tirto.id - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan tidak menaikkan tarif dasar listrik (TDL) pada triwulan I 2019 (Januari-Februari). Kebijakan ini berlaku bagi konsumen listrik subsidi dan non-subsidi.
Keputusan ini cukup spekulatif mengingat asumsi makro Kementerian ESDM selama September-November 2018, memberi sinyal bahwa kenaikan TDL adalah pilihan yang perlu dipertimbangkan. Sebab, rata-rata nilai tukar dan Indonesia Crude Price (ICP) selama 3 bulan itu, telah mencapai Rp14.914 per dolar AS dan 71,81 dolar AS per barel.
Namun, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Andy Noorsaman Sommeng mengatakan lembaganya tetap tidak akan menaikkan tarif dasar listrik, bahkan hingga akhir 2019.
Alasannya, kata Sommeng, pemerintah tengah memprioritaskan harga listrik yang terjangkau sehingga daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi tetap terjaga.
“Kalau harga tidak naik, kan, itu membuat masyarakat tenang. Kami itu mau jaga competitivness negara kita,” kata Sommeng kepada reporter Tirto.
Sommeng juga menilai keputusan pemerintah ini tidak akan berdampak pada keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang pada 2018 mengalami kerugian. Sommeng justru mengklaim keputusan untuk tidak menaikkan TDL sudah mempertimbangkan keadaan PLN.
Menurut dia, selama PLN tetap dapat beroperasi dengan ketersediaan listrik yang cukup dan harga yang terjangkau, maka hal itu ia anggap sudah cukup baik.
Apalagi, kata Sommeng, harga bahan bakar primer untuk produksi listrik seperti minyak dan gas, serta batu bara sedang mengalami penurunan. Kondisi itu, kata Sommeng, dapat membuat PLN bekerja lebih efisien.
“PLN itu public utility company. Tidak bisa disamakan dengan profit company. Kalau untungnya dikit, tapi masyarakat bisa berproduksi, bekerja ya itu dia,” kata Sommeng.
Executive Vice President Corporate Communication and CSR PT PLN, I Made Suprateka mengafirmasi pendapat Sommeng. Menurut dia, upaya menjaga harga listrik terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan harga jual industri dalam negeri dan daya beli.
Meski demikian, I Made membenarkan bila tidak naiknya TDL tentu akan berdampak pada pendapatan yang diterima PLN. Belum lagi kehadiran PLN sebagai BUMN tentu memiliki porsinya untuk mengejar untung sebagaimana korporasi pada umumnya.
PLN, kata I Made, memiliki tugas untuk menjangkau daerah-daerah yang belum menikmati listrik seperti Indonesia bagian tengah dan timur. Karena itu, kata dia, posisi PLN sebagai korporasi tidak dapat diukur dari pencapaian keuntungan semata.
“Kalau pengaruh [ke pendapatan] ya sudah pasti. Tapi jangan hanya melihat keuntungan atau laporan laba-rugi PLN saja, tolong lihat bahwa kami juga berusaha agar semua masyarakat terjangkau listrik,” kata I Made.
TDL Berpengaruh pada Daya Beli
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah memaklumi keputusan pemerintah yang tidak menaikkan TDL.
Sebab, kata Piter, kenaikan TDL akan berdampak buruk pada inflasi dan daya beli masyarakat. Akibatnya, dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang 60 persennya bergantung pada konsumsi masyarakat.
Lagi pula, kata Piter, anggaran subsidi listrik di APBN 2019 meningkat menjadi Rp62,11 triliun dari Rp47,77 triliun pada 2018. Selain itu, kata Piter, PLN tidak serta merta menanggung kerugian saat terdapat selisih harga keekonomian dan TDL karena celah itu ditutup oleh subsidi.
Hanya saja, kata Piter, kerugian dapat dirasakan PLN jika pemerintah lambat mencairkan dana subsidi itu. Sebab, PLN harus menalangi pengeluaran langsung untuk operasional, sementara subsidi digelontorkan sebagai penggantinya.
Karena itu, Piter mendesak pemerintah untuk memperlancar pencairan subsidi agar tidak menyulitkan keuangan PLN walaupun hanya bersifat sementara.
“Masalahnya pemerintah sering lambat mencairkan itu. Pemerintah harus paham cash flow PLN. Kalau tidak, kondisi keuangan PLN akan terganggu meski sementara,” kata Piter.
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Institue for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa. Ia memaklumi bila melalui keputusan itu pemerintah ingin meminimalisir dampak ekonomi kepada masyarakat.
Selain itu, Fabby juga melihat pemerintah telah menerapkan kebijakan harga batu bara untuk kebutuhan domestik (DMO). Dengan porsi 60 persen bahan bakar primer listrik, maka ongkos produksi dapat ditekan hingga 15-20 persen.
Hal itu pun, kata dia, masih didukung dengan penyertaan modal negara (PMN) saat PLN menyalurkan listrik penugasan ke desa-desa. “Hal-hal itu dilakukan agar finansial PLN tidak terganggu,” kata Fabby.
Namun, Fabby mengingatkan agar pemerintah tetap mewaspadai kenaikan harga minyak dan pelemahan kurs rupiah lantaran biaya produksi primer listrik dibayar dengan dolar.
Saat ini, Fabby memperkirakan biaya produksi PLN sudah lebih tinggi atau paling tidak sama dengan TDL. Artinya, kata Fabby, jika berpikir soal keuangan PLN, maka pemerintah harusnya menaikkan tarif dasar.
Namun, kata Fabby, pada tahun politik ini pemerintah tidak akan gegabah menaikkan TDL.
“Saya melihat pemerintah berusaha agar PLN enggak rugi-rugi banget saat melayani listrik. Tapi, kan, intinya enggak mau kehilangan dukungan politik ya,” kata Fabby.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz