tirto.id - Setiadi, warga Depok sedang menjadi pemberitaannya. Gara-garanya, ia membeli motor Honda CBR150R seharga Rp33,425 juta dengan pecahan koin Rp1.000. Uang itu dikumpulkan dalam sebuah ember bekas cat berkapasitas 25 kg dan satu dus berisi 14 plastik pecahan Rp1.000.
Suparman, Kepala Cabang Moto Care Depok, mengatakan, butuh tiga hari untuk menghitung seluruh koin. Pasalnya, tidak ada bagian khusus yang bertugas menghitung jadi butuh bantuan dari banyak karyawan yang menyisihkan waktu tugas harian.
"Sehari itu butuh sampai 6 jam buat menghitung. Totalnya Rp 32.050.000. Nanti sisanya ditambah konsumen waktu penyerahan," ucap Suparman, dalam wawancaranya dengan Otomania.
Kepada Otomania, Setiadi mengatakan uang tersebut dikumpulkan oleh keluarganya dari sisa-sisa kembalian. Ia mengumpulkannya selama sekitar 5 tahun.
"Koinan Rp 1.000 itu dikumpulkan dari sisa kembalian, kalau saya sebagai driver biasa dari kembalian uang tol, kalau keluarga ada yang dari sisa belanja, baik istri atau pun anak saya biasakan untuk selalu menabung hasil kembalian," ungkapnya.
Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Bagi sebagian orang, pepatah itu memang klise. Namun, Setiadi membuktikan bahwa dari recehan yang sering terbuang, ia bisa membeli sebuah motor seharga lebih dari Rp30 juta.
Di zaman sekarang, sangat sedikit orang yang bisa menghargai koin seperti Setiadi. Kebanyakan tidak terlalu mempedulikan uang receh tersebut. Apalagi yang nilainya hanya Rp100 atau Rp200. Pengamen atau pengemis pun terkadang membuang uang recehan tersebut.
Faktanya, nasib uang koin selama bertahun-tahun sebagai mata uang yang termarginalkan. Ia kalah pamor dengan uang kertas yang nilainya jauh lebih besar. Padahal peranan uang koin cukup signifikan.
Setiap tahun, perusahaan ritel harus bersusah-susah mencari uang receh hingga totalnya mencapai ratusan miliar rupiah demi uang kembalian ke konsumen. Pada musim mudik lalu, operator tol PT Jasa Marga harus menyiapkan uang receh pecahan Rp500 hingga Rp1,173 miliar.
Peredaran Uang Koin
Data BI mencatat hingga kini ada beberapa jenis uang koin yang masih berlaku sebagai alat transaksi tunai yaitu uang koin pecahan Rp1 tahun emisi 1970, pecahan Rp50 tahun emisi 1999, pecahan Rp100 tahun emisi 1999, pecahan Rp200 tahun emisi 2003, pecahan Rp500 tahun emisi 1997, pecahan Rp500 tahun emisi 2003, pecahan Rp1.000 tahun emisi 1993, dan Rp1.000 tahun emisi 2010. Tercatat, BI terakhir kali melakukan penarikan uang koin pada 31 Agustus 2010 untuk pecahan Rp25 tahun emisi 1991.
BI mencatat pada 2010 peredaran uang koin di seluruh Indonesia mencapai Rp3,2 triliun. Jumlah fisiknya atau kepingannya mencapai 60 persen atau 15,5 miliar keping dari total jumlah uang yang beredar di tengah masyarakat. Jumlah terbanyak adalah pecahan Rp100 sebanyak 6,7 miliar keping.
Artinya secara volume, jumlah pecahan koin yang beredar lebih banyak daripada lembaran-lembaran uang kertas yang ada di masyarakat. Jumlah uang kertas yang beredar sampai Juni 2010 nilai nominalnya mencapai Rp265,9 triliun setara dengan 9,8 miliar lembar.
BI terus melakukan penambahan peredaran uang koin karena tuntutan kebutuhan. Sejak 10 tahun terakhir hingga 25 Juni 2016 jumlah uang koin yang beredar mencapai Rp6 triliun, yang artinya kebutuhan terhadap koin terus tumbuh. Peredaran nilai uang koin memang jumlahnya tak seberapa dari total uang yang beredar di masyarakat. Total uang yang beredar hingga April 2016 yang mencapai Rp435,32 triliun--di luar bank umum dan BPR.
Sayangnya tingkat pengembalian uang koin ke BI hanya 16 persen atau setara Rp900 miliar dalam 10 tahun terakhir. Hal ini disebabkan budaya masyarakat yang masih menganggap uang koin bukan sebagai alat transaksi. Kondisi tersebut menyebabkan sirkulasi peredaran uang rupiah khususnya uang koin di masyarakat tersendat.
“Jika dibagi dengan keseluruhan penduduk, artinya setiap penduduk menyimpan 77 keping uang koin, “ kata Deputi Gubernur BI Ronald Waas dikutip dari Antara.
Kenapa harus ada uang koin? Hampir di setiap negara memiliki uang koin. Mata uang ini memiliki kelebihan antara lain karena lebih awet daripada uang kertas. Ketahanan uang koin usianya lebih lama, antara 7-8 tahun, sedangkan ketahanan uang kertas hanya berkisar 1 tahun.
Alasan lainnya, karena nilai intrinsik uang koin lebih rendah daripada nilai nominalnya. Untuk uang kertas, selain faktor biaya bahan baku dan produksi, juga ada biaya sistem keamanan yang membuat makin tinggi nilai intrinsik uang kertas. Berdasarkan riset tirto.id, hampir semua pecahan uang koin 100, 200, 500, dan 1.000 nilai intrinsiknya lebih rendah dari nominal.
Untuk pecahan uang koin Rp1.000 keluaran tahun 2010 misalnya, dengan massa 4,5 gram terbuat dari nikel yang harga per gramnya Rp124,02 maka nilai intrinsiknya hanya Rp558,11. Begitu juga dengan pecahan Rp500 keluaran 2003, nilai instrinsiknya hanya Rp51,27.
Dari manfaat dan alasan soal keberadaan uang koin membuat uang koin tetap diproduksi oleh BI. Namun di sisi lain, bagi masyarakat di kawasan-kawasan perbatasan atau pulau terluar yang harga kebutuhan pokoknya tinggi, nilai sebuah koin menjadi tak berharga. Masyarakat di sana tak bisa membeli sesuatu dari sebuah kepingan uang koin.
Tak Laku di Perbatasan
Dalam Undang-undang (UU) No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang disebutkan bahwa mata uang sebagai salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia. UU ini nampaknya tak berlaku di kawasan perbatasan. Keberadaan uang koin telah terpinggirkan di kawasan perbatasan seperti Nunukan Kalimantan Utara, Anambas Kepulauan Riau, Maluku dan daerah terpencil lainnya di Indonesia.
Padahal dalam pasal 21 UU tentang Mata Uang disebutkan, rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran. Sementara pada pasal 23, mengatur bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah. Apabila orang menolak untuk menerima rupiah setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran maka akan dikenakan sanksi sesuai pasal 33 UU No 7 tahun 2011 berupa kurungan satu tahun dan denda Rp200 juta.
Masyarakat yang tak peduli dengan uang koin sebuah fakta yang tak bisa dipungkiri. Namun, ada juga masyarakat yang sadar dengan manfaat uang koin. Seorang mahasiswi Ekonomi Universitas Negeri Manado (Unima) Anita Apena termasuk yang resah dengan perilaku masyarakat Talaud, Sulawesi Utara, di salah satu kawasan pulau terluar Indonesia.
“Di Talaud uang logam sudah tidak berlaku lagi sejak lama, sehingga yang digunakan hanya uang kertas saja. Dengan demikian mereka lebih senang bertransaksi menggunakan uang kertas dari pada logam,” katanya dikutip dari Antara.
Konsekuensi tidak berlakunya uang logam tidak sekadar soal kedaulatan, tetapi juga ekonomi. Misalnya seseorang membeli mi instan yang harganya Rp2.500, tetapi karena uang koin Rp500 tidak digunakan maka konsumen akan membayar Rp3.000. Jika kebiasaan ini terulang dan meluas maka dampaknya pada inflasi di daerah tersebut. Hal ini sama saja ada kenaikan harga barang, ketika jumlah nilai uang yang beredar lebih besar daripada barang.
Persoalan inflasi ini juga jadi masalah lain dari tak pedulinya masyarakat terhadap uang koin. Sehingga BI melakukan beberapa kampanye “Gerakan Peduli Koin” yang efektivitasnya belum optimal. Gerakan ini setidaknya sudah dimulai sejak 2010. Sayangnya, gerakan tersebut tak terdengar lagi gaungnya. Koin recehan tetap saja dipandang remeh. Padahal jika saja uang koin itu dirawat, siapapun bisa seberuntung Setiadi.