tirto.id - Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Saadi menegaskan MUI tidak menganjurkan umat Islam menikah siri karena tidak berdasar hukum atau pengakuan negara. Nikah siri juga rentan terjadi sengketa berkepanjangan.
“MUI mengimbau masyarakat agar menikah secara resmi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” jelas Zainut di Jakarta, Senin (25/9/2017), seperti dikutip Antara.
Ia juga berujar meskipun nikah siri disahkan secara agama, namun pernikahan tersebut tetap tidak memiliki kekuatan hukum. Jika nikah siri dilakukan, maka akan menyebabkan kerugian bagi istri maupun anak di kemudian hari, karena tidak berdasar hukum.
Pernikahan seperti itu, lanjutnya, seringkali menimbulkan dampak negatif bagi istri dan anak yang dilahirkan. Hal-hal yang merugikan di antaranya perihal hak-hak mereka seperti nafkah ataupun hak kewarisannya.
Jika ingin menuntut pemenuhan hak-hak tersebut, juga seringkali mengalami sengketa, karena tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.
Guna menghindari kemudaratan, MUI sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi di instansi yang berwenang. Zainut mengatakan pernikahan di bawah tangan atau nikah siri dapat disahkan hukumnya apabila memenuhi syarat dan rukun nikah.
Adapun rukun pernikahan dalam Islam antara lain dihadiri pengantin laki-laki, pengantin perempuan, wali, dua orang saksi laki-laki, mahar sekaligus ijab dan kabul.
Meski begitu, pernikahan tetap bisa dapat dikatakan haram apabila menimbulkan mudarat (dampak negatif), kata dia.
Sebelumnya, MUI juga telah mengeluarkan fatwa tentang pernikahan siri sesuai hasil keputusan Ijtima Ulama se-Indonesia ke-2 di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur tahun 2006.
MUI sendiri berpandangan tujuan pernikahan itu sangat luhur dan mulia yaitu mengangkat harkat dan martabat manusia yang tidak sekedar memenuhi kebutuhan nafsu dasar manusia saja atau kebutuhan seks semata. Selain itu, pernikahan juga dipandang sebagai sebuah institusi.
“Pernikahan merupakan institusi yang sakral yang harus dijaga dan dipelihara. Tidak boleh direndahkan dan dijadikan sebagai komoditas perdagangan semata. Jika hal tersebut terjadi maka sama halnya merendahkan nilai-nilai kemanusiaan,” tutup Zainut.
Penulis: Nicholas Ryan
Editor: Dipna Videlia Putsanra