tirto.id - Muhammad Nazaruddin yang merupakan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat dituntut 7 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan karena melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dikategorikan sebagai grand corruption.
"Kami penuntut umum dalam perkara ini menuntut supaya majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat supaya memutuskan satu, menyatakan terdakwa Muhammad Nazaruddin terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dakwaan kesatu primer, dakwaan kedua primer dan dakwaan ketiga. Menjatuhkan pidana penjara selama 7 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan," kata ketua jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kresno Anto Wibowo dalam sidang pembacaan dakwaan di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu, (11/5/2016).
Nazaruddin dituduh menerima Rp40,37 miliar dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya terkait proyek pemerintah tahun 2010. Ia juga melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp627,86 miliar pada periode 2010-2014 dan Rp283,6 miliar pada periode 2009-2010 yang dikategorikan sebagai grand corruption.
"Perbuatan terdakwa dilakukan saat negara sedang giat-giat melakukan upaya pemberantasan korupsi. Perbuatan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi dilakukan secara terstruktur dan sistematis untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok sehingga masuk menjadi grand corruption," tambah jaksa Kresno.
Dalam dakwaan pertama, Nazaruddin dinilai terbukti menerima hadiah berupa 19 lembar cek yang jumlah seluruhnya Rp23,119 miliar dari PT Duta Graha Indah (PT DGI) dan Rp17,250 miliar dari PT Nindya Karya.
"Uang yang diterima PT DGI dan PT Nindya Karya disimpan di kotak brangkas PT Permai Grup, meski terdakwa tidak menerima uang secara langsung, tapi melalui Oktarina Fury berdasarkan perintah terdakwa dan Neneng Sri Wahyuni selaku istri terdakwa berdasarkan rapat-rapat di PT Permai Grup," tutur Kresno.
Pada dakwaan kedua, Nazaruddin dinilai terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang hingga mencapai Rp627,86 miliar selama periode 2010-2014.
Namun terdakwa membantah, ia mengatakan tidak semua harta berasal dari tindak pidana korupsi karena ada juga yang berasal dari sumber sah khususnya yang diatasnamakan Neneng Sri Wahyuni, seperti rumah di pejaten dan restoran. Akan tetapi, jaksa penuntut umum berpendapat alasan itu harus dikesampingkan. Alasannya adalah Nazaruddin tidak bisa menghadirkan saksi dan bukti untuk membuktikan hal tersebut.
Sedangkan pada dakwaan ketiga, Nazaruddin dinilai melakukan tindak pidana pencucian uang hingga mencapai Rp283,599 miliar selama periode 2009-2010 dengan cara menggunakan rekening atas nama orang lain dan rekening perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Permai Grup dengan saldo akhir seluruhnya sebesar Rp50,205 miliar; dibayarkan atau dibelanjakan untuk pembelian tanah dan bangunan seluruhnya sebesar Rp33,194 miliar; dan tanah berikut bangunan yang dititipkan dengan cara seolah-olah dijual (dialihkan kepemilikan) senilai Rp200,265 miliar.
"Pola transaksi mencurigakan karena setelah uang masuk dipindahbukukan ke rekening lain dan dikembalikan lagi kemudian ditarik dalam jumlah yang lebih kecil ditaruh ke rekening lain untuk melakukan 'layering' terhadap perbuatan korupsi. Pengalihan kepemilikan semua menggunakan nama orang lain yang berada di bawah kendali terdakwa," kata anggota jaksa penuntut umum M Takdir Sulhan.
Atas tuntutan tersebut, Nazaruddin akan mengajukan pledoi (nota pembelaan) pada 18 Mei 2016.
Nazaruddin saat ini juga sedang menjalani vonis tujuh tahun penjara dalam perkara suap Wisma Atlet SEA Games XXVI Palembang. KPK juga masih menyelidiki sejumlah kasus korupsi lain yang melibatkan perusahaan Nazaruddin seperti kasus pembangunan pabrik vaksin flu burung di Bandung dan pembangunan laboratorium di beberapa universitas.(ANT)
Penulis: Yantina Debora
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara