Menuju konten utama

Nasib Kemenperin Setelah Airlangga Hartarto Jabat Ketum Golkar

Airlangga Hartarto resmi ditunjuk sebagai ketua umum Golkar menggantikan Setya Novanto. Bagaimana nasib Airlangga sebagai Menteri Perindustrian?

Nasib Kemenperin Setelah Airlangga Hartarto Jabat Ketum Golkar
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menjawab pertanyaan wartawan usai menghadap Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (20/11/2017). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Airlangga Hartarto akan memikul dua jabatan penting: sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan Menteri Perindustrian. Dua tugas yang sama-sama tidak mudah dan berpotensi mengalami konflik kepentingan.

Rapat pleno DPP Partai Golkar pada Rabu malam (13/12/2017) sepakat menunjuk Koordinator Bidang Perekonomian Golkar, Airlangga Hartarto sebagai ketua umum menggantikan Setya Novanto. Posisi Airlangga sebagai ketua umum Golkar sendiri baru akan dikukuhkan dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Manaslub) yang bakal digelar dalam waktu dekat ini.

Ketua Harian DPP Golkar, Nurdin Halid menyatakan, keputusan rapat pleno itu bisa dipertanggungjawabkan sesuai dengan Pasal 13 dan 14 Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga(AD/ART) Golkar. Menurut dia, pengisian lowongan antarwaktu pengurus DPP ditetapkan melalui rapat pleno DPP dan disampaikan di forum Rapimnas.

“Keputusan tersebut akan dilaporkan dalam Rapimnas 18 Desember nanti,” kata Nurdin saat menyampaikan putusan pleno di DPP Golkar, Anggrek Neli Murni, Slipi, Jakarta Barat, Rabu (13/12/2017) malam.

Keputusan rapat pleno DPP Golkar tersebut membuat Airlangga Hartarto harus merangkap jabatan sebagai menteri di Kabinet Kerja Jokowi-JK. Sejak 27 Juli 2016, pria kelahiran Surabaya, 1 Oktober 1962 ini tercatat sebagai Menteri Perindustrian (Menperin) menggantikan politikus Partai Hanura, Saleh Husin pada Reshuffle Kabinet Jilid II.

Menanggapi rangkap jabatan tersebut, Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon menyarankan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera melakukan perombakan kabinet. Fadli beralasan, hal ini sebagai bentuk komitmen Jokowi agar para menterinya tidak merangkap jabatan sebagai ketua umum partai politik.

“Terserah kepada Presiden apakah langsung akan diganti atau kah dijabat dulu oleh menteri lain, itu terserah Presiden. Tapi saya kira lebih bagus langsung ada penggantinya," kata Fadli di Kompleks Parleman, Senayan, Jakarta, pada Kamis (14/12/2017).

Joko Widodo usai terpilih sebagai Presiden RI ke-7 pada Pilpres 2014 menegaskan para menterinya tidak boleh merangkap jabatan di partai politik. Jokowi beralasan, rangkap jabatan dapat membuat kerja menteri tidak fokus. “Satu jabatan saja belum tentu berhasil, apalagi dua,” kata Jokowi seperti dikutip kompas.com, pada Agustus 2014.

Selain komitmen melarang menterinya rangkap jabatan, dorongan agar Presiden Jokowi mengganti Airlangga Hartarto juga karena mengingat posisi ketua umum partai akan sibuk memasuki tahun politik, seperti pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019.

Airlangga sendiri mengaku menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden Jokowi perihal jabatannya di Kabinet Kerja. “Terserah Pak Jokowi,” kata Airlangga di DPP Golkar, Anggrek Neli Murni, Jakarta Barat, Rabu (13/12/2017).

Saat ditanya kembali kemungkinan dirinya akan mundur dalam waktu dekat, Airlangga Hartarto pun hanya menjawab singkat “nanti.”

Dalam banyak kesempatan, Presiden Jokowi hanya menjawab diplomatis saat ditanya soal Airlangga Hartarto yang siap maju sebagai ketua umum Golkar. Jokowi menyebut hal tersebut merupakan persoalan internal partai beringin dan dirinya tidak akan ikut campur.

Namun, apakah boleh Airlangga Hartarto kelak merangkap jabatan sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan Menteri Perindustrian, Presiden Jokowi justru mempertanyakan yang mau merangkap jabatan tersebut siapa. “Ini urusan internal partai Golkar saja belum rampung, kok ngerangkap [jabatan]” kata Jokowi seperti dilansir laman setkab.go.id, 29 November lalu.

Jejak Airlangga

Sebagai politikus partai beringin, Airlangga Hartarto memiliki karier yang cukup cemerlang, bahkan namanya sudah digadang-gadang sebagai ketua umum Golkar sejak Munaslub Golkar di Bali pada Mei 2016. Saat itu, ia bersaing dengan Setya Novanto, Ade Komarudin, Mahyudin, Priyo Budi Santoso, Aziz Syamsuddin, Indra Bambang Utoyo hingga Syahrul Yasin Limpo. Namun, saat itu Airlangga gagal karena hanya mendapat 14 suara.

Akan tetapi, kekalahan tersebut tidak membuat karier politik Airlangga Hartarto redup. Setya Novanto yang terpilih dalam Munaslub Golkar di Bali pada Mei 2016 mempercayakan jabatan Koordinator Bidang Perekonomian DPP Golkar kepada Airlangga Hartarto. Ia bahkan ditunjuk sebagai perwakilan partai beringin di Kabinet Kerja Jokowi-JK.

Sebelum menjadi Menteri Perindustrian pada 27 Juli 2016, suami dari Yanti K Isfandiary ini pernah tercatat sebagai anggota DPR RI selama tiga periode, yaitu 2004-2009, 2009-2014, dan 2014-2019 (mundur pada 2016 karena ditunjuk sebagai menteri).

Penunjukan Airlangga Hartarto sebagai menteri perindustrian tidak terlepas dari bergabungnya partai beringin dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Airlangga sendiri bukan orang yang awam di sektor industri. Ayahnya, Ir. Hartarto merupakan Menteri Perindustrian ternama di era Presiden Suharto. Ia juga tercatat sebagai seorang pengusaha dengan kerajaan bisnis di berbagai macam bidang. Airlangga adalah pemilik dari PT. Graha Curah Niaga (distributor pupuk) dan Pemimpin Umum Harian Suara Karya. Ia juga menjabat sebagai Presiden Komisaris di PT. Ciptadana Asset Management (manajemen investasi) dan PT. Fajar Surya Wisesa Tbk (produsen kertas).

Pekerjaan Rumah Sektor Industri

Dengan dua jabatan penting yang diembannya, Airlangga harus memecah perhatiannya antara mengurus politik dan kementerian perindustrian. Padahal, sektor industri Indonesia sedang membutuhkan perhatian yang cukup besar. Berdasarkan data Statistik Indonesia 2017, laju pertumbuhan industri Indonesia pada 2016 tidak begitu memuaskan. Misalnya, pertumbuhan industri pertanian, kehutanan, dan perikanan pada 2016 tercatat 3,25 persen, padahal pada 2015 mencapai 3,77 persen.

Hal yang sama juga terjadi dalam laju industri pengolahan atau manufaktur. Misalnya, pada tahun 2015 tercatat 4,33 persen, turun menjadi 4,29 persen pada tahun 2016. Sementara dalam industri pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah, dan daur ulang turun drastis, yaitu 2015 mencapai 7,07 persen, turun menjadi 3,60 persen pada 2016. Begitu juga dalam laju industri konstruksi, yaitu 6,36 persen pada 2015, turun menjadi 5,22 persen pada 2016.

Akan tetapi, dalam laju pertumbuhan industri pertambangan dan penggalian mengalami kenaikan. Pada 2015 tercatat -3,42 persen, naik menjadi 1,06 persen pada 2016. Pertumbuhan yang cukup menggembirakan juga terjadi dalam industri pengadaan listrik dan gas. Pada 2015 tercatat 0,90 persen, naik menjadi 5,39 persen pada tahun 2016. Industri perdagangan besar dan eceran juga tercatat naik, yaitu 2,59 persen pada 2015 menjadi 3,93 persen pada 2016.

Begitu juga dengan industri transportasi dan pergudangan yang naik dari 6,68 persen pada 2015 menjadi 7,74 persen pada 2016. Hal yang sama juga terjadi dalam industri penyediaan akomodasi dan makan minum, yaitu 4,31 persen pada 2015 dan 4,94 persen pada 2016.

Tahun ini, Kementerian Perindustrian menargetkan pertumbuhan industri sebesar 5,4 persen. “Sampai akhir tahun kita harapkan bagus ya. Semoga bisa sampai 5,4 persen,” kata Sekjen Kementerian Perindustrian, Haris Munandar, seperti dikutip Antara pada 5 Oktober lalu.

Haris menyampaikan, Indeks Daya Saing yang dipublikasikan World Economic Forum (WEF) berdampak positif terhadap industri, sehingga diharapkan pertumbuhannya semakin membaik hingga akhir tahun.

Airlangga menyampaikan, Kementerian Perindusrtrian bertekad memacu pertumbuhan industri pengolahan non migas di tengah kondisi perekonomian global yang masih sulit.

Melalui deregulasi yang dilakukan pemerintah, diharapkan mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif serta memudahkan para pelaku industri berusaha di Indonesia. “Kami optimistis pertumbuhan industri nasional pada semester selanjutnya dapat lebih baik lagi seiring implementasi berbagai paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah,” kata Airlangga.

Akan tetapi, target pertumbuhan industri yang diinginkan Menteri Perindustrian tidak akan tercapai jika fokus dari Airlangga Hartarto sebagai pimpinan Kementerian Perindustrian justru terpecah saat ia ditunjuk sebagai Ketua Umum DPP Golkar menggantikan Setya Novanto.

Karena itu, dorongan agar Menteri Perindustrian tidak boleh merangkap jabatan ketua umum partai patut dipertimbangkan, apalagi pada 2018 dan 2019 merupakan momentum politik yang banyak menyita perhatian Airlangga sebagai ketua umum sebuah partai yang membidik kemenangan.

Baca juga artikel terkait MUNASLUB GOLKAR atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz