tirto.id - Satu hari pada 2008, Maria Roche, 36 tahun, mengalami hal aneh saat berada di dalam mobil. Roche yang kala itu menjadi penumpang tiba-tiba merasa mobil yang ditumpanginya hendak menabrak kendaraan lain yang terparkir di pinggir jalan. Ia pun merasa ketakutan dan panik.
“Saya mengalami kondisi yang disebut proprioception (merasa suatu objek terlihat sangat jauh atau sangat dekat),” kisah Roche seperti dikutip Telegraph. “Karena itu saya merasa kami akan menabrak mobil-mobil yang sedang parkir, atau ditabrak bus yang datang dari belakang. Saya pun menangis selama perjalanan,” kata Roche.
Belakangan Roche mengetahui apa yang dirasakannya merupakan gejala fobia dalam kendaraan. Fobia yang dirasakan saat menjadi penumpang disebut amaxophobia, selain itu ada pula fobia mengendarai mobil yang disebut vehophobia.
Cerita mirip datang dari Lucy White, 44 tahun, yang mengalami masalah serupa. Ia merasa ketakutan dan cemas saat bepergian dengan mobil. Fobia itu semakin menjadi saat ia hamil anak pertamanya.
“(Fobia) itu semakin menjadi masalah setelah saya mengandung anak pertama,” kata Lucy. “Seperti ada rasa tanggung jawab, merasa bahwa saya berkewajiban menjaga anak saya tetap hidup,” imbuh Lucy.
Pengidap fobia berkendara, seperti dikemukakan Psychology Today, biasanya memiliki masalah fobia lain. Mereka merasa panik dan takut kehilangan kontrol pada kendaraan yang bisa berakibat pada kecelakaan.
Kepanikan itu menimbulkan berbagai gejala, seperti tubuh berkeringat, gemetar, denyut nadi meningkat, kehilangan pikiran rasional, dan hilang kontrol. Penderita vehophobia dan amaxophobia kesulitan untuk mengatasi masalah tersebut, sehingga berakhir pada rasa frustrasi yang biasanya diluapkan lewat tangisan.
Mereka yang mengidap amaxophobia atau vehophobia sebisa mungkin menghindari bepergian menggunakan mobil. Biasanya mereka memilih naik kereta atau bersepeda jika bepergian jarak dekat. Mereka akan sangat gelisah saat tidak menghindari berkendara karena dihantui berbagai perasaan menakutkan.
Penyebab Fobia Berkendara
Fobia mengendarai mobil atau menjadi penumpang mobil bisa disebabkan faktor trauma atau murni masalah psikis. Orang yang pernah mengalami atau melihat kecelakaan lalu lintas berpotensi terjangkit vehophobia dan amaxophobia. Mereka mengasosiasikan kejadian menyeramkan di masa lampau dengan keadaan aktual di dalam mobil, sehingga muncul perasaan takut.
Vehophobia dan amaxophobia bisa disebabkan oleh masalah psikis lain, seperti gangguan kepribadian, gangguan kecemasan umum, skinzofrenia, atau penyakit mental lainnya. Ketakutan yang mereka rasakan pun berbeda-beda. Ada yang takut terganggu konsentrasinya karena panik saat berada di jalan bebas hambatan, segelintir lainnya takut mengalami kecelakaan. Ada pula yang takut mengalami hal buruk lain, semacam mobil terbakar, ban pecah, dan lainnya.
Bagaimanapun bentuk gangguan yang datang, fobia berkendara bisa mengganggu aktivitas pengidapnya. Gejala vehophobia dan amaxophobia perlu ditangani oleh psikolog atau hipnoterapis.
Menukil Psychology Today, cara paling dasar yang bisa dilakukan psikolog untuk menyembuhkan pasien fobia berkendara, yaitu dengan cara meyakinkan bahwa mereka tidak akan hilang kendali dan tetap aman selama perjalanan. Penderita vehophobia sebaiknya melawan ketakutan mereka secara perlahan dan mulai rutin mengendarai mobil.
Mantan penderita vehophobia Glenda Cooper menuliskan pengalamannya melawan fobia tersebut diTelegraph. Semasa tinggal di Inggris, Cooper menutup rapat masalah fobia yang dialaminya dari orang-orang terdekat. Kala itu dia tidak begitu terbebani oleh fobianya, karena masih ada transportasi umum atau sepeda yang bisa ditunggangi untuk bepergian.
Sampai di satu momen, Cooper dan suami memiliki agenda liburan bersama keluarga besarnya di Perancis. Perjalanan itu akan ditempuh menggunakan mobil pribadi, dan sang suami yang akan menyetir. Cooper khawatir sang suami akan keletihan jika harus mengemudi sepanjang jarak lebih dari 800 kilometer. Ia pun berinisiatif untuk mengentaskan ketakutannya dan mulai belajar mengemudi.
Singkat cerita, setelah mendapatkan pelatihan dari instruktur berpengalaman Cooper dapat mengendarai mobil tanpa dihantui kepanikan dan rasa takut. Cooper ingat, saat kali pertama menjalani kursus mengemudi, ia merasa tenang karena rasa takutnya teralihkan oleh percakapan dan arahan dari instruktur wanita yang mendampinginya.
Vehophobia yang dialami Cooper kemungkinan masih dalam tahap ringan atau sedang. Sebab, untuk kasus fobia berkendara yang sudah parah, penyembuhan tidak cukup hanya dengan metode belajar mengemudi biasa.
Dijelaskan Sebastian Sanchez Marin dari Autonomous University of Barcelona dalam studi berjudul “Evaluating the Effectiveness of A Program Designed to Overcome The Fear of Driving or Amaxophobia” (2014), metode kursus mengemudi reguler tidak efektif untuk menurunkan level fobia berkendara seseorang. Pengidap Vehophobia dan Amaxophobia sebaiknya diberikan edukasi psikologis tentang cara-cara melawan rasa takut.
Dalam studinya, Sanchez melibatkan 96 pasien penderita fobia berkendara. Di tahap awal, para pasien diberikan tes awal untuk mengetahui seberapa parah level fobia mereka. Hasil tes tersebut diberi skor antara 15-60 yang merepresentasikan tingkat fobia. Skor 15-25 menunjukkan pasien tidak mengalami fobia, skor 26-35 menunjukkan fobia ringan, skor 36-39 level fobia sedang, skor 40-50 berarti fobia cukup parah. Jika skor yang didapatkan antara 51-60, pasien divonis fobia sangat parah.
Sanchez kemudian membagi pasien ke dalam dua kelompok, masing-masing 48 orang. Kelompok pertama dilabeli grup eksperimental dan kelompok kedua menjadi grup kontrol. Dari hasil pengetesan awal, selisih skor rata-rata kedua grup sangat tipis, grup eksperimental 49,52 dan kontrol grup 49,50.
Grup pertama mendapatkan penanganan berupa terapi psikologis untuk membantu mereka menghapus pikiran-pikiran irasional dan rasa khawatir berlebihan yang menimbulkan perasaan takut. Setelah itu pasien di grup pertama menjalani kursus mengemudi dengan instruktur terlatih. Sementara, grup kedua hanya menjalani kursus mengemudi dengan instruktur biasa yang tidak terlatih menangani fobia.
Hasilnya, skor rata-rata di grup pertama turun menjadi 22,27. Sejumlah 85,7 persen (42 orang) di grup pertama berhasil menurunkan skor fobia mereka menjadi 25 poin atau kurang dari itu. Hanya enam orang dari grup pertama yang masih mengalami fobia. Sebaliknya, skor rata-rata di grup kedua hanya turun sedikit menjadi 49,12.
Studi tersebut menunjukkan, orang-orang yang sudah mengalami fobia berkendara kategori parah tidak bisa disembuhkan hanya dengan latihan mengemudi secara rutin. Jika dipaksakan, hal itu bisa menjadi bahaya karena mereka belum bisa menghilangkan ketakutan dan kepanikan, sehingga rawan mengalami kecelakaan.
Editor: Suhendra