Menuju konten utama
Tarikh

Muhammad Tumbuh Saat Makkah Berada di Masa Jaya "Kapitalisme" Niaga

Nabi Muhammad tumbuh dewasa ketika Makkah kian maju karena perniagaan. Masyarakat menjadi semakin materialistis dan eksploitatif.

Muhammad Tumbuh Saat Makkah Berada di Masa Jaya
Ilustrasi kafilah niaga di jazirah Arab. Tirto.id/Sabit

tirto.id - Para nabi besar muncul dari kota-kota, bukan dari tempat-tempat terpencil. Begitu pula Nabi Muhammad. Ia hidup kala Makkah sedang berjaya sebagai kota niaga di jazirah Arab.

Orang sering menyalahpahami bahwa Islam adalah agama yang lahir di gurun pasir dengan kesan seakan-akan Islam muncul dari daerah terisolasi. Pendapat ini benar sebagian, tapi mengandung lebih banyak kekeliruan. Makkah, bagaimanapun juga, saat itu telah terhubung dengan jaringan perdagangan di sekitar Mediterania bagian timur dan terkoneksi dengan peradaban-peradaban besar di sekitarnya.

Hingga sekitar akhir abad ke-5, sebagian besar orang Makkah masih hidup nomaden dengan tradisi suku-suku yang kental. Tapi kondisi geopolitik yang terjepit di antara tiga imperium besar memaksa orang-orang Makkah lebih berhati-hati dan mengasah keterampilan di bidang perniagaan. Tujuan utamanya agar kota ini tetap independen serta bebas dari eksploitasi kekuatan-kekuatan besar di sekitarnya.

“Suku Quraish di Makkah sangat sibuk dalam perdagangan dan karavan yang terorganisasi, yang membawa barang-barang antara Makkah dan pusat perdagangan di Yaman, Arab Timur, dan Syria Selatan,” catat sejarawan Fred M. Donner dalam Muhammad dan Umat Beriman: Asal-Usul Islam (2015: 41).

Banyak penduduk Makkah, dalam waktu yang relatif cepat, kemudian menjadi sangat kaya berkat perniagaan. Seturut bertambah makmurnya Makkah, orang-orang menjadi semakin cinta kepada uang, materi, dan kekayaan pribadi. Mereka kini tak lagi merasakan kemiskinan akut atau kelaparan atau diserang suku-suku lain seperti ketika mereka masih hidup nomaden.

Bertambahnya kekayaan juga mendorong keserakahan, materialisme, dan individualisme. Beberapa klan di Makkah terlibat konflik berkepanjangan. Persaingan ekonomi menyebabkan banyak orang meninggalkan tradisi komunal suku yang sudah berlangsung sangat lama. Klan-klan yang kuat secara ekonomi bisa sangat berkuasa dan dengan mudah menyingkirkan klain lain yang lebih lemah. Uang menjadi berhala lain yang disembah.

“Etika suku lama memang mempengaruhi pesan al-Qur’an, namun agama baru ini (Islam) pertama kali diterima suku Arab Mekkah di suatu atmosfir kapitalisme dan materialisme tinggi,” tutur Karen Armstrong dalam Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (2011: 74).

Penggunaan istilah ‘kapitalisme’ oleh Armstrong memang problematis dan anakronistis. Kapitalisme seperti yang dikenal di zaman modern tidak bisa begitu saja disamakan dengan apa yang terjadi di masa pramodern. Kafilah-kafilah niaga Makkah juga bukan kapitalis dalam pengertian sebenarnya.

Tapi barangkali Armstrong memakai istilah tersebut untuk menggambarkan pencarian kapital (kekayaan) yang penuh ketamakan dan keadaan eksploitatif ketika si kuat begitu mudah menindas si lemah. Dalam konteks itu, tidak ada istilah lain yang lebih memadai untuk mendeskripsikannya dalam satu kata.

Ketamakan dan eksploitasi itu bisa terlihat ketika orang-orang berduit di Makkah tak mau lagi membagi kekayaan secara merata untuk anggota-anggota klan dan menimbun kapital hanya untuk mereka sendiri. Kaum kaya juga merampas hak-hak anak yatim dan janda dengan cara, sebagaimana diungkap Armstrong, “menyerap warisan mereka ke dalam kekayaan sendiri dan tidak merawat anggota-anggota suku lain yang lebih miskin dan lemah.”

Bani Hasyim, klan asal Nabi Muhammad, adalah salah satu klan yang terpinggirkan dalam persaingan sengit di bawah “kapitalisme” Makkah. Beberapa anggota klan Hasyim memang sukses sebagai saudagar, tapi lebih banyak orang yang terdesak.

Interpretasi Armstrong bahwa transisi Makkah menuju kapitalisme niaga mendegradasikan tradisi kesukuan lama dan menjadi penyebab utama munculnya Islam merupakan narasi dominan di kalangan sarjana Barat pengkaji Islam. Orang pertama yang menyuarakan pendapat ini adalah W. Montgomery Watt, orientalis asal Skotlandia, dalam dua bukunya yang termasyhur: Muhammad at Mecca (1953) dan sekuelnya, Muhammad at Medina (1956). Dua buku itu kemudian dirangkum dalam sebuah jilid ringkas bertajuk Muhammad: Prophet and Statesman (1961). Armstrong, meski tidak secara jelas menyebut sumbernya, sepertinya hanya meneruskan hipotesis Watt tersebut.

Narasi itu nyaris tidak mendapat kritik akademis yang kuat hingga pada 1987 Patricia Crone menerbitkan Meccan Trade and the Rise of Islam. Patricia Crone adalah sejarawan yang di awal kariernya melakukan terobosan metodologis dengan menolak penggunaan sumber-sumber tradisional dari kalangan Islam karena sumber-sumber itu dianggap tidak faktual dan tidak akurat. Dari sinilah kemudian lahir mazhab revisionisme di kalangan pengkaji Islam di Barat. Dalam Meccan Trade, Crone mengkritik keras sekaligus membantah pendapat Watt di atas (hlm. 231-237).

Salah satu poin bantahan Crone adalah barang-barang dagangan yang dijual di Makkah bukan benda mewah yang bisa menjadikan banyak orang kaya dalam waktu relatif cepat. Apa yang diperjualbelikan di kota itu hanyalah benda-benda kebutuhan biasa. Karena itu tidak mungkin perniagaan di Makkah bisa menyebabkan pergeseran kultur kesukuan yang masif. Islam, menurut Crone, tetap lahir dari rahim masyarakat tribal.

Tapi betapapun tajamnya perdebatan di kalangan orientalis itu, yang jelas, Muhammad tumbuh dewasa dengan latar belakang Makkah yang hiruk-pikuk oleh aktivitas ekonomi dan eksploitasi manusia atas manusia yang mengiringinya. Karena itu, salah satu ajaran pokoknya kelak ketika menjadi nabi berkisar tentang perlawanan terhadap penindasan. “Jangan menindas dan jangan mau ditindas,” sabdanya pada suatu kali.

==========

Pada Ramadan tahun ini redaksi menampilkan sajian khusus bernama "Tarikh" yang ditayangkan setiap menjelang sahur. Rubrik ini mengambil tema besar tentang sosok Nabi Muhammad sebagai manusia historis dalam gejolak sejarah dunia. Selama sebulan penuh, seluruh artikel ditulis oleh Ivan Aulia Ahsan (Redaktur Utama Tirto.id dan pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta).

Baca juga artikel terkait TARIKH atau tulisan lainnya dari Ivan Aulia Ahsan

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Irfan Teguh