Menuju konten utama

Drama Hidup LeBron James, Sang Pemain 30.000 Poin

Di musim ke 15-nya di NBA, LeBron James berhasil masuk dalam daftar elit sebagai pemain yang mencetak 30.000 poin.

Drama Hidup LeBron James, Sang Pemain 30.000 Poin
Pemain forward Cleveland Cavaliers LeBron James (23) menembakkan bola berhadapan dengan pemain guard Chicag Bulls Justin Holiday (7) dan pemain forward Lauri Markkanen (24) dalam babak pertama di United Center di Chicago, Illinois, Amerika Serikat, Senin (4/12/2017). ANTARA FOTO/REUTERS/USA TODAY Sports/Kamil Krzaczynski

tirto.id - Kuarter pertama tinggal 5 detik. Papan angka menunjukkan 27 untuk Cleveland Cavaliers, dan 25 poin untuk San Antonio Spurs. LeBron James, penyerang Cavaliers berusaha mendribel bola, dihadang oleh Danny Green. Tapi Green tak cukup lincah. Setelah memasuki area tembak dua poin, dengan gerak tipu ke belakang yang dilakukan dalam sekedipan mata, LeBron langsung meloncat tinggi dan melempar bola. Blessss! Bola masuk dengan mulus.

Penonton bersorak. Rekan LeBron di bangku cadangan berdiri dan memberikan aplaus. Kamera menyorot wajah LeBron yang lebat dengan cambang itu. Tak ada kegembiraan berlebih. Bahkan ia tak tersenyum. Ia hanya memeluk rekan satu timnya, Dwayne Wade.

"Momen mengagumkan. Dengan tembakan tadi, LeBron berhasil mencatat 30.000 poin," kata komentator.

Malam itu, 23 Januari 2018, nama LeBron James tercatat dalam tinta emas NBA. Ia menjadi anggota ketujuh dalam daftar para pemain yang berhasil mencatat angka 30.000 poin. Dalam sejarah NBA, baru ada enam pemain yang berhasil melakukannya: Kareem Abdul-Jabbar, Karl Malone, Kobe Bryant, Michael Jordan, Wilt Chamberlain, dan Dirk Nowitzki (masih aktif bermain). Yang lebih istimewa, LeBron menjadi pemain termuda saat masuk dalam daftar elit itu, yakni 33 tahun 24 hari, mengalahkan rekor Kobe Bryant (34 tahun 104 hari).

Malam itu, LeBron mencatat 28 poin. Cleveland kalah dari Spurs, 114-102. Tapi kekalahan itu tak bisa menghapus rasa senangnya. "Ini adalah momen istimewa," kata LeBron usai pertandingan. "Aku langsung memikirkan lagi perjalananku, dari bocah yang pertama memegang bola basket di usia lima tahun, dan menjalani pertandingan dengan aturan di usia 9 tahun, hingga sampai di momen ini."

Perjalanan LeBron menuju angka 30.000 poin memang panjang dan penuh onak. LeBron Raymone James lahir di Akron, Ohio, pada 30 Desember 1984. Ibunya, Gloria Marie James, baru berusia 16 tahun saat melahirkan LeBron dan menjadi orang tua tunggal. Dalam esai "America’s Working Single Mothers: An Appreciation", LeBron mengatakan betapa ibunya berjuang amat keras agar mereka berdua bisa hidup dengan layak.

"Kami harus berpindah-pindah tempat tinggal, belasan kali dalam tiga tahun. Rasanya menakutkan. Ibuku bekerja di manapun dan kapanpun, berusaha mencukupi kebutuhan kami berdua. Tapi dari sana, aku yakin: aku punya ibu yang akan selalu menyelimutiku dan memberiku rasa aman. Dia adalah ibuku, ayahku, segalanya. Dia selalu mendahulukanku. Aku tahu bahwa apapun yang terjadi, tak ada yang lebih penting baginya kecuali aku. Aku kehilangan banyak hal, tapi tidak pernah sekalipun aku merasa diabaikan atau tidak dicintai."

Jalan hidup LeBron berubah saat Gloria menitipkannya pada keluarga Frank Walker, seorang pelatih sepak bola Amerika, yang kemudian mengenalkannya pada basket. Saat itu usia LeBron 9 tahun, dan Gloria tahu bahwa anak seumurnya perlu merasakan stabilitas. Setelah setahun tinggal bersama keluarga Walker, LeBron kembali tinggal bersama Gloria yang sudah bisa mulai menata hidup.

Di tahun pertamanya bergabung dengan tim basket SMA St. Vincen-St. Mary, LeBron mencetak rata-rata 21 poin dan 6 rebound per pertandingan. Ia menjadi mega bintang di atas lapangan. Ia bahkan menjadi sampul majalah olahraga bergengsi, Sports Illustrated. Artikel tentangnya diberi judul: Ahead of His Class.

Ryan Jones dalam King James: Believe the Hype (2003), menyebut LeBron menjadi anak SMA kelas satu yang pertama kali tampil di sampul Sports Illustrated.

Di musim 2003-2004, LeBron memutuskan masuk ke NBA. Ia menjadi pilihan nomer satu dalam Draft angkatan 2003 dan resmi bergabung dengan Cleveland Cavaliers pada 23 Juni 2003.

ESPN mencatat momen LeBron menginjakkan kaki di lapangan NBA untuk pertama kalinya. Tanggal 29 Oktober 2003, Cavaliers bertandang ke markas Sacramento Kings. Beberapa pengamat pertandingan bilang ia grogi, tentu saja. Ribuan pasang mata seolah menyorotnya. Tapi saat sudah masuk lapangan, ia tak tampak sebagai rookie alias anak baru.

Mengenakan seragam merah dan keemasan bernomor punggung 23, berpadu dengan headband merah dan sepatu putih, LeBron masuk lapangan dengan keyakinan penuh seluruh. Di menit ketiga, LeBron yang berhasil melepaskan diri dari pengawalan musuh, menyelinap ke sisi kiri pertahanan lawan.

Setelah mendapat bola, ia mendribel cepat ke arah ring, lalu melakukan jump shot. Mulus. Di kuarter pertama, ia mencetak 12 poin, dua rebound, dua assist, dan tiga curian. Di akhir pertandingan, ia mencetak total 25 poin: rekor poin terbanyak pemain debutan di NBA.

Selanjutnya, karier LeBron berjalan nyaris mulus. Di musim 2003-2004, ia mendapat gelar NBA Rookie of the Year. Rata-rata poinnya 20,9 per pertandingan. Ia menjalani NBA All-Star Game opada musim 2004-2005. Dalam artikel berjudul "The Future is Now", pelatih Denver Nuggets, George Karl, memuji LeBron.

"Rasanya aneh melihat bocah usia 20 tahun menjadi pemain basket hebat, tapi dia memang dahsyat. Ia adalah pengecualian."

Infografik LeBron James

Sejak itu, nama LeBron nyaris selalu bersinonim dengan pencapaian mengesankan. Pada musim 2004-2005, ia mencetak 56 angka saat melawan Toronto Raptors. Di musim 2005-2006, ia mencatatkan rata-rata poin per pertandingan tertinggi dalam kariernya, yakni 31,4. LeBron menjadi bintang di Cavaliers.

Dari semua pencapaian itu, ada satu yang kurang: gelar juara. Beberapa pundit basket mengatakan LeBron berjuang sendirian di Cavaliers. Ia butuh tim yang kuat dan sanggup menopangnya. Maka dengan berat hati, di musim 2010-2011 ia pindah ke Miami Heat.

"Godaan pindah ke Miami adalah bisa bermain bareng Dwayne Wade dan Chris Bosh. Ini adalah tantangan baru untukku," katanya. "Faktor utama kepindahanku adalah kesempatan besar untuk menang di masa sekarang dan masa depan."

Para penggemar Cavaliers murka. Apa boleh buat, mereka kehilangan sang bintang. Di Cleveland, banyak penggemar Cavaliers membakar kaus bernomor punggung 23.

Setelah melewati musim 2010-2011 dengan rata-rata 26,7 poin per pertandingan, LeBron akhirnya mendapatkan gelar juara di musim berikutnya. Ia memang tampil menggila di Miami Heat. Dukungan dari Wade dan Bosh”—dua rekan seangkatan LeBron di Draft NBA 2003”—berhasil menjadi tulang punggung yang kokoh.

Duet Wade dan LeBron menebar maut di setiap pertandingan. Dalam sebuah foto, tampak Wade tak menengok usai melemparkan umpan yang diselesaikan dengan dunk. Ia tahu betul bahwa umpannya akan disambar oleh LeBron dan berakhir dengan dunk eksplosif yang menggetarkan ring. Tak ada keraguan di sana.

Miami Heat berhasil merengkuh gelar juara NBA dua musim berturut-turut. Di final 2012, mereka mengalahkan Oklahoma City Thunder dengan kemenangan meyakinkan: 4-1. Di final 2013 yang menegangkan, Heat berhasil mengalahkan San Antonio Spurs dengan agregat 4-3. Di dua final itu, LeBron menjadi Pemain Terbaik (MVP).

Pada 2014, LeBron sang anak hilang kembali ke rumahnya: Cleveland Cavaliers. Masa lalu yang sudah terlanjur terbakar, ia padamkan. Begitu pula para penggemar yang menyambutnya dengan baik. Kembalinya LeBron ke Cleveland yang tak pernah merayakan kemenangan olahraga apapun dalam waktu setengah abad, seolah kutukan, atau berkah. Ia seperti terikat sumpah untuk membawa tim ini juara NBA.

Tapi ia sadar itu tak mudah, bahkan untuk seorang LeBron sekalipun. Tujuh musim bersama Cleveland dan nol juara menjadi pembelajaran penting.

"Aku tak akan menjanjikan gelar juara," ujarnya. "Karena aku tahu betapa susahnya meraih gelar juara. Jelas aku ingin menang tahun depan, tapi aku realistis saja. Prosesnya bakalan panjang."

Saat menghadapi Golden State Warriors (GSW) di Final NBA 2015, LeBron kerepotan meski sudah didukung oleh tim solid. Kembalinya LeBron tampak tak akan membawa hasil apapun saat mereka kalah di Final dengan total skor 4-2.

Setahun kemudian, dua tim terbaik di NBA saat ini kembali bertemu di Final. Semua orang menanti apakah LeBron berhasil mengakhiri kutukannya di Cavaliers. Pertanyaan itu adalah beban, mengingat skor mereka sama: 3-3. Beban itu makin berat karena pertandingan terakhir diadakan di kandang GSW.

Maka saat Stephen Curry dari GSW luput menembak tiga angka di sisa waktu 5,2 detik kuarter keempat dan Cavaliers unggul 93-89, semua pemain dan kru Cavaliers langsung menghambur ke LeBron. Yang dipeluk menangis haru setengah berteriak. LeBron bersimpuh dan memukul-mukul lantai. Tangisnya tak kuasa dibendung lagi. Kamera menyorot wajah yang basah oleh air mata itu. Usia LeBron 32 tahun saat memberikan gelar juara NBA pertama dalam sejarah Cavaliers itu.

Baca juga:Juara NBA 2016

Di musim 2017-2018, di usia ke 33, LeBron tak mau mengendurkan tuas gasnya. Ia berlatih lebih keras, terus bermain dengan energi dan semangat yang sama sejak pertama kali menapakkan kaki di lapangan profesional, 15 tahun silam.

Rata-rata poinnya masih di atas 25 per pertandingan, tak pernah kurang dari itu.

Saat ia berhasil mengecoh Danny Green dan menceploskan poin ke 30.000 dalam kariernya, LeBron tahu itu bukan akhir dari segalanya.

Baca juga artikel terkait BASKET atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Olahraga
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nuran Wibisono