tirto.id - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengaku tidak pernah menugaskan organisasi masyarakat (ormas) manapun--termasuk Front Pembela Islam--untuk melakukan sweeping. MUI bahkan tidak menoleransi ormas yang melakukan sweeping atau pembersihan paksa atribut keagamaan non-Islam.
Berbicara dalam konferensi pers di Gedung MUI, Jakarta, Selasa (20/12/2016) Ketua Umum MUI Ma'ruf Amin menyampaikan, "Sejak dahulu, sekarang, kapanpun, MUI tidak akan memberikan toleransi kepada masyarakat dan ormas untuk melakukan eksekusi dan sweeping."
Kendati demikian MUI terutama menyoroti langkah sweeping ormas yang beralasan mengawal Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim yang diterbitkan pada 14 Desember 2016.
Dalam fatwa itu MUI memutuskan bahwa menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram dan tindakan mengajak atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim juga adalah haram.
Salah satu pertimbangan penerbitan fatwa tersebut, menurut MUI, adalah laporan dari masyarakat mengenai penggunaan atribut keagamaan non-Islam kepada muslim, dalam kasus ini atribut Kristen menjelang perayaan Hari Raya Natal.
"Ormas mestinya hanya melakukan sosialisasi dan edukasi pada masyarakat terkait fatwa tersebut," ucap Ma'ruf.
Ma'ruf meminta pemerintah dan instrumen resminya melindungi masyarakat dan mencegah terjadinya pemaksaan untuk pemakaian atribut keagamaan non-muslim kepada pemeluk Islam.
Kapolri Perintahkan Tindak Tegas Pelaku Sweeping
Sementara itu, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol Tito Karnavian menegaskan ormas bukan penegak hukum sehingga tidak seharusnya melakukan sweeping.
"Ormas tidak boleh melakukan langkah upaya paksa dengan alasan penegakan fatwa. Mengawal fatwa untuk sosialisasi dan berkoordinasi dengan pemerintah boleh. Akan tetapi, kalau melakukan langkah sendiri tidak boleh," kata dia.
Tito mengatakan jika pelaku sweeping tidak bersedia dibubarkan, maka aparat kepolisian dapat mengenakan Pasal 218 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dia menegaskan aparat kepolisian jangan ragu menindak sekelompok orang yang melakukan sweeping atau melakukan sosialisasi sweeping. Jika setelah dibubarkan pelaku sweeping melawan, maka mereka dapat tangkap sesuai aturan hukum.
"Kalau ada petugas (kepolisian) yang terluka ancamannya tujuh tahun, pelaku bisa ditahan. Jangan ragu-ragu," ucap Tito.
Sementara itu menurut Wapres Jusuf Kalla, fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan hukum positif Indonesia dan organisasi kemasyarakatan (ormas) tidak bisa melakukan tindakan sewenang-wenang.
"Aturan (MUI) itu aturan agama, selalu untuk diri sendiri sehingga penegakan hukumnya dosa dan neraka, bukan sweeping," kata Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden Jakarta Pusat, Selasa (20/12).
Wapres menilai aksi sweeping hanya bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum dan bukan oleh ormas. "Tidak bisa, ormas tidak bisa melakukannya (penegakan hukum), itu fungsi polisi," katanya.
Wapres RI menambahkan ormas harus mengerti bahwa fatwa MUI itu tidak mengikat, bahkan untuk umat Islam karena hubungannya antara pribadi dengan Tuhannya. "Kalau ada yang melanggar, ya melanggar hukum agama, ada hukumnya, dosa dan neraka," kata dia.
Oleh karena itu, Wapres mengimbau agar aparat penegak hukum yang sah, yakni Polri untuk menindak ormas yang melakukan razia sewenang-wenang.
Sumber: diolah dari Antara