tirto.id - “Sebelum lebaran kita harapkan sudah bisa dipakai. Oleh sebab itu saya ingin memastikan kesiapannya. Tetapi kalau melihat seperti ini saya kira insya Allah akan siap.”
Harapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlontar tepat dua bulan lalu saat melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Terminal 3 Ultimate Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta), Rabu sore, 11 Mei 2016. Jokowi ditemani Menteri BUMN Rini Soemarno, Dirut Garuda Indonesia Arif Wibowo, dan Dirut Angkasa Pura II (AP II) Budi Karya.
Pada saat kunjungan Jokowi itu, proses pembangunan Terminal 3 masih mencapai 98 persen dan diharapkan dapat diselesaikan kurang dari sebulan.
“Ini sudah 98 persen. Harapan kita 26 Mei itu konstruksi selesai. Garuda masih memiliki waktu uji coba selama 2 minggu. Kami akan mengusulkan kepada Bapak Presiden tanggal 15 Juni (untuk diresmikan),” kata Budi Karya dikutip dari laman presidenri.go.id.
Pada waktu itu, seolah tak ada masalah yang menghinggapi rencana pengoperasian terminal ini. Sehingga sempat ada keyakinan dari AP II sebagai pengelola bisa mengoperasikan terminal ini jelang musim mudik 2016. Namun, mendekati batas waktu target beroperasi, muncul beragam masalah. Peresmian Terminal 3 ini akhirnya dibatalkan.
Padahal, terminal ini sangat ditunggu-tunggu karena gencarnya pemberitaan seputar kemewahannya. Terminal 3 ini memiliki luas bangunan 422.804 meter persegi dengan kapasitas total 25 juta penumpang per tahun. Terminal ini memiliki 28 gates yang terdiri dari 10 gate penerbangan internasional dan 18 gate penerbangan domestik. Terminal ini akan menjadi “markas” besar bagi penumpang Garuda Indonesia.
Fasilitas di Terminal 3 ini cukup mewah.
Misalnya sistem pengelolaan bagasi otomatis atau baggage handling system, check in area berbentuk delapan pulau, area parkir dengan kapasitas ribuan kendaraan. Selain itu, ada jembatan layang yang terhubung dengan rencana kereta bandara. Dari berbagai fasilitas ini sangat wajar menempatkan Terminal 3 Ultimate Soekarno-Hatta sebagai sebuah terminal yang megah dan mewah.
Ditunda Demi Keamanan
Target AP II memang awalnya cukup meyakinkan, tapi fakta rupanya berkata lain. Menjelang detik-detik terakhir target pengoperasian, kesiapan terminal ini dinilai masih jauh dari segala aspek. Pengoperasian tersebut belum mendapat restu dari Kemenhub karena masih banyak yang harus dibenahi terkait aspek teknis keselamatan, keamanan serta pelayanan penerbangan.
Beberapa aspek-aspek yang perlu dibenahi oleh AP II maupun Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI/Airnav Indonesia), yaitu sistem navigasi penerbangan yang perlu menggunakan sistem tambahan, seperti Airport Surface Movement Ground Control System (ASMGCS) dan sub tower. Sarana ini membantu pengawasan area apron, landasan pacu (runway) dan landasan hubung (taxiway) terminal 3 yang tidak terlihat dari menara ATC.
Sistem ASMGCS harus ditingkatkan dari level 1 menjadi level 2. Alasannya jika hanya level 1, kemampuannya hanya bisa memonitor pesawat yang ada di ground. Namun bila sudah level 2, mampu mendeteksi jarak pergerakan pesawat di depan dan belakang serta memantau kendaraan yang lain, seperti kendaraan catering, push back, ground handling dan sebagainya.
Selain itu, ada catatan terhadap jaminan ketersediaan listrik, sistem pengolahan sampah dan limbah, yang harus disiapkan prosedur standar operasinya (SOP). Dari catatan-catatan ini, terlihat jelas pemerintah tidak mau mengambil risiko yang mengancam keselamatan, di tengah upaya besar untuk mewujudkan nirkecelakaan atau "zero accident" selama masa musim mudik 2016.
"Kami tidak mau Garuda Indonesia sebagai satu-satunya maskapai yang beraliansi global Sky Team, citranya menjadi turun lagi karena pelaksanaan pengoperasian Terminal 3 yang kurang maksimal," kata Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenhub Hemi Pamurahardjo dikutip dari laman Kemenhub.
Setelah beberapa rekomendasi itu, pihak Angkasa Pura II harus melakukan perbaikan. Setelah itu, Kemenhub, akan melakukan verifikasi ulang terhadap kelayakan Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno Hatta yang rencananya dimulai hari ini (11/7/2016) untuk verifikasi administratif. Selanjutnya akan ada verifikasi lapangan dimulai tanggal 18 Juli 2016.
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub juga membentuk tim terpadu untuk mendorong rencana pengoperasian Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno Hatta. Tim tersebut terdiri dari Direktorat Jenderal Jenderal Perhubungan Udara, PT Angkasa Pura II, Perum LPPNPI, dan PT Garuda Indonesia.
Setelah proses verifikasi tuntas, tim terpadu baru bisa menentukan tanggal operasi terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. Penundaan pengoperasian terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta ini jadi bukti bahwa regulator penerbangan di dalam negeri tak gegabah. Faktor keselamatan penerbangan memang harus menjadi pijakan utama bagi penyelenggara pengelola bandara. Hal-hal kecil dan sepele harus mulai dibenahi meski butuh waktu dan proses yang tak mudah, seperti rencana menghapus ruang VIP di bandara-bandara daerah yang dimulai tahun ini. Tujuannya cuma satu demi keselamatan penerbangan di Indonesia.
Keamanan di Ruang VIP
Rencana menghapus ruang VIP di bandara-bandara daerah sudah muncul pada akhir tahun lalu. Kemenhub hanya memberikan dua pilihan bagi pengelola bandara dan pemerintah daerah, yaitu ruang VIP ditutup atau dibenahi. Untuk opsi pertama, ruang VIP ditutup sehingga para pejabat harus rela keluar-masuk bandara melalui jalur umum seperti penumpang lainnya. Sedangkan pada opsi kedua, pemerintah daerah (pemda) harus memenuhi standar keamanan ruang VIP seperti upaya sterilisasi penumpang dengan alat X-Ray, dan menyediakan petugas Aviation Security (Avsec).
“Gedung terminal VIP yang terpisah dari terminal utama diperbolehkan sepanjang mendapat sertifikasi avsec dari ditjen hubud, supaya kualitas sterilnya sama dengan terminal non VIP,” tegas Menhub Jonan kepada tirto.id. Rabu (4/5/2016)
Gagasan menghapus ruang VIP bandara bukan hanya sesumbar sang menteri. Kementerian perhubungan jauh-jauh hari ingin memastikan proses kegiatan di bandara-bandara steril dari potensi pelanggaran dan gangguan keamanan di area vital. Ruang VIP yang dibangun pemerintah daerah di bandara sering dianggap menjadi zona yang tak steril untuk sebuah kegiatan penerbangan. Kasus bom di Bandara Brussels, Belgia dan Bandara Ataturk, Istanbul, Turki beberapa waktu lalu jadi pelajaran berharga, bagaimana bandara yang ketat diawasi saja bisa kecolongan.
Upaya sterilisasi sudah dilakukan sejak akhir tahun lalu. Pada November 2015, Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub mengeluarkan surat edaran yang isinya memerintahkan kepada pihak pemda, pengelola bandara hingga aircraft catering, aircraft cleaning service, dan aircraft maintenance service meningkatkan keamanan dari “lampu hijau” jadi “lampu kuning” dengan mematuhi prosedur keamanan bandara.
“Pemda diminta untuk ikut bertanggung jawab terhadap keamanan gedung VIP, jika gedung VIP tidak memiliki fasilitas keamanan penerbangan, penumpang wajib melalui pemeriksaan di terminal keberangkatan bandara,” jelas surat edaran tersebut.
Dari 297 bandara sipil di Indonesia yang berstatus internasional dan domestik, yang dikelola BUMN, pemerintah pusat, tak semuanya ruang VIP sudah dilengkapi alat keamanan seperti X-Ray. Mayoritas ruang VIP berada terpisah dari ruang terminal penumpang utama. Padahal setiap bawaan penumpang angkutan udara harus diperiksa sesuai dengan UU No 1 Tahun 2009 tentang penerbangan, juga Peraturan Menteri Perhubungan No 127 tahun 2015 tentang program keamanan penerbangan nasional.
Kemenhub ingin menegakkan aturan tersebut. Mereka memberi waktu hingga Desember 2016 agar para pemda berbenah. Bagi pemda yang belum siap dengan ruang “karpet merah” yang tak steril, maka Kemenhub akan mengambil langkah tegas.
“Kalau nggak nurut, maka akan ditutup pagernya. Selesai,” kata Direktur Bandar Udara Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub Agus Santoso kepada tirto.id.
Faktor keamanan memang harus menjadi pertimbangan nomor satu termasuk dalam pemberian izin sebuah terminal bandara. Apalagi di saat bersamaan kepercayaan dunia internasional terhadap dunia penerbangan di Indonesia sedang mencapai puncaknya. Di tengah hingar bingar rencana pengeoperasian terminal 3 Soekarno Hatta yang belum siap.
Pada 17 Juni 2016, Komisi Transportasi Uni Eropa telah mencabut larangan terbang terhadap tiga maskapai Indonesia, Citilink, Batik Air dan Lion Air. Setelah keluar dari Daftar Keselamatan Penerbangan Uni Eropa, ketiga maskapai itu bisa melintasi zona penerbangan sipil di Uni Eropa. Reputasi dunia penerbangan Indonesia sempat terpuruk di mata dunia, dengan dilarangnya seluruh penerbangan Indonesia ke Eropa pada 2007 oleh Eurpoean Commission (EU banned). Pemerintah juga sedang berusaha keras untuk lolos kategori 1 Federal Aviation Administration (FAA) dan Organisasi Penerbangan Sipil Dunia (ICAO).
Saat ini standar keamanan penerbangan oleh ICAO Indonesiia mendapat nilai 94,5. Capaian yang sudah positif ini tak boleh dicederai oleh hanya sebuah harapan menyaksikan masyarakat mudik lebaran dengan terminal megah dan mewah. Harapan besar memang penting, tapi tak boleh melanggar hal genting, yaitu sebuah keselamatan yang jauh lebih penting.