tirto.id - Joko, 37 tahun, sopir angkot trayek M47 jurusan Pulogadung-Pasar Senen, Jakarta. Lelaki asal Medan, Sumatera Utara itu merantau ke Jakarta sejak tahun 1997. Tiga tahun setelahnya dia mulai menjadi sopir angkot. Baginya profesi itu mau tidak mau harus dinikmati.
"Kalau hidup ini bosan ya bisa bunuh diri lah. Kami begini enggak ketemu bosan, harus dinikmati," kata Joko sambil menyetir angkotnya, Sabtu (13/10/2018).
Sambil menghisap sebatang rokok kretek di tangan kanannya, Joko mengemudikan mikroletnya menyusuri jalanan ibu kota. Sesekali ia terlihat memainkan gawainya. Sesekali ia berteriak lantang, "Pulogadung! Pulogadung!"
Angkot biru yang dibawa Joko, bagian dashboardnya mengelupas, banyak kabel berjuntai. Pintu mikroletnya pun sulit dibuka. Tak usah pula berharap dapat mengetahui kecepatan kendaraan yang dibawa Joko, karena rusaknya alat penunjuk kecepatan.
Kendaraan yang ia kemudikan terbiasa berhenti di sembarang tempat, istilahnya ngetem. “Dari dulu memang begini," ungkapnya.
Bagi Joko, uji KIR bukanlah prosedur yang penting. Dia mengaku malas untuk tertib administrasi dan merawat kendaraan. Hal penting baginya hanyalah, sejauh ini angkotnya masih bisa bebas melenggang di jalanan ibu kota.
Ketidakpatuhan sopir angkot melakukan uji KIR kendaraannya setiap periode tertentu juga dikemukakan Asep, 50 tahun, pengemudi angkot T17 jurusan Cililitan-Pinang Ranti, Jakarta. Asep mengungkapkan, tak semua angkot yang pernah ia kendarai sudah lolos uji kelayakan.
Menjadi sopir bukanlah cita-cita Asep. Sambil menghisap dalam-dalam rokok kreteknya, ia berkata, "Nggak punya duit buat lanjut sekolah. Di kampung kerja serabutan. Ya udah ke Jakarta waktu itu diajak kakak."
Tak Cukup 14 Jam Tebus Kebutuhan Hidup
Sudah 28 tahun Asep menjadi sopir angkot di Jakarta. Dalam sehari rata-rata dia mendapat penghasilan bersih sebesar Rp240 ribu. Padahal Asep rutin bekerja 14 jam setiap hari.
"Setoran per hari Rp110 ribu. Dulu sih bisa dapat banyak, sekarang sudah sepi sewa [penumpang] soalnya kalah saing sama ojek online," kata Asep.
Pria asal Cianjur, Jawa Barat itu merupakan tulang punggung keluarga bagi istri dan dua anaknya. Istrinya bekerja membuka warung di rumah. Dalam sebulan pendapatan dari warung itu untuk menambal biaya rumah yang ia kontrak di daerah Pinang Ranti, sebesar Rp500 ribu per bulan.
Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, Asep menempuh kerja sampingan sebagai sopir mobil pribadi ke luar kota. Biasanya sekali jalan dia mengantongi uang sebesar Rp350 ribu.
Begitu juga Joko. Dia rutin memulai pekerjaannya sejak pukul 05.00 pagi. “Biar dapat banyak anak sekolah sama orang pada ke pasar," tuturnya. Pukul 22.00 malam, ia baru mengakhiri tugasnya.
Dalam satu hari, Joko mendapatkan penghasilan Rp250 ribu hingga 400 ribu. Ia harus memberikan setoran harian Rp200 ribu ke pemilik angkot. Penghasilan yang tak menentu itu untuk menghidupi seorang istri dan empat orang anaknya.
"Ya hasilnya begitu. Pas-pasan. Dicukup-cukupin aja," katanya.
Tarif yang dipatok bagi masing-masing penumpang Rp2 ribu hingga Rp10 ribu. Biaya itu disesuaikan dengan jarak serta status penumpang: jauh-dekat, pelajar atau bukan.
Cemas dengan penghasilan yang tak menentu, Joko tertarik pada program Gubernur DKI Jakarta, Ok-Otrip atau yang telah berubah nama menjadi Jak-Lingko. Tapi dia gagal mengikuti program tersebut. Dia jadi antipati pada kebijakan setiap gubernur yang memimpin DKI Jakarta.
"Sama saja kayanya, enggak ada bedanya. Enggak ada ngaruhnya itu. Kalau mereka [gubernur] sudah terpilih, ya gitu-gitu saja. Mana ada itunya [pengaruhnya]. Janjinya saja kadang lupa," lanjut Joko. "Makanya mending pikirin diri sendiri saja lah."
Bekerja sebagai sopir angkot sejak tahun 1993, pendapatan Hermanto tak beda jauh dengan Joko pun Asep. Dia rerata mendapat Rp300 ribu hingga 350 ribu per hari. Dari jumlah itu, Rp100 ribu harus ia setoran ke empunya angkot.
Hermanto sehari-hari mengendarai angkot T09 jurusan Pasar Rebo-Kalisari, Jakarta. Pria asli Betawi itu harus menyiasati minimnya penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama tiga anak dan seorang istri.
"Duit dari narik buat kebutuhan. Kadang kurang buat bayar kontrakan pinjem orang. Habis banyak buat susu si balita, mahal," ujar Hermanto.
Hermanto tinggal bersama keluarganya di Kampung Rumbut, Cimanggis, Depok. Saban hari, ia bekerja dengan waktu yang sama seperti Joko serta Asep. Penghasilannya semakin tertekan karena kemunculan moda transportasi baru seperti KRL, TransJakarta, hingga ojek daring.
"Dulu ramai penumpang, apalagi kalau pagi dan sore. Pagi biasanya ramai anak sekolah dan pekerja kantoran. Sore biasanya pekerja kantor. Sekarang mah begini dah," tuturnya.
Sadar akan penghasilannya yang tak seberapa, Hermanto pun sesekali memilih untuk menjadi kurir tahu. Ia mengantar tumpukan tahu itu ke Pasar Cibubur usai bekerja sebagai sopir angkot. “Kalau nggak capek abis narik," ungkapnya.
Sekali mengantar tahu ke pasar, Hermanto diberi uang Rp50 ribu. Jumlah itu mungkin tak seberapa dibanding pengeluaran harian para pekerja kantoran di ibu kota. Namun uang tersebut sangat berarti bagi Hermanto, terlebih untuk memenuhi kebutuhan salah satu anaknya yang masih berusia 2 tahun.
Keinginan Hermanto mendapat gaji bulanan belum terwujud; meski Pemprov DKI Jakarta telah meresmikan program Jak-Lingko. Menurut Hermanto, ada banyak rekannya sesama sopir yang sudah bergabung dengan program andalan Anies Baswedan itu. Akan tetapi ia sendiri belum mendapat kesempatan mengikuti program itu.
"Tergantung pemilik saja lah gimana," ucapnya pasrah. "Tapi, ya jujur, saya mau ikut OK-Otrip [Jak-Lingko] karena dapat gaji per bulan."
Jaminan Keamanan Bagi Penumpang
Ulfa, perempuan 19 tahun, berharap para sopir angkot mendapat penghasilan tetap. Sebab dengan begitu menurutnya, tindakan ugal-ugalan dan ngetem sembarangan bisa dipangkas.
"Pengadaan angkot baru juga diperlukan. Dengan adanya OK-Otrip [Jak-Lingko] memang memudahkan penumpang, nggak perlu bayar cash. Ongkos lebih murah. Tapi program itu harus lebih luas lagi jangkauannya," tutur Ulfa.
Ulfa merupakan mahasiswi yang menjadi pelanggan moda transportasi angkot. Meski sering menaiki angkot yang kondisinya buruk dan dikendarai dengan kecepatan tinggi, ia tetap setia dengan pilihannya. Ulfa beralasan, "Naik angkot lebih santai dan tidak terlalu membahayakan seperti ojek. Enggak kepanasan atau kehujanan juga."
Pendapat serupa disampaikan Kartika, perempuan 24 tahun. Wanita asal Ciamis, Jawa Barat itu berharap pemerintah lebih memperhatikan kelayakan angkot yang melintas di jalanan ibu kota.
Kartika kesal dengan kebiasaan angkot yang berhenti sembarangan dengan waktu yang tak menentu untuk menjaring penumpang lain. Padahal saat itu dirinya kerap buru-buru menuju kantornya di bilangan Pulogadung.
Sesekali Kartika menggunakan jasa ojek daring. Akan tetapi ongkos yang dikeluarkan untuk naik ojek daring, diakuinya jauh lebih mahal dibanding angkot.
"Cepat tapi mahal, yang ini [angkot] lebih murah tapi kadang lama dan macet. Ya semoga ada perbaikan deh ke depannya," ujar Kartika.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Dieqy Hasbi Widhana