tirto.id - Pada 1 Mei 1994, tepat hari ini 24 tahun lalu, Ayrton Senna meninggal dunia di Imolia, Italia. Mobil FW16 yang dipacunya menghantam dinding pengaman sirkuit saat memasuki Tamburello Corner di lap ketujuh. Kala itu duka tak hanya menyelubungi para pecinta Formula 1 semata, melainkan juga seluruh dunia.
Sebagaimana Muhammad Ali, Michael Jordan, ataupun Diego Armando Maradona—untuk menyebut segelintir tokoh—reputasi pemegang tiga gelar juara Formula 1 ini memang menembus batas-batas dunia olahraga.
“Pengaruhnya luas,” tulis Jessamy Calkin di Telegraph. “Bahkan mereka yang tak menyukai dunia balap membicarakan Senna dengan nada memiliki.”
Maka tak mengherankan bila prosesi pemakaman Senna di kota kelahirannya, San Paolo, dibanjiri 1 juta pelayat. Tak hanya itu, pemerintah Brasil, misalnya, sampai mengumumkan tiga hari berkabung nasional, dan selama satu hari seluruh sekolah negeri diliburkan. Itu terjadi di sebuah negara yang memandang sepakbola hampir sebagai agama.
“Dia adalah pahlawan kami,” kata Silvia Barros, remaja berumur 18 tahun yang hadir di pemakaman. “Satu-satunya pahlawan kami.”
Politik Formula 1 dan Rivalitas
Sebagaimana banyak pebalap sebelum dan sesudahnya, karir Senna bermula di Karting. Kompetisi pertama yang diikutinya terjadi saat ia berusia 13. Pada 1977, Senna memenangkan Kejuaraan Kart Amerika Selatan. Setahun kemudian ia tampil dalam Kejuaraan Karting Dunia di Le Mans, Perancis.
“Tahun 1978, aku datang ke Eropa kali pertama untuk mengikuti kompetisi di luar Brasil dalam Kejuaraan Dunia,” kenang pebalap yang memiliki nama kecil Beco ini. “Itu murni soal mengemudi. Balapan. Tak ada muatan politik. Tak juga soal uang, jadi itu balapan yang sesungguhnya.”
Apa yang diucapkan Senna merujuk pada sisi lain dunia Formula 1 yang beberapa tahun kemudian dimasukinya, tepatnya di tahun 1984. Di ajang balapan paling bergengsi itu, Senna memang akan merasakan dimensi politik yang kuat. Terutama dalam rivalitasnya dengan Alain Prost.
Di musim 1984 itu, nama Senna mulai menjadi buah bibir tatkala tampil mengesankan di seri keempat GP Monaco. Terkenal sebagai sirkuit sulit karena jalurnya yang sempit, Senna yang start di urutan ke-13, berhasil menyalip lawannya satu per satu hingga berada di urutan kedua memasuki lap 26.
Namun, Alain Prost yang memimpin di urutan pertama meminta panitia untuk menghentikan balapan dengan alasan hujan deras. Balapan lantas dihentikan di lap ke-29. Andai saja balapan diteruskan banyak yang menganggap Senna bakal menyalip Prost dan memenangkan seri pertamanya.
Bisa dibilang itu merupakan pengalaman pertama Senna dengan dimensi politik Formula 1, juga membayangi rivalitasnya dengan Prost kelak.
“Aku memiliki kesempatan besar untuk menang,” ujar Senna seusai balapan. “Formula 1 sangat politis ... dan ketika Anda masih berada di tim kecil, Anda harus melalui ini semua.”
Di musim pertamanya, Senna tampil membela tim pabrikan asal Inggris, Toleman. Menurut Reginaldo Leme, komentator olahraga di jaringan televisi Brasil, Globo, Toleman memang bukanlah tim juara.
“Mobil Toleman bukanlah mobil juara. Mobil itu tidak akan pernah memenangkan balapan. Itulah mengapa apa yang Ayrton pertontonkan di Monaco menunjukkan kejeniusan,” katanya.
Pebalap yang terkenal religius ini hanya bertahan setahun di Toleman. Tiga musim berikutnya ia membela Lotus. Meski telah membangun reputasi sebagai pebalap berbakat, Senna baru baru merasakan gelar juara ketika ia pindah ke tim Mclaren di tahun 1988, tim yang juga dibela Alain Prost.
Di musim pertamanya bersama Mclaren Senna langsung meraih gelar juara Formula 1 setelah memenangi delapan seri, Prost sebaliknya berada diurutan kedua setelah hanya menjuarai tujuh seri.
Hubungan keduanya awalnya tampak berjalan harmonis, namun lambat laun rivalitas mereka semakin mengemuka. Puncak dari rivalitas itu terjadi di GP Jepang musim 1989 dan 1990, seri penentuan gelar juara, yang melibatkan tabrakan di antara keduanya.
Dalam kedua insiden itu, Senna melihat bagaimana presiden FIA (Federasi Otomotif Internasional), Jean-Marie Balestre menunjukkan keberpihakannya pada Prost yang merupakan teman dekatnya. Di musim 1989, Senna dikenai sanksi dan kemenangannya di GP Jepang dicabut.
“Meskipun Anda salah satu pebalap terbesar di dunia, Anda tak punya hak untuk menyebabkan kecelakaan bodoh,” ujar Balestre.
Di musim 1990, Senna yang merebut pole position diberi jalur yang tak menguntungkan saat start. “Keputusan itu dipengaruhi oleh Balestre,” ujar Senna. “Aku tahu itu. Kita tahu itu. Aku sudah sering sekali dirugikan oleh sistem.”
Kematian dan Seri Terburuk Formula 1
Seri ketiga musim balapan 1994 barangkali menjadi seri terburuk dalam sejarah Formula 1. Empat insiden tabrakan terjadi di seri yang digelar di sirkuit Autodromo Enzo e Dino Ferrari ini. Satu pebalap mengalami cedera dan dua pebalap lain meninggal dunia, termasuk Senna.
Jumat, 29 April 1994, saat kualifikasi Ruben Barrichello dari tim Jordan mengalami kecelakaan kala mobilnya menabrak dinding pembatas sirkuit di tikungan zig-zag (chicane) Variante Bassa. Untungnya nyawa Barrichello masih bisa diselamatkan. Ia hanya mengalami patah hidung.
Keesokan harinya, masih di babak kualifikasi, giliran pebalap asal Austria Roland Ratzenberger yang mengalami insiden serupa. Namun, kali ini insiden itu berujung maut.
“Ayrton sangat terguncang dan terisak,” kata Sid Watkins, dokter Formula 1. “Saat itulah aku berkata padanya, ‘Kau tahu, Ayrton, kau sudah menjadi juara dunia tiga kali, kau orang tercepat di dunia.’ Ia hobi memancing. Jadi aku berkata padanya, ‘Bagaimana kalau kau berhenti balapan, aku akan pensiun dan kita pergi memancing?’ Ia berkata, ‘Sid, aku tak bisa berhenti.”
Senna memang tak berhenti. Esoknya, tanggal 1 Mei, ia turun balapan.
“Di pagi hari ketika bangun ia meminta Tuhan untuk berbicara padanya,” kata Viviane, adik Senna. “Ia membuka Alkitab dan membaca sebuah pasase yang berbunyi: Tuhan akan memberikan padanya karunia terbesar dari semua karunia, yaitu Tuhan sendiri.”
Di lap ketujuh, Senna berpulang di usia 34.
Editor: Ivan Aulia Ahsan