Menuju konten utama

Musim Pemborosan Liga Inggris

Liga Inggris banyak mencetak rekor di tahun ini. Salah satunya adalah pembelian Paul Pogba oleh Manchester United. Pembelian mahal oleh klub-klub Inggris membuat Liga Inggris kali termasuk yang paling boros.

Musim Pemborosan Liga Inggris
Pemain Manchester United Zlatan Ibrahimovic merayakan dengan Paul Pogba setelah mencetak gol kedua saat pertandingan Manchester United vs Southampton di Old Trafford, Ingris. [Foto/Reuters/Jason Cairnduff]

tirto.id - Satu miliar pounsterling, bayangkan, satu miliar poundsterling! Uang tunai sebanyak itu jika dihamparkan bisa-bisa dianggap Syahrini taman bunga untuk ditiduri. Kalau dirupiahkan, pecahan koin seratus peraknya bisa dipakai menenggelamkan Singapura.

Apakah seluruh dunia kagum akan kedigdayaan keuangan klub-klub Inggris dan memuji keberanian mereka belanja pemain, atau justru menertawakannya karena terlalu banyak menghambur-hamburkan uang seolah sedang memberi pakan dedak di kolam ikan?

Sulit menahan godaan untuk tidak jatuh pada kesimpulan terakhir ketika Manchester United memecahkan rekor transfer pemain termahal di dunia untuk gelandang yang belum benar-benar terbukti dan teruji di level tertinggi sepakbola. Paul Pogba memang secara luas dianggap sebagai gelandang paling mengesankan di generasinya, pemain yang tidak hanya bisa meremajakan penampilan United tetapi juga mengerek penjualan merchandise di masa-masa mendatang. Tapi banyak pihak menganggap harga £ 89 juta terlalu mahal untuk Pogba.

Bahkan Paul yang lain, yang lebih dahulu menjadi legenda United dan bos lini tengah United era Alex Feguson, Paul Scholes, menyesalkan pembelian tersebut dan menilai Pogba belum pantas jadi pemain termahal di dunia. "Untuk uang sebesar itu, Anda menginginkan seseorang yang semusim bisa mencetak 50 gol atau lebih seperti Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi," kata Scholes. "Pogba masih jauh dari layak atas harga itu."

Tapi manajer United saat ini, Jose Mourinho, membelanya dengan baik. “Jika Anda bertanya kepada saya apakah itu terlalu mahal, saya pikir sepakbola mulai menggila, dan pasar [pemain] mulai menggila." kata Mou. "Tapi apa yang di musim ini Anda pikir gila, tiga tahun lagi bakal tidak gila lagi."

Sulit membantah klaim bahwa klub-klub Liga Inggris di musim panas ini telah jatuh dalam sejumlah kelalaian finansial, atau berhenti pada rencana jangka pendek belaka—dan sejumlah sebutan lain. Dari transfer Pogba saja, Mino Raiola, agen sang pemain, menangguk untung £ 20m. Begitulah klub sebesar United dikacangi. Selain tetap berboros-boros memburu pemain, sebab tak bisa menjual, Manchester City meminjamkan beberapa nama besar milik mereka ke klub lain, seperti Joe Hart, Samir Nasri, dan Eliaquim Mangala—pemain yang dua tahun lalu mereka beli dengan harga £ 32 juta. Ditambah lagi, City masih harus menanggung gaji Mangala dan kawan-kawan selama di klub peminjam.

Menurut angka Deloitte, biaya transfer kotor dari Inggris ke klub luar Inggris musim panas ini mencapai sekitar £ 720 juta. Tapi tunggu dulu, perhitungan Deloitte, £ 720 juta yang dikirim ke luar negeri itu hanya 62 persen dari total belanja mereka. Sedangkan pada musim panas lalu angkanya mencapai 67 persen. Jadi, meski lebih boros daripada musim sebelumnya, klub-klub itu tampaknya berperilaku sedikit lebih bijaksana untuk keuangan domestik.

Namun demikian, kata masuk akal tetap saja tidak bisa mewakili aktivitas belanja mereka yang gila-gilaan dan seperti berlomba-lomba memecahkan rekor transfer mereka sendiri.

Sejak musim 1992/1993, yang menjadi tonggak awal rebranding Liga Primer, segala yang terjadi di sepak bola Inggris terlihat seperti gelembung. Didorong oleh industrialisasi yang membawa uang segar dalam jumlah menakjubkan, terbukanya kran penghasilan dari siaran televisi, kedatangan pemain-pemain bintang dan manajer-manajer hebat dan para pemilik klub baru yang mengucurkan jutaan dolar, diskusi tentang masa depan Liga Inggris cukup sering berubah menjadi perdebatan penuh keprihatinan mengenai gelembung yang bisa meletus kapan saja.

Sepakbola pun bisa memakan dirinya sendiri, itu yang dikatakan banyak pengamat ketika Blackburn Rovers menjuarai liga pada tahun 1995 dengan biaya dari seorang fan kaya bernama Jack Walker dan pada musim-musim berikutnya prestasi mereka terus melorot hingga sekarang berada di papan bawah Championship—liga kelas dua di Inggris, di bawah Liga Primer. Begitu pula ketika prestasi Leeds United melesat lalu tenggelam—kini nasibnya sebelas-dua belas dengan Blackburn.

Hingga tibalah kita pada tahun 2016 dan semua klub Liga Primer Inggris unjuk kekayaan dengan belanja gila-gilaan, menghambur-hamburkan uang jauh lebih banyak daripada musim-musim sebelumnya. Sekilas, gelembung itu tampaknya terbuat dari sesuatu yang tak akan pernah meletus. Tapi siapa yang bisa menjamin?

Menurut Amy Lawrence, kolumnis The Guardian, Liga Primer saat ini menyerupai Brexit dalam sepakbola. "Klub Inggris masih ingin berbisnis dengan klub mancanegara, tetapi di saat bersamaan mereka telah menciptakan pasarnya sendiri dengan nilai yang kelewat berlebihan," tulis Amy.

Arsene Wenger, pelatih Arsenal yang berlatar belakang di bidang ekonomi, punya pandangan dan sikap menarik dalam menghadapi intrik keuangan mutakhir di sepakbola Inggris. Ia sama sekali tidak terkesan dengan perilaku klub raksasa yang merusak harga pasaran pemain dengan jor-joran dalam menawar. "Anda punya dua pasar di Eropa, satu untuk klub Inggris dan satu lagi untuk seluruh Eropa," katanya. "Ketika pembelinya adalah klub Inggris, nilai transfer akan naik dua kali lipat, atau tiga atau lima atau kadang-kadang hingga sepuluh kali lipat. Jika klub Inggris tidak mengejar satu pemain, harganya £ 5 juta saja, tapi jika klub Inggris ikut mengejar, harganya jadi £ 35 juta, £ 40 juta atau £ 50 juta."

Ini membuat uang jutaan pound terlihat seperti taruhan di meja judi. Dan pada akhirnya, menimbulkan masalah ketika pembelian mahal dan gaji yang besar itu tidak berdampak apa-apa untuk tim. Apa yang harus dilakukan terhadap para pemain mahal dan gagal bersinar dan tak diinginkan lagi? Dengan tinggal di sebuah pasar yang terpisah dengan seluruh Eropa, hampir mustahil menjual pemain tersebut dengan harga yang pantas. Itulah yang terjadi pada Manchester City yang tidak bisa menjual Eliaquim Mangala, Samir Nasri, dan Joe Hart.

Terbukti, pembelian boros benar-benar tidak menguntungan ketika tiba saatnya untuk menjual. Sesekali memang muncul pemain sekaliber Gareth Bale yang menggoda klub terbaik Eropa lain untuk memperebutkan tanda tangannya. Tapi itu jarang terjadi, dan rasanya seperti menendang-nendang bola sambil menunggu Godot.

Seperti diakui oleh Mourinho, pasar pemain di musim transfer kali ini memang gila. Tapi tepatkah ramalan Mou: yang dianggap gila tahun ini akan menjadi biasa saja tiga tahun lagi? Jika gelembung itu meletus, semuanya akan terdengar lebih gila.

Baca juga artikel terkait OLAHRAGA atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Olahraga
Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti