tirto.id - Pada 2008 Nokia pernah didapuk sebagai salah satu merek paling bernilai di dunia. Namun, nama mentereng Nokia itu tak berlangsung lama. Pada 2014, divisi selular sebagai penyumbang pendapatan terbesar Nokia, dijual seharga $7,2 miliar pada Microsoft. Nokia yang pernah berjaya pada era feature phone gagal meneruskannya suksesnya di zaman smartphone. James Surowiecki, kontributor The New Yorker, mengatakan kegagalan Nokia cukup mengherankan.
Surowiecki mengatakan “merujuk sejarahnya, Nokia merupakan perusahaan yang adaptif. Bergerak dari satu bisnis ke bisnis lain, seperti bisnis kertas, karet, hingga perkakas elektronik.”
Di dekade 1990-an, Nokia masuk ke industri selular dengan cemerlang. “Nokia melahirkan smartphone pertamanya di 1996, menciptakan prototipe ponsel berlayar sentuh, dan melahirkan ponsel internet di akhir dekade.”
Surowiecki mengatakan Nokia “selalu sukses mencipta-ulang dirinya lagi dan lagi di tengah perubahan.” Menjual unit divisi selular ke Microsoft seakan jauh dari jiwa yang mereka perlihatkan selama ini.
Namun, keterpurukan Nokia terletak pada kenyataan bahwa Nokia merupakan perusahaan perangkat keras. Nokia seakan-akan menihilkan perangkat lunak sebagai satu kesatuan utuh saat menciptakan “perangkat.” Ini berbeda dengan Apple yang menganggap perangkat keras dan perangkat lunak sama pentingnya. Akibatnya, dalam melahirkan smartphone, Nokia mesti berpaling ke perusahaan lain. Nokia berpaling pada Microsoft yang menciptakan sistem operasi mobile: Windows Phone.
Sayangnya, Windows Phone gagal. Sebagai perusahaan yang ngotot menggunakan sistem operasi itu, Nokia mengikuti jejak Windows Phone, yang juga gagal.
Windows Phone: antara Inovasi dan Kegagalan
Windows Phone merupakan sistem operasi mobile yang dikembangkan oleh Microsoft menggantikan Windows Mobile dan Zune. Windows Phone kali pertama diluncurkan pada Oktober 2010 dengan nama Windows Phone 7. Tom Warren, jurnalis The Verge, menyebutkan sistem operasi ciptaan Microsoft itu “fokus menjadikan ponsel sebagai media penyaji informasi, bukan terpusat pada aplikasi.”
Sementara itu, Vlad Savov, yang sama-sama jurnalis di The Verge, menyebutkan Windows Phone “tak seperti Android, ia tak mereka-ulang (meniru) iOS.”
Windows Phone merupakan sistem operasi berbayar. Artinya, pembuat smartphone harus merogoh sejumlah uang untuk Microsoft bila ingin menggunakan Windows Phone sebagai sistem operasi perangkat mereka. Dilansir Gizmodo, pembuat smartphone harus membayar $15 per ponsel pada Microsoft. Ini berbeda dengan Android. Pengguna ponsel cukup membiarkan aplikasi-aplikasi bawaan Google terpasang secara default maka Android pun gratis terpasang.
Salah satu ciri khas Windows Phone ialah user interface bernama Metro. Tom Warren menyebut bahwa Metro memiliki fitur dark mode (mode gelap) yang ramah mata bila pengguna menggunakan smartphone di malam hari. Menurut Warren, Windows Phone merupakan pelopor fitur tersebut yang “bahkan tak tersentuh Android dan iOS selama hampir delapan tahun fitur tersebut ada di Windows Phone.”
Selain dark mode, fitur unik yang dimiliki Windows Phone adalah Live Tiles. Live Tiles memungkinkan aplikasi menyajikan informasi di home screen, tanpa perlu membuka aplikasi. Fitur ini semacam widget di Android dan iOS tetapi lebih baik.
Ada beberapa fitur inovatif di Windows Phone, yang beberapa di antaranya bahkan dicontek Android atau iOS. Fitur-fitur tersebut ialah Kid’s Corner (fitur yang memungkinkan orang tua membuat akun terpisah bagi anak mereka di sebuah smartphone), Dedicated Search Button (tombol khusus bagi pencarian berbasis Bing), People Hub (fitur yang memungkinkan kontak yang disimpan disisipi informasi seperti akun media sosial), Browser Address Bar (fitur navigasi situsweb yang disematkan di bagian bawah smartphone guna memudahkan jari pengguna), dan Unified Messaging (fitur yang mensinkronisasikan berbagai jenis pesan ke satu wadah).
Windows Phone tetap saja gagal di pasaran meski punya fitur yang inovatif. Pada kuartal IV-2010, saat Windows Phone muncul, sistem operasi tersebut memperoleh 3,4 persen pangsa pasar. Bukannya meningkat, di kuartal IV-2016, saat terakhir sistem operasi itu terdeteksi firma data Statista, mereka hanya memperoleh pangsa pasar sebesar 0,3 persen. Kalah jauh dibandingkan Android yang kala itu memperoleh 81,7 persen pangsa pasar dan iOS dengan 17,9 persen pangsa pasar.
Windows 10 Mobile, versi pembaruan Windows Phone yang diluncurkan pada 2015, juga gagal menyelamatkan sistem operasi itu.
Mengapa Windows Phone yang inovatif itu gagal di pasaran?
Paul Sawers, dalam tulisannya di The Next Web, menyebut bahwa meski bukan yang utama, ketiadaan aplikasi-aplikasi mainstream membuat Windows Phone limbung. Di awal-awal kemunculannya, “tidak ada Google Maps [...] tidak ada Chrome [...] dan masih belum tersedia Instagram,” cetus Sawers.
“Mereka mungkin akan segera hadir, tetapi masih tidak ada tanda-tanda Vine, Path atau Flipboard ke Windows Phone. Dropbox juga hilang, sama seperti SoundCloud, RunKeeper dan Yahoo Mail, meskipun terdapat pihak ketiga yang mengakali agar aplikasi-aplikasi itu bisa digunakan Windows Phone. Selanjutnya tidak ada Firefox, Airbnb, Snapchat, Uber, Wikipedia, dan Pinterest. Ini jelas menandakan bahwa banyak perusahaan belum mau menggunakan Windows Phone,” tulis Sawers.
Dampak ketiadaan beberapa aplikasi mainstream yang sudah umum bagi para pengguna smartphone, padaWindows Phone, membuat sistem operasi ini tak banyak dilirik. Microsoft telah berusaha keras untuk membuat aplikasi mainstream hadir pada sistem operasi mereka. Microsoft sempat menciptakan aplikasi “tiruan” YouTube sendiri. Berbekal application programming interface (API) milik YouTube, Microsoft membikin YouTube untuk Windows Phone.
Sayangnya, langkah itu tak mendatangkan pengguna baru, Microsoft malah “dihajar” Google. Google memutus akses aplikasi tiruan itu pada database YouTube. Alasannya, Microsoft dianggap menyalahi aturan yang ditetapkan Google, yakni membuat aplikasi tiruan YouTube tetapi tanpa menyertakan kemungkinan iklan-iklan YouTube tampil.
“Sayangnya, dengan memblokir iklan dan mengizinkan pengguna mengunduh video, aplikasi tiruan tersebut membuat kreator video YouTube kehilangan pemasukan, dan ini mengancam ekosistem YouTube,” kata jurubicara Google sebagaimana diwartakan The Verge.
Ketiadaan aplikasi-aplikasi mainstream pada Windows Phone sebetulnya bukan masalah berarti. Sawers menyebut bahwa perusahaan pembuat aplikasi butuh waktu. Ia mencontohkan Instagram perlu waktu hingga lebih dari setahun menghadirkan aplikasi mereka di Android selepas hanya bisa digunakan pengguna iOS. “Banyak orang yang sebetulnya tak peduli aplikasi-aplikasi mainstream tersebut.” Sayangnya, Microsoft gagal meyakinkan masyarakat tentang ponsel yang mereka butuhkan secara esensial.
Anahita Didari, mahasiswa University of Bergen Norwegia dalam tesisnya berjudul “Windows Phone, Doomed or Pushed to fail?” menyebut bahwa kegagalan Windows Phone tak hanya soal aplikasi. Tetapi, ada dua variabel yang menyebabkan kegagalan.
Kedua variabel itu ialah appropriability dan flexibility yang intinya mudah menyesuaikan dan fleksibel. Pada appropriability Windows Phone gagal karena ia memerlukan biaya tambahan bagi produsen smartphone bila ingin menggunakannya. Pada flexibility Windows Phone gagal karena sistem operasi itu tak memberikan produsen pembuat smartphone mengotak-atik sistem operasi itu sesuai keinginan mereka.
Dua variabel ini sukses dijalankan Android. Selain gratis, karena bersifat open source, produsen bisa mengotak-atik Android sesuka hati. Didari menyebut, meskipun Windows Phone berubah menjadi sistem operasi gratis dan source code-nya dibuka untuk publik ini tak menjadikan mereka akan mampu mengalahkan Android.
Google telah membikin jaringan produsen-produsen pembuat smartphone berbasis Android. Ini tak dimiliki Windows Phone. Selain itu, membuka source code Windows Phone ke publik akan turut membuka celah keamanan sistem operasi itu yang tentunya tak diinginkan Microsoft. Ini tentu menjawab kesialan-kesialan sistem operasi besutan Microsoft ini.
Editor: Suhendra