tirto.id - Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) kembali menyebut nama Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) saat membacakan surat tuntutan perkara dugaan tindak pidana korupsi e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto.
"Andi Agustinus alias Andi Narogong menawarkan kepada terdakwa I Irman dan terdakwa II Sugiharto Kalau berkenan Pak Irman nanti bersama Pak Giarto akan saya pertemukan dengan Setya Novanto lalu terdakwa I tanya buat apa? dijawab oleh Andi Agustinus. Masak nggak tahu Pak Irman? Ini kunci anggaran ini bukan di Ketua Komisi II, kuncinya di Setya Novanto dibalas oleh Terdakwa I," kata JPU KPK Wawan Yunarwanto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (22/6/2017).
Lebih lanjut jaksa menjelaskan, untuk menindaklanjuti kesepakatan itu, beberapa hari kemudian para terdakwa bersama-sama dengan Andi Agustinus dan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraini bertemu dengan Setya Novanto sekitar pukul 06.00 WIB di Hotel Gran Melia Jakarta. Dalam pertemuan itu Setnov menyatakan dukungannya dalam pembahasan anggaran proyek penerapan e-KTP.
"Guna mendapatkan kepastian mengenai dukungan Setya Novanto tersebut, beberapa hari kemudian Terdakwa I [Irman] dan Andi Agustinus menemui Setya Novanto di ruang kerjanya di Lantai 12 Gedung DPR RI. Dalam pertemuan tersebut Terdakwa I dan Andi Agustinus meminta kepastian kesiapan anggaran untuk proyek penerapan KTP Elektronik. Atas pertanyaan tersebut, Setya Novanto mengatakan ini sedang kita koordinasikan, perkembangannya nanti hubungi Andi," ungkap jaksa.
Menurut jaksa, atas bantuan Setnov itulah, konsorsium PNRI yang terdiri atas Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo dan PT Sandipala Artha Putra bisa memenangkan proyek e-KTP dengan nilai kontrak sebesar Rp5,841 triliun.
Dia melanjutkan hingga 2 Agustus 2012, Sugiharto telah melakukan pembayaran tahap 1-3 pada tahun 2011 serta pembayaran tahap 1-2012 yang seluruhnya berjumlah Rp1,979 triliun.
Berdasarkan keterangan Andi Agustinus dan Anang S Sudihardja kepada Sugiharto, sebagian uang yang diterima tersebut diberikan kepada Setya Novanto dan anggota DPR lainnya yang kemudian memicu perselisihan antara Andi Agustinus dengan Anang karena tidak bersedia memberikan uang lagi.
Atas perselisihan itu, kata Wawan, Irman akhirnya memerintahkan Sugiharto mengadakan pertemuan dengan Andi Agustinus dan direktur utama PT Quadra Solution Anang S Sudihardjo di Senayan Trade Center untuk mencari solusi atas perselisihan tersebut, namun keduanya tidak mencapai kesepakatan.
"Oleh karena itu Andi Agustinus marah sambil mengatakan. Kalau begini saya malu dengan SN (Setya Novanto), ke mana muka saya dibuang, kalau hanya sampai di sini sudah berhenti," ungkap jaksa.
Berdasarkan fakta-fakta hukum itu, jaksa akhirnya menyimpulkan bahwa pertemuan antara para terdakwa, Andi Agustinus, Diah Anggraini dan Setya Novanto di hotel Gran Melia menunjukkan adanya pertemuan kepentingan (meeting of interest).
Menurut jaksa, pertemuan tersebut adalah perbuatan permulaan untuk mewujudkan delik, karena pada dasarnya setiap orang yang hadir dalam pertemuan tersebut menyadari bahwa pertemuan tersebut bertentangan dengan hukum serta norma kepatutan dan kepantasan.
"Terlebih lagi pertemuan tersebut dilakukan di luar jam kerja yakni pukul 06.00 WIB serta adanya upaya yang dilakukan oleh Setya Novanto untuk menghilangkan fakta yakni dengan cara memerintahkan Diah Anggraini agar menyampaikan pesan kepada terdakwa I jika ditanya oleh penyidik KPK agar menjawab tidak mengenal Setya Novanto," tegas jaksa.
Dalam perkara ini terdakwa I yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman dituntut 7 tahun dan pidana denda sejumlah Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sejumlah 273.700 dolar AS dan Rp2,248 miliar serta 6.000 dollar Singapura subsider 2 tahun penjara.
Sedangkan terdakwa II mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto dituntut 5 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp400 juta subsider 6 bulan serta kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp500 juta subsider 1 tahun penjara.
Keduanya dinilai terbukti bersalah berdasarkan dakwaan kedua dari pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yaitu menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp2,3 triliun.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto