tirto.id - Juli, 1974. Sore itu, publik memenuhi stadion Olimpiade Munchen untuk menyaksikan laga final Piala Dunia yang mempertemukan Jerman Barat dan Belanda. Antusiasme penonton tak bisa dibendung, mengingat dua tim dianggap sebagai representasi entitas sepakbola yang ideal.
Belanda datang dengan kepercayaan diri yang tinggi. Anak asuh Rinus Michels ini bermain secara menawan, menggunakan pendekatan sepakbola menyerang yang kelak dikenal dengan Total Football. Di bawah komando Johan Cruyff, yang sepanjang turnamen tampil bak manusia setengah dewa, Belanda sukses menggasak Argentina, Jerman Timur, sampai Brasil tanpa sekalipun kebobolan.
Sementara tuan rumah sendiri bermain dengan cukup tertatih-tatih. Mereka sempat kalah melawan saudara kandungnya, Jerman Timur, di babak penyisihan grup. Kekalahan itu bikin mental anak-anak Helmut Schon terpuruk. Kendati demikian, Jerman Barat sukses mencapai babak final dengan mengalahkan Yugoslavia, Swedia, serta Polandia.
Di lapangan, Belanda bermain begitu baik. Saking baiknya, mereka membuat Jerman Barat terlihat seperti tim kelas dua. Dominasi Belanda membuahkan hasil manakala Johan Neeskens mencetak gol pertama lewat titik putih.
Usai turun minum, Jerman Barat berbenah. Mereka tak ingin menanggung malu di rumahnya sendiri. Alur bola pun dikuasai Jerman Barat. Usaha keras Jerman rupanya tak berkhianat. Dua gol sukses disarangkan ke gawang Belanda sekaligus membalikkan keadaan. Keunggulan Jerman tak berubah sampai peluit akhir babak dibunyikan.
Kemenangan Jerman Barat kian mengukuhkan status mereka sebagai tim adidaya, meneruskan capaian positif dua tahun sebelumnya ketika mereka sukses mengangkat trofi Piala Eropa selepas menghantam pasukan Uni Soviet. Di waktu yang sama, prestasi Jerman Barat juga bisa dibaca sebagai wujud kedigdayaan lain dari Bayern Munchen mengingat dalam final tersebut, enam dari sebelas pemain inti berasal dari Die Bavaria.
Mereka adalah Franz Beckenbauer, Uli Hoeness, Hans-Georg Schwarzenbeck, Paul Breitner, Sepp Maier, dan Gerd Müller.
Dominasi yang Lama
Perjalanan Munchen untuk menguasai panggung sepakbola dimulai pada musim kompetisi 1965 ketika mereka berhasil nangkring di posisi ketiga Bundesliga dan sukses merebut trofi DFB Pokal. Di musim berikutnya, Munchen berhasil memboyong Piala Winners Eropa, mengalahkan Glasgow Rangers dengan skor tipis, 1-0.
Pada 1969, saat tongkat kepelatihan dipegang Branko Zebec, Munchen akhirnya dapat merasakan gelar liga pertamanya. Prestasi Munchen tambah lengkap setelah mereka juga sukses membawa Piala DFB ke rak koleksi trofi.
Memasuki warsa 1970-an, Munchen semakin tak bisa dihentikan. Bersama Udo Lattek, mantan asisten Helmut Schon di Piala Dunia 1966, Munchen meneruskan tren positif: kembali juara Bundesliga serta mengangkat Piala Champions untuk kali pertama━mengalahkan Atletico Madrid empat gol tanpa balas pada 1974.
“Udo bisa sekeras paku, tapi dia lebih banyak berperan sebagai seorang teman. Suatu hari, ia bahkan ikut minum-minum dengan kami. Ia seperti pemain ke-12,” kata kiper Munchen, Sepp Maier, sebagaimana diwartakan situs UEFA.com.
Udo tak lama bertahan di Munchen. Namun, prestasi Munchen terus berdatangan. Pengganti Udo, Dettmar Cramer, sukses mengantarkan Munchen dua kali menjuarai Liga Champions pada 1975 dan 1976. Masing-masing mengalahkan Leeds United (Paris, 2-0) serta St. Etienne (Glasgow, 1-0).
Di Liga Jerman, Munchen bukannya tanpa perlawanan. Sepanjang 1970-1980-an, Munchen dihadang secara sengit oleh Borussia Monchengladbach. Dalam kurun waktu tersebut, kedua tim ini saling sikut, baik di tingkat domestik maupun regional.
Ketika Munchen juara pada musim 1968-1969, misalnya, Gladbach segera merespons dengan menjadi tim pertama yang memenangkan dua gelar Bundesliga secara back-to-back, 1969 & 1970, sebelum akhirnya ditiru oleh Munchen tiga musim berikutnya. Gladbach lagi-lagi membalas dominasi Munchen dengan menjuarai liga secara hattrick, dari 1974 sampai 1977. Pada saat yang sama, Munchen justru bersinar di Eropa: tiga kali membawa Piala Champions ke rumah.
Rivalitas kedua klub ini rupanya tak sekadar di lapangan. Kedua klub, mengutip laporan ESPN, dianggap mewakili dua hal yang bertolak belakang: Munchen adalah klub selatan yang masyarakatnya konservatif. Sedangkan Gladbach merepresentasikan kawasan utara yang muda dan modern. Pertarungan Munchen-Gladbach pada akhirnya digambarkan lewat dua sosok sentral: Franz Beckenbauer dan Gunter Netzer.
Determinasi: Kunci Sukses Munchen
Kesuksesan Munchen menguasai panggung Jerman dan Eropa pada dekade 1970-an tidak bisa dilepaskan dari deretan pemain yang berkompeten.
Di posisi penjaga gawang, Munchen punya sosok Sepp Maier, yang selalu tampil cekatan dan lincah. Di depan Maier, ada Hans-Georg Schwarzenbeck yang dikenal militan dan punya daya tarung luar biasa. Lalu, di pos gelandang, Paul Breitner yang flamboyan itu sudah berdiri dan bersiap menyisir lapangan demi menciptakan peluang-peluang emas.
Akan tetapi, pemain yang dianggap memberi kontribusi besar bagi kejayaan Munchen pada masa itu adalah Franz Beckenbauer dan Gerd Muller. Nama pertama adalah pemimpin, simbol, penjaga keseimbangan, dan seorang libero sejati yang nantinya mendapatkan sebutan “Der Kaiser” oleh publik Jerman.
Untuk nama kedua sendiri merupakan bomber kelas wahid yang mampu mencetak 40 gol dalam satu musim Bundesliga edisi 1972. Breitner, kepada Blizzard UK, menyebut gol-gol Muller adalah “penentu kemenangan.”
Di Munchen, para pemain ini bersatu dalam formasi 1-3-3-3, yang menjadikan stabilitas alur bola sebagai prioritas serta menyediakan ruang lebih untuk posisi libero yang diperankan (dengan sangat fasih) oleh Beckenbauer.
Berbeda dengan Total Football milik Belanda dan Ajax Amsterdam, formasi yang dimainkan Munchen lebih mengedepankan bola-bola direct: fokus ke area pertahanan lawan, disiplin, serta tak peduli permainan indah. Bagi Munchen: kemenangan adalah yang utama.
Para pemain ini, dari Maier, Schwarzenbeck, Breitner, Beckenbauer, Müller, serta Hoeness, kemudian membentuk “poros emas” (“golden axis”) yang tak cuma berkontribusi pada kejayaan Munchen, melainkan juga keberhasilan Jerman dalam menjuarai Piala Eropa 1972 dan Piala Dunia 1974.
“Tidak ada resep khusus untuk kesuksesan kami,” terang Franz Roth, mantan anggota “poros emas” Munchen, kepada The Guardian. “Bermain dengan tim yang tak berubah selama lima atau enam tahun memberikan kami sikap saling memahami satu sama lain. Selain itu, sangat membantu juga bahwa kami semua berasal dari Munich atau daerah terdekat, sehingga kami bisa berbagi mentalitas maupun cinta yang sama untuk klub. Dan kami memiliki tiga pemain terbaik di dunia di posisi masing-masing.”
Editor: Nuran Wibisono