tirto.id - Saya datang tanpa ekspektasi apa-apa ketika menginjakkan kaki di bioskop untuk menonton Naura & Genk Juara, yang belakangan ini diributkan setelah sebuah postingan di Facebook menuding film ini "menista Islam". Yang demikian itu sesungguhnya bukan hanya cara mengkritik film yang salah, tapi juga merusak kritik film. Jadi, lebih baik kita kembali pada filmnya dan mengabaikan perdebatan tentang nista-menista itu.
Di perjalanan ke bioskop, saya menyempatkan diri membaca informasi mengenai Naura & Genk Juara. Berdasarkan informasi dari Antara, produser Handoko Hendropoyono mengatakan, “Setelah Petualangan Sherina, kayaknya belum ada lagi [drama musikal] yang sama. Makanya kita berupaya [membuatnya].”
Boleh saja sang produser ambisius, tapi setidaknya fakta bicara lain. Kenyataannya setelah Petualangan Sherina, film drama musikal anak cukup sering dibuat. Misalnya, Melodi (2010), Ambilkan Bulan (2012), sampai Laskar Semut Merah (2014).
Terlepas dari tak akuratnya pernyataan tersebut, Handoko memang membuktikan konsep “drama musikal” yang dimaksud. Lagu dan tarian tersaji sejak cerita dimulai. Dengan iringan musik yang ringan, catchy, serta mudah diterima telinga anak-anak, Naura (Adyla Rafa Naura Ayu) si tokoh utama, menyuarakan tekadnya meraih cita-cita. Bagi Naura, “apabila kita membulatkan tekad, semesta akan didapat.”
Sembari berjoget bersama ibunya, Naura mempersiapkan barang-barang yang hendak dibawanya ke kemah kreatif dan lomba sains di Kawasan Situ Gunung, Sukabumi. Alkisah, bersama kedua kawannya Bimo (Vickram Priyono) dan Okky (Joshua Rundengan), Naura ditunjuk menjadi perwakilan sekolahnya dalam kompetisi itu. Naura terlihat antusias dan tak sabar seraya berharap dapat menggondol pulang piala juara.
Setelah menyorot kegiatan Naura, cerita berpindah berpindah ke kawasan Situ Gunung. Di sana, Jalu (Panjul Williams), Jawil (Alfian), dan Jali (Dedy Ilyas) sedang mempersiapkan aksi-aksi kriminalnya. Trio Licik, begitu mereka dipanggil, memburu satwa yang berada di sekitar hutan.
Kesan penjahat yang konyol dan kocak seperti bandit di film Home Alone sengaja disematkan, lengkap dengan berbagai tingkah laku yang sejak awal dirancang menggaet tawa penonton sekaligus memancing kesan bahwa penjahat ternyata “nggak gitu-gitu amat.”
Dari perburuan hewan, sorotan kamera beranjak ke lokasi perkemahan. Para peserta lomba yang baru saja datang disambut kehangatan panitia. Suasana cair coba dihadirkan para panitia dan ranger (penjaga satwa) semacam Bu Tike (Shelomita) yang berdandan bak sosialita, Pak Marsono (Totos Rasiti) yang selalu melemparkan godaan ke Bu Laras (Kiki Juliar), serta anak kecil tangkas nan pemberani dengan monyet peliharaannya, Kipli (Andryan Bima).
Cacat Logika yang Merusak
Konflik dalam Naura & Genk Juara baru muncul selepas 45 menit pertama. Usai tertawa riang dan bernyanyi bersama dalam adegan musikal yang menunjukkan betapa bahagianya anak-anak ini bisa bepergian jauh dari kota, satu per satu masalah mulai timbul.
Persaingan di dalam kelompok antara Naura, Okky, dan Bimo, modus operandi sindikat pencurian satwa liar, penculikan Okky, hingga Pak Marsono yang ternyata adalah otak dari pencurian satwa merupakan deretan masalah yang disajikan Naura & Genk Juara.
Ketika masalah-masalah itu mulai menyeruak, di situ pula saya sadar bahwa ternyata Naura & Genk Juara bermasalah dengan logika. Eugene Panji selaku sutradara sepertinya abai bahwa dalam membuat film bertemakan anak, selain penulisan naskah yang ringan, logika merupakan elemen penting untuk menunjang perjalanan alur, penciptaan karakter beserta beragam motivasinya, yang sulit dilepaskan dari kenyataan sosial—sefantastis apapun bingkisan filmisnya.
Contohnya ketika para ranger berbondong-bondong mencari ketika Okky yang disekap pencuri pada suatu malam. Tak ada satupun ranger yang berada di lokasi perkemahan. Pertanyaannya, bagaimana mungkin para ranger membuat keputusan sembrono meninggalkan anak-anak yang tertidur lelap di tenda tanpa pengawasan sedikitpun? Bukannya menemukan Okky, para ranger mungkin saja mendapat masalah tambahan dengan hilangnya anak-anak lainnya. Barangkali hanya dengan itu cerita bisa bergerak. Bergerak absurd.
Lantas ketika Naura, Kipli, dan Bimo terciduk saat menyelidiki keterlibatan Pak Marsono dalam pencurian satwa, mereka ditangkap dan ditahan di ruang bawah tanah. Di dalam ruangan, ketiganya sedih tak karuan, termenung, serta meratapi nasib buruk yang menimpa. Saat harapan menyelamatkan diri perlahan pupus tiba-tiba saja sebuah kunci masuk dengan sendirinya dari bawah pintu. Saya berpikir mungkin malaikat menjawab ketakutan mereka. Faktanya bukan malaikat. Monyet peliharaan Kipli-lah yang memasukkan kunci itu.
Yang menjadi sumber kebingungan: monyet Kipli tahu dari mana jika Naura ditahan? Bagaimana cara monyet milik Kipli mengambil kunci tersebut? Kita tidak menyaksikan adegan-adegan ini dipersiapkan dengan baik, misalnya dengan meletakkan informasi-informasi subtil tentang monyet Kipli sehingga yang terjadi adalah kebetulan dan keajaiban semata.
Adegan menjelang penutup lebih konyol lagi. Ceritanya, Trio Licik ingin melarikan diri dari lokasi perkemahan. Tapi dalam film, mereka nampak kesusahan sekali untuk keluar dari area Situ Gunung. Padahal jika dihitung-hitung, rute keluar Situ Gunung juga tak sejauh jarak Jakarta-Bandung. Sementara, Trio Licik membutuhkan waktu dari malam hingga pagi untuk keluar dari sana.
Apakah mereka berputar-putar arah? Atau mereka sengaja berdiam diri di sana, duduk manis, dan bertukar kisah sembari menatap rembulan? Entah. Hanya sang sutradara dan pikiran-pikiran di kepalanya saja yang paham.
Ditambah lagi, ketika anak-anak peserta kemah ini melawan dengan berbekal senjata sains yang mereka buat, tak disangka Trio Licik berhasil dikalahkan dengan mudah. Di hadapan anak-anak bau kencur ini, Trio Licik bak sedang bertarung dengan Zeus Yunani yang menerbitkan bulu kuduk. Padahal senjata mereka hanya balon air, roket yang mengeluarkan bubuk berwarna, hingga semangka yang bisa meledak layaknya molotov.
Namun, mungkin itulah misi saintifik yang ingin diemban Naura & Genk Juara, bahwa ternyata sains amatlah praktis dan berguna dalam keseharian karena kepada penjahat kita bisa menggertak: "(Dengan) kekuatan sains, akan menghukummu!"
Andaikata Eugene Panji mampu memoles Naura & Genk Juara dengan lebih baik, saya pikir film ini akan jadi tontonan yang mengasyikkan. Toh, pengalaman Eugene dalam membuat film anak tak cuma sekali saja. Pada 2012, ia sudah membuat film bertema serupa dengan judul Cita-citaku Setinggi Tanah.
Dengan modal yang lebih besar dalam Naura & Genk Juara (melihat banyak sekali product placement dalam adegan), Eugene sebetulnya tak perlu risau terhadap hal-hal teknis dan bisa membuat garis cerita lebih masuk akal. Well, minimal ada satu pesan yang menarik: Naura & Genk Juara memperlihatkan bahwa menjadi penjaga satwa selama 10 tahun seperti Pak Marsono tidak lantas membuatmu kaya raya dan akhirnya berujung melakukan tindak pidana.
Pada akhirnya, Naura & Genk Juara menyadarkan saya akan beberapa hal. Ternyata, film-film bertemakan anak di Indonesia masih hidup dan bernafas setidaknya sampai sekarang meskipun menurut catatan filmindonesia.or.id, pada 2017 hanya sepasang film anak yang rilis: Naura & Genk Juara dan Ayu Anak Titipan Surga.
Ini hal yang miris sebetulnya. Pembahasan mengenai film anak Indonesia dan diktum klasik tentang betapa sedikitnya judul yang beredar menunjukkan besarnya pekerjaan rumah sineas lokal. Sebuah topik yang semestinya lebih penting dibahas daripada ribut mengais-ngais isu 'penistaan agama'.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf