tirto.id - Tahun politik 2019 nampaknya membawa kemalangan buat Badan Urusan Logistik (Bulog). BUMN yang dipimpin oleh Komjen Budi Waseso bakal kehilangan public service obligation (PSO) untuk menyalurkan beras dalam program subsidi pangan pemerintah.
Musababnya, Kementerian Sosial menginginkan agar seluruh skema natura dalam program pemberian beras sejahtera (Rastra) harus sudah diubah dalam bentuk Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) pada April mendatang.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan hingga kini perusahaannya masih meminta agar pemerintah mengembalikan skema penyaluran subsidi pangan dengan memberikan beras langung. Sebab, skema BPNT bakal membuat Bulog kehilangan pangsa pasar cukup besar.
Skema natura yang diterapkan pada program Rastra berupa penyaluran beras langsung dari Bulog ke kelompok penerima manfaat kartu keluarga sejahtera (KKS). Beras itu berasal dari beras/gabah petani yang dibeli Bulog dengan harga tinggi atau Harga Pokok Pasaran (HPP).
"Kami minta ya dikembalikan, lah. Karena kan kami masih dapat penugasan untuk penyerapan beras juga dari petani," ucapnya saat dihubungi Tirto, Rabu (27/2/2019).
Menurut Wahyudi, Bulog mempunyai beban berat untuk mendistribusikan beras-beras yang masih menumpuk di gudang. Sebab, sekitar 15,5 juta kelompok penerima manfaat yang memiliki kartu keluarga sejahtera tak lagi menerima subsidi dalam bentuk beras, melainkan transfer uang.
Itu artinya penyaluran beras Bulog untuk program Rastra yang biasanya mencapai 2,5 hingga 3,4 juta ton pertahun bakal terhenti. Di sisi lain, pemerintah masih menugaskan Bulog untuk menyerap beras petani sebanyak 1,8 juta ton di tahun 2019.
"Ketika penyalurannya kecil, stok masih besar dan harus menyerap produksi dalam negeri, yang jadi pertanyaan adalah, seberapa kuat Bulog mampu menahan ini," imbuhnya.
Beras Terancam Rusak
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Muhammad Khudori menilai bahwa transformasi Rastra menjadi BPNT di tahun 2019 bakal membuat Bulog kewalahan.
Apalagi, lanjut Khudori, Bulog masih menyisakan stok sebanyak 2,2 juta ton beras yang belum terserap di tahun 2018. Angka ini cukup fantastis sebab selama satu dekade terakhir, stok beras akhir tahun yang berada di gudang Bulog berada di kisaran 1,3 juta sampai 1,5 juta ton.
Stok akhir yang jumlahnya sangat besar itu membawa konsekuensi cukup serius. Sebab, beras merupakan komoditas yang sifatnya mudah rusak.
Jika tak ada penyaluran yang jelas, lantas akan dikemanakan beras-beras tersebut? Sementara saat ini hingga dua bulan mendatang Bulog harus menyerap beras dari petani.
"Beras itu, komoditas yang tidak bisa tahan lama. Dalam umur tertentu pasti mutunya turun. Ketika tidak ada outlet penyaluran, potensi yang di Ogan Komering Ulu, itu, beras di gudang rusak sangat besar," tutur Khudori.
Harga Rentan Bergejolak
Masalah beras Bulog tak hanya berhenti pada stok yang tak terserap, melainkan juga gejolak harga beras di pasar. Menurut Khudori, sejak BPNT diterapkan pada 2015, pemerintah kehilangan instrumen andalan untuk meredam gejolak harga serta mengendalikan inflasi.
Jika terjadi kenaikan harga, kata dia, bantuan yang disalurkan dengan skema BPNT tidak efektif membuat harga beras di pasar kembali turun. Sehingga satu-satunya instrumen yang bisa dilakukan adalah operasi pasar
Hal ini berbeda saat program Rastra masih jadi satu-satunya bantuan pangan langsung ke masyarakat. Jika masuk musim paceklik, kata Khudori, pemerintah tinggal menaikkan kuota subsidi agar harga beras yang tinggi tak laku dan dengan sendirinya harga turun.
"Kalau dulu saat ada Rastra itu enggak perlu operasi pasar," ujarya.
Khudori juga mencatat adanya kenaikan operasi pasar seiring dengan mulai diterapkannya BPNT sejak 2016. Tahun 2014 misalnya, volume beras yang dikeluarkan saat operasi pasar rata-rata hanya sebesar 147 ribu ton. Sementara di tahun 2018, volume yang dikeluarkan mencapai 544 ribu ton.
Padahal menurut Khudori operasi pasar tak selalu efektif untuk menurunkan harga beras. Di samping itu, harga beras juga yang dibandrol sangat rendah juga kerap kali banyak dinikmati oleh orang-orang dengan ekonomi berkecukupan.
"Jadi operasi pasar itu seperti menggarami air laut. Itu membuat skema ini tidak adil, karena harusnya ketika subsidi pangan atau proteksi harga, operasi pasar itu tidak ada lagi," imbuhnya.
Meski demikian, menurut Khudori, kondisi ini tak akan banyak berubah hingga musim Pilpres berakhir. Sebab, kemudahan pencairan bantuan pangan yang disertai penambahan anggaran adalah salah satu cara untuk memanjakan masyarakat demi kepentingan elektoral.
"Sepertinya tidak ada keputusan yang drastis sebelum 16 April. Dan Bulog sepertinya tunggu dulu lah sampai hasil Pilpres ketahuan," pungkasnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Gilang Ramadhan