tirto.id - Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya menangkap delapan tersangka kasus pemalsuan sertifikat dan akta tanah yang ditempati Kantor Samsat Jakarta Timur (Jaktim). Mereka yang ditangkap dalam kasus ini terdiri atas satu pelaku pemalsuan dokumen tanah dan tujuh orang ahli waris tanah itu.
Dengan bekal dokumen kepemilikan tanah palsu, mereka sempat memenangkan gugatan ke Pemprov DKI Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Gugatan itu menuntut agar ahli waris mendapat ganti rugi Rp340 miliar dari Pemprov DKI Jakarta, pemilik aset tersebut.
Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya AKBP Ade Ary Syam Indradi menjelaskan modus pelaku dalam meyakinkan tujuh ahli waris untuk menggugat Pemprov DKI dalam sengketa aset tanah benilai total Rp900 miliar itu.
Menurut Ade, pelaku utama pemalsuan sertifikat dan akta jual beli, yakni S, menjanjikan kepada tujuh ahli waris uang sebesar 25 persen dari nilai gugatan bila menang di pengadilan dan mendapatkan ganti rugi dari Pemprov DKI Jakarta.
“Ahli waris dijanjikan 25 persen dari total nilai gugatan Rp340 miliar,” kata Ade di Polda Metro Jaya, Rabu (5/9/2018). Artinya, tujuh orang ahli waris tersebut dijanjikan mendapatkan Rp85 miliar.
Ade menambahkan S mendatangi para ahli waris tanah dan mengaku mengenal dengan baik ayah mereka, yakni Ukar bin Kardi. Lantas, S menanyakan kepada mereka apakah mau merebut kembali tanah yang sudah menjadi aset Pemprov DKI itu.
Kemudian, ketujuh ahli waris yang diwakili oleh DS memberikan surat kuasa kepada notaris bernama Suratman untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada sekitar empat tahun lalu. Gugatan itu resmi tercatat dengan Nomor: 81/Pdt.G/2014/PN.Jkt.Tim.
Ade menambahkan, saat ini perkara sengketa ini belum selesai. Sebab, Pemprov DKI mengajukan banding terhadap putusan PN Jakarta Timur yang memenangkan pihak ahli waris.
Bukti Kuat Pemalsuan Dokumen Tanah
Ade Ary Syam Indradi juga menyampaikan riwayat kepemilikan tanah tempat Gedung Samsat Jakarta Timur berdiri saat ini. Dia juga menerangkan bukti kuat soal pemalsuan dokumen kepemilikan tanah itu oleh pihak yang menggugat Pemprov DKI.
Awalnya, pada April 1985, Pemprov DKI membeli tanah milik Johnny Harry Soetantyo dengan sertifikat hak milik No. 75/Cipinang Cempedak, dengan luas tanah 29.040 meter persegi.
Kemudian, pada 24 September 1992, Badan Pertanahan Negara (BPN) menerbitkan sertifikat hak pakai No. 49/Cipinang Besar Selatan atas nama Pemprov DKI Jakarta, dengan hasil ukur ulang tanah menjadi 27.510 meter persegi. Di lahan tersebut, kemudian dibangun kantor Samsat Jakarta Timur.
Akan tetapi, tersangka di kasus ini memakai akta pengikatan jual beli No. 36 bertanggal 3 April 1997 yang dibuat oleh notaris H.E. Mansoer Wiriaatmadja sebagai dasar berkas untuk menggugat Pemprov DKI. Kepolisian pun sudah memastikan bahwa akta itu palsu.
Pada setiap lembar sertifikat hak milik palsu terdapat kalimat ‘Sertifikat ini tidak diterbitkan oleh kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Timur’, seolah cap itu diberikan oleh BPN.
Ade mengatakan ketika polisi menelusuri surat tersebut, diketahui Mansoer Wiriaatmadja telah pensiun menjadi notaris karena telah mencapai usia 65 tahun sejak 4 Januari 1997. Akta jual beli itu pun tidak terdaftar dalam Buku Daftar Akta atau Repertorium.
Kepolisian menetapkan 7 ahli waris sebagai tersangka karena mereka dianggap membantu pembuatan surat kepada notaris Suratman. Selain S yang menjadi tersangka, 7 ahli waris itu berinisial M, DS, IR, YM, ID, INS, dan I.
Mereka disangka melanggat Pasal 263 tentang Pemalsuan Surat, Pasal 264 tentang Pemalsuan Akta Otentik, Pasal 266 KUHP tentang menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam sesuatu akte autentik juncto Pasal 55 KUHP dengan ancaman hukuman enam tahun penjara.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Addi M Idhom