

Potgieter menerapkan produk bebas sawit untuk kafe Alpine Coffee Shop miliknya yang berlokasi di Snowdonia National Park, Wales. Pria paruh baya ini merupakan salah satu dari sekian orang Eropa yang memboikot produk minyak sawit.

Pilihannya dengan selalu menggunakan produk yang berlabel palm oil free alias produk bebas dari kandungan minyak sawit. Label palm oil free menyebar di berbagai kemasan produk di Eropa dengan berbagai slogan no oil palm, zero percent oil palm sejak 2014.

“Saya terinspirasi membuat Alpine Coffee Shop tanpa minyak sawit, setelah saya berkunjung ke Kalimantan, ketika jadi sukarelawan bersama Orangutan Foundation. Apa yang saya lihat di sana efeknya sangat besar. Pembalakan hutan alam untuk perkebunan sawit sangat luas, dan efeknya menyakiti orang utan. Industri minyak sawit bertanggung jawab langsung atas hal ini,” kata Potgieter seperti dikutip dari The guardian.

Boikot dan Kampanye Hitam

Aksi boikot atas minyak sawit tidak hanya dilakukan oleh perorangan. Jauh sebelum Potgieter dan orang-orang memboikot produk minyak sawit, enam tahun lalu terjadi aksi boikot minyak sawit asal Indonesia oleh perusahaan multinasional Nestle dan Unilever. Aksi ini muncul setelah LSM lingkungan Greenpeace merilis laporan soal adanya dugaan pembabatan hutan secara ilegal di Kalimantan untuk lahan sawit.

Kampanye-kampanye untuk menolak sawit Indonesia memang sangat marak, terutama di Eropa. Ada yang mengaitkan kampanye hitam itu dengan persaingan bisnis. Sawit telah jadi pesaing kuat produk minyak nabati yang dihasilkan Eropa seperti sunflower, soybean, dan rafeseed oil. Minyak sawit menguasai 65 persen perdagangan minyak nabati dunia yang kerap dipakai untuk bahan baku produk kebutuhan sehari-hari seperti sabun, sereal, kosmetika, minyak goreng, bahan bakar (biodiesel) dan banyak lainnya.

Terlepas dari itu, kampanye hitam terhadap sawit Indonesia membuat Pemerintah Indonesia cemas. Menteri perdagangan (Mendag) dari waktu ke waktu sudah sering mondar-mandir ke Eropa untuk kampanye positif soal sawit Indonesia.

Termasuk yang dilakukan Mendag Thomas Lembong pada awal Februari 2016 lalu. Ia secara khusus berkunjung ke Prancis dengan agenda utamanya melobi pemerintah dan parlemen Prancis untuk membatalkan rancangan amandemen aturan pajak impor tentang sawit.

Prancis akan memberlakuan pajak impor progresif minyak kelapa sawit yang diatur dalam Amandemen No.367 dan diadopsi Majelis Tinggi Legislatif Prancis pada 21 Januari 2016. Dalam Amandemen No. 367 disebutkan, produk yang mengandung palm oil, palm kernel oil, dan coconut oil akan dikenakan pajak progresif. Dimulai pada 2017, pajak yang akan dikenakan sebesar EUR 300 per ton dan akan terus meningkat menjadi EUR 900 pada 2020 dan seterusnya.

“Kami secara resmi minta pemerintah dan parlemen Prancis membatalkan amandemen ini,” kata Mendag Thomas Lembong seperti diikutip dari Antara.

Bagi Indonesia, rancangan aturan ini cenderung diskriminatif karena hanya berlaku pada produk sawit dan turunannya. Aturan ini tidak berlaku untuk produk minyak nabati yang dihasilkan Eropa. Kebijakan Prancis ini juga dianggap menyalahi prinsip-prinsip national treatment dan non-discrimination sebagaimana diatur dalam WTO General Agreement on Tariffs and Trade 1994.

Merasa senasib dengan Indonesia, pemerintah Malaysia juga melayangkan protesnya. Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Datuk Seri Douglas Uggah Embas menilai pajak progresif sawit yang akan diterapkan Prancis sangat tak masuk akal. Ia menuding Prancis sedang melindungi industri minyak kedelai dan bunga matahari mereka dari persaingan dengan minyak sawit yang lebih kompetitif.

“Langkah tersebut untuk membunuh industri kelapa sawit, bisa berdampak terhadap jutaan orang Indonesia dan Malaysia yang bekerja dan terlibat dalam industri ini,” tegasnya, seperti dilansir dari The Star.

Rancangan pajak progresif Prancis bukan hanya salah satu tantangan industri sawit di tahun ini. Kebijakan pengetatan standar baru soal industri sawit telah dikeluarkan oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sebuah asosiasi nirlaba para pelaku industri sawit dari produsen hingga konsumen.

Pekan lalu, RSPO telah mengeluarkan syarat baru tentang pengelolaan industri sawit yang berkelanjutan bagi produsen. Formula baru yang diberi nama RSPO NEXT, mencakup antara lain tak ada deforestasi untuk pembangunan lahan sawit, pencegahan pembakaran lahan, larangan penuh untuk menanam sawit di lahan gambut dan lainnya. Semua itu masuk dalam syarat dari sertifikasi RSPO yang harus dipenuhi oleh pelaku industri sawit bila ingin produknya diterima oleh pasar.

Sawit Sebagai Lumbung Devisa

Setiap orang yang menjabat sebagai Mendag pasti resah jika ada kampanye negatif atau boikot atas sawit Indonesia. Ini dikarenakan kontribusi industri minyak sawit terhadap perekonomian Indonesia cukup signifikan. Sawit merupakan salah satu lumbung devisa ekspor utama di sektor non migas.

Sektor ini juga menyumbang tenaga kerja langsung dan tak langsung yang sangat tinggi. Jumlah tenaga kerja termasuk petani dan mata rantai industri kelapa sawit lainnya mencapai lebih 5 juta orang.

"Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia terpenting dengan kontribusi sebesar USD 19 miliar per tahun. Jika amandemen diberlakukan, dampaknya cukup besar bagi Indonesia," kata Lembong.

Secara produksi, perkebunan sawit di Indonesia terus menunjukkan peningkatan meski harga dalam 2 tahun terakhir cenderung turun. Produksi sawit Indonesia pada tahun lalu diperkirakan mencapai 30 juta ton, yang disumbang dari perkebunan sawit rakyat, swasta, dan BUMN. Pertumbuhan produksi minyak sawit swasta tumbuh paling paling pesat disusul oleh perkebunan rakyat, sedangkan produksi dari BUMN cenderung stagnan.

Kemampuan produksi minyak sawit Indonesia ditopang oleh luas lahan yang cukup besar. Total lahan sawit di Indonesia di 2015 diperkirakan mencapai 11,4 juta hektar. Angka tersebut naik 30 persen lebih dalam 5 tahun terakhir. Luas lahan tersebut mengantarkan Indonesia menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia, mengalahkan Malaysia dan Thailand.

Gemuknya Pasar Sawit di Eropa

Gusarnya pemerintah atas maraknya “kampanye hitam’ terhadap sawit di Eropa bukan tanpa alasan. Selama ini, Eropa merupakan pasar sawit terbesar kedua bagi Indonesia. Urutan pertama pangsa pasar sawit Indonesia masih diduduki Asia, terutama disumbang dari pasar India dan Cina.

Di tengah kampanye negatif dan boikot, sawit Indonesia masih kuat bercokol di pasar Eropa. Nilai ekspornya tidak surut. Namun, kondisi ini justru bakal memicu makin gencarnya upaya menghambat pasar sawit di Eropa, adanya pemberlakuan anti dumping duty dan rencana pajak impor yang progresif seperti yang akan berlaku di Prancis bakal mengancam sawit Indonesia.

“Dampak jangka panjang jika kampanye negatif ini tidak dilawan bersama oleh pelaku usaha dan pemerintah, akan melemahkan daya saing sawit nasional,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono.

Eropa merupakan salah satu negara pengimpor minyak sawit terbesar di dunia. Permintaan Eropa terhadap produk sawit dunia juga mengalami tren kenaikan dalam beberapa tahun terakhir. Karenanya, tak mengherankan bila negara-negara Eropa memproteksi produk minyak nabatinya dari serbuan minyak sawit, sebagai minyak nabati terefisien di dunia.

Sekadar perbandingan, produktivitas minyak sawit 10 kali lebih banyak dari minyak kedelai dalam setiap hektar. Minyak sawit juga unggul 5 kali lebih banyak dari minyak rapeseed dan 2 kali lebih banyak dari minyak kelapa.

Langkah Besar Industri Sawit

Upaya pembenahan terhadap industri sawit terus dilakukan pemerintah. Misalnya sertifikat sawit ala Indonesia yang biasa disebut Indonesia Sustainable Palm Oil/ISPO. ISPO menjadi tandingan dari RSPO. Ketentuan soal ISPO tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.19/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Pemerintah mengeluarkan sertifikasi ISPO pada 2011 dan berlaku bertahap mulai Maret 2012. Semua pelaku industri sawit harus sudah memiliki sertifikasi ISPO paling lambat 31 Desember 2014.

Dari sisi tata niaga sawit, kesadaran memaksimalkan produksi minyak sawit untuk kebutuhan domestik dan stabilisasi harga juga dilakukan pemerintah. Program pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) minyak sawit (biodiesel) pada solar mulai digalakkan. Secara bertahap, solar wajib dicampur biodiesel 10 persen, lalu meningkat jadi 15 persen dan 20 persen.

Pada 2014, pelaksanaan mandatori BBN 10 persen masih belum efektif sehingga penyerapan minyak sawit di dalam negeri belum tinggi. Penetapan harga BBN juga masih belum menarik bagi produsen biodiesel. Pelaksanaan mandatori BBN 15 persen baru benar-benar efektif terlaksana di bulan Desember 2015 secara nasional sehingga penyerapan di dalam negeri belum tinggi. Hingga akhir 2015, realisasi penyerapan biodiesel masih di bawah 1 juta kiloliter.

Dari sisi kelembagaan, pemerintah telah membentuk Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit. Badan ini bertujuan mendorong pengembangan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dengan prioritas penerapan biodiesel BBN 20 persen.

Kemajuan dalam kelembagaan lainnya, dapat dilihat bersatunya Indonesia dan Malaysia sebagai sesama produsen sawit terbesar dunia. Pada 2015, Indonesia dan Malaysia sepakat membentuk Dewan Negara Produsen Minyak Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC) serta menyusun standar tunggal sawit berkelanjutan.

Kesepakatan itu merupakan tindak lanjut dari pertemuan Bogor pada 11 Oktober 2015 antara Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Najib Razak guna menghadapi hambatan di pasar sawit. Indonesia dan Malaysia tercatat menguasai 85 persen pasar sawit dunia.

Pemerintah juga melakukan pengaturan restorasi lahan gambut untuk dijadikan kebun sawit, setelah terjadinya kebakaran hutan besar-besaran di 2015. Presiden Joko Widodo (Jokowi) membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016, pada Januari 2016 lalu.

Kepala BRG dipimpin oleh Nazir Foead yang bertugas mengkoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut yang ada di beberapa provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.

"Terjadinya kebakaran hutan di beberapa daerah di Indonesia menjadi pelajaran bagi kita, meski 18 tahun kasus ini selalu berulang. Ini harus jadi pelajaran berharga," kata Jokowi dikutip dari Antaranews.

Sementara anggota dewan berinisiatif membuat Undang-Undang tentang Perkelapasawitan. Kehadiran UU ini diharapkan bisa menciptakan iklim industri yang lebih baik bagi petani maupun pengusaha.

Upaya perbaikan dan pembenahan industri minyak sawit agar bisa berkelanjutan oleh pemerintah terus bergulir. Namun pemerintah harus makin waspada bahwa ke depan, adanya aksi menghambat produk sawit masih akan terjadi terutama di negara pasar utama seperti Eropa yang makin gencar menghadang produk minyak sawit.

Secara ekonomi, Eropa tak mau produk nabatinya kalah saing dengan sawit. Isu lingkungan cara jitu untuk menjegal minyak sawit di tengah masih lemahnya pengawasan produksi sawit yang berkelanjutan di Tanah Air.

Pemerintah jangan hanya masuk dalam permainan Eropa dengan mematuhi aturan mereka seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan aturan-aturan diskriminatif. Namun, pemerintah juga tidak boleh lengah terhadap persoalan nyata seperti pengawasan terhadap kebakaran dan pengrusakan hutan, yang bisa menjadi senjata mengusik industri sawit. Langkah antisipasi harus dilakukan mengingat sumbangan ekspor sawit cukup besar bagi ekonomi nasional cukup besar.

Baca juga artikel terkait CPO atau tulisan lainnya

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra