tirto.id - Diakui atau tidak, rivalitas adalah hal yang membuat olahraga jadi lebih menarik. Rivalitas ini bisa berbentuk tim dan seisi kota—Manchester United dan Manchester City, Liverpool dan Everton, Juventus dan Torino, AS Roma dan Lazio, Real Madrid dan Atletico Madrid, hingga Cleveland Cavaliers dan Golden State Warriors.
Rivalitas juga bisa berwujud persaingan antar individu. Mulai Muhammad Ali dan Joe Frazier di tinju. Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi di sepak bola. Di basket ada Magic Johnson dan Larry Bird. Tak ketinggalan, persaingan antara James Hunt dan Ayrton Senna di dunia F1.
Namun, yang jarang dibicarakan ialah rivalitas klasik yang tak kalah menarik di cabang olahraga tenis. Bukan antara Roger Federer dan Rafael Nadal. Bukan pula Chris Evert dengan Martina Navratilova. Tapi, rivalitas antara John McEnroe dengan Bjorn Borg.
Sumbu persaingan McEnroe dan Borg adalah gambaran bagaimana dua kutub berlawanan saling bertemu dengan kekuatan masing-masing yang sama dahsyatnya. Mereka bertarung atas nama rasa hormat serta kekaguman yang membuat rivalitas ini bukan ajang saling kuat semata, tapi juga jadi tali pertemanan yang menggelinding melintasi zaman.
Borg Adalah Es, McEnroe Adalah Api
Bjorn Borg lahir di Stockholm, Swedia pada 6 Juni 1956. Ia masuk dunia tenis di usia yang masih belia, 14 tahun. Sejak debutnya itu, ia melaju kencang; dimulai dari juara Italia Terbuka, berlanjut ke Perancis Terbuka, hingga membantu Swedia menggondol Piala Davis.
Sepak terjangnya kian tak bisa dihentikan tatkala Borg mampu jadi juara ajang Wimbledon lima kali berturut-turut (1976-1980), dan menjadikannya petenis pertama yang berhasil melakukannya di Open Era yang dimulai sejak 1968. Pencapaian ini baru disamai oleh Roger Federer di tahun 2003-2007.
Borg bahkan melengkapinya dengan prestasi tak kalah mentereng dengan menjuarai Grand Slam Perancis Terbuka sebanyak enam kali (1974-1975, 1978-1981). Total, sudah 11 gelar utama yang sukses ia kumpulkan dan prestasi tersebut menghantarkannya duduk di peringkat puncak daftar petenis pria kala itu.
Sementara John McEnroe juga bukan petenis sembarangan. Debutnya sebagai petenis profesional terjadi pada 1978. Setahun kemudian, ia berhasil meraih juara di Grand Slam AS Terbuka di usianya yang baru 20 tahun. Di masa-masa kariernya, McEnroe lebih banyak meraih gelar Master dibanding Grand Slam.
Modal prestasi yang tak sebanyak Borg membuat McEnroe memandangnya dengan rasa segan dan hormat. Terlebih, Borg pada saat itu adalah superstar tenis—tampilan macho dengan rambut gondrongnya, digilai perempuan, serta merengkuh banyak trofi kejuaraan.
"Ketika ia menunjukkan rasa hormat padaku di ruang ganti, itu sangat berarti bagiku," kata McEnroe tentang Borg. “Sebelum bergabung di ajang profesional, aku melihat gadis-gadis berteriak memanggil namanya di luar ruang ganti. Aku berpikir, ‘Orang ini sangat keren. Aku harap bisa jadi pemain tenis profesional dan mengalami apa yang ia alami.’”
Mereka berdua bertemu pertama kali pada 1978 di ajang Stockholm Open. Ternyata McEnroe berhasil mempermalukan Borg di tanah kelahirannya. Namun, di Virginia, setahun kemudian, Borg membayar lunas penghinaan itu.
Pertarungan mereka mulai panas tatkala keduanya bertemu pada babak akhir Wimbledon 1980. Pertandingan final tersebut merupakan debut final bagi McEnroe. Sementara untuk Borg, final Wimbledon adalah ‘hal yang tak mengejutkan’ mengingat di lapangan ini ia sudah juara empat kali berturut-turut, dan sedang mengincar gelar kelima. Banyak yang mengira Borg bakal menang mudah.
Tapi, perkiraan itu meleset. McEnroe rupanya mampu memberikan perlawanan keras terhadap Borg dan memaksanya menjalani pertarungan panjang nan melelahkan selama empat setengah jam. Lewat pertandingan alot, Borg berhasil keluar jadi pemenang dengan skor 1-6, 7-5, 6-3, 6-7 (16-18), 8-6. Orang-orang menyatakan bahwa final Wimbledon 1980 merupakan “yang terbaik dalam sepanjang sejarah tenis.” Sedangkan Borg menegaskan telah membawa tenis “ke level yang belum pernah dicapai sebelumnya” melalui pertarungannya bersama McEnroe tersebut.
Usai Wimbledon, mereka bertemu kembali di final AS Terbuka 1980. Kali ini, McEnroe punya bekal yang cukup untuk mengalahkan Borg setelah berhasil meraih 10 gelar juara sepanjang 1980. Seperti diperkirakan banyak pihak, pertandingan (lagi-lagi) berjalan ketat. McEnroe tak memberi sedikit nafas bagi Borg. Pukulan-pukulannya intens bergulir dan sesekali teriakannya memecah konsentrasi Borg. Usahanya tak sia-sia. Ia menang dengan skor 7-6 (7-4), 6-1, 6-7 (5-7), 5-7, 6-4.
Yang menarik dari setiap pertandingan Borg-McEnroe adalah ketika penonton disuguhi dua karakter yang bertolak belakang. Borg cenderung tenang, kalem, dan tanpa ekspresi. McEnroe justru sebaliknya: meledak-ledak, emosional, dan ekspresif. Borg adalah es. McEnroe adala bara.
Dari segi gaya permainan, keduanya juga amat berbeda. Borg lebih direct dan mengutamakan perolehan poin dengan pukulan baseline-nya. Sementara McEnroe lebih mengutamakan keindahan, keterampilan, serta keanggunan. Ia ingin bermain indah seperti seniman lewat pukulan backhand-nya. Bagi McEnroe, tenis bukan sekedar adu perolehan skor, melainkan juga hiburan.
Kemenangan atas Borg di final AS Terbuka menaikkan kepercayaan diri McEnroe. Pada 1981, ia bertarung dengan Borg lagi di dua kesempatan final: AS Terbuka dan Wimbledon. Di AS Terbuka, McEnroe sukses menyikat Borg dalam pertandingan empat babak: 4-6, 6-2, 6-4, 6-3. Sedangkan di Wimbledon 1981, Borg harus rela untuk kali pertama menyerahkan tahtanya pada McEnroe. Ia kalah dengan skor 4-6, 7-6 (7-1), 7-6 (7-4), 6-4.
Nasib yang Berbeda
Tiga kekalahan dalam empat pertemuan di babak puncak membuat Borg limbung. Meski tak menurunkan performanya—ia masih bisa menang di AS dan Australia Terbuka setelah kalah dari McEnroe di final Wimbledon—mental Borg mulai goyah. Ada semacam kekecewaan teramat besar dalam benak Borg ketika ia dipecundangi McEnroe. Untuk Borg, menang adalah kewajiban dan ia tak bisa mentolerir kekalahan.
Benar saja. Pada 1983, Borg mengambil keputusan yang bikin banyak orang kaget: ia mundur dari dunia tenis, di usianya yang baru 26. Keputusan tersebut membuat publik bertanya-tanya. Tak terkecuali McEnroe.
“Ketika aku mengalahkan Borg di final Wimbledon 1981, seolah ada sedikit kelegaan baginya karena tekanan untuk terus menang jadi berkurang. Namun, ketika aku menang di AS Terbuka beberapa bulan kemudian, aku melihat ia seolah kehilangan akal sehatnya. Ia seperti tidak di sana dan aku tidak mengerti apa yang terjadi,” ujar McEnroe seperti dikutip The Telegraph.
“Lalu, semuanya terjadi begitu cepat. Borg berubah dari saingan terbesarku. Dan, tiba-tiba semua orang dikejutkan dengan keputusannya untuk tidak bermain lagi, di usianya yang baru 26 tahun. Jujur, aku kecewa karena aku merasa kami membuat satu sama lain lebih baik dan tenis jadi lebih menarik. Sebetulnya aku berharap persaingan kami memiliki berlangsung lebih lama.”
Berkebalikan dari Borg, usai menang di pertemuan terakhir dalam final Wimbledon 1981, McEnroe justru mencapai puncak permainan. Satu per satu gelar bergengsi dari level Master sampai Grand Slam ia masukkan dalam lemari pribadi. Ia juga untuk kali pertama mampu duduk di peringkat teratas ATP mengalahkan rivalnya yang baru macam Jimmy Connors sampai Ivan lendl.
Stephen Tignor dalam High Strung—Bjorn Borg, John McEnroe, And the Untold Story of Tennis’s Fiercest Rivalry mengatakan rivalitas antara Borg-McEnroe, selain menempatkan tenis pada masa terbaiknya, juga memperlihatkan bagaimana dua orang yang punya karakter sangat berbeda ini menyikapi pertarungan yang terjadi. Bagi Borg, kekalahan dari McEnroe sama artinya dengan kehilangan masa depannya di dunia tenis mengingat hanya kemenangan yang membuat dirinya ‘hidup.’ Dan sebab itu, jalan satu-satunya adalah menerimanya—dengan mengundurkan diri.
Di lain sisi, bagi McEnroe, kemenangan dari Borg telah berandil menunjukkan pada dunia bahwa ia adalah petenis terbaik di eranya. Namun, seiring waktu, McEnroe tidak bisa mengatasi tekanan ketika duduk di singgasana nomor satu yang berdampak pada menurunnya kualitas permainannya.
Pada akhirnya, terlepas dari dinamika yang terjadi dalam rivalitas Borg-McEnroe, mereka tetap menganggap satu sama lainnya sebagai teman. Rivalitas mereka tidak dibangun oleh dasar saling benci—lantas berubah jadi dendam dan ambisi menghancurkan—melainkan dengan rasa hormat.
Ketika Borg mengalami kesulitan keuangan dan berniat melelang piala-piala serta medalinya, McEnroe adalah salah satu orang pertama yang menelponnya. "Kamu sudah gila?" kata McEnroe. Setelah telepon itu, Borg mengurungkan niat untuk melelang barang berharganya itu.
"McEnroe telah meyakinkanku," kata Borg.
“Kami menghormati satu sama lain. Aku menghormati John dan ia juga menghormatiku. Tidak terlalu banyak orang yang saling menghormati di lapangan tenis.”
Editor: Nuran Wibisono