tirto.id - Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI bergerak cepat untuk membahas perkembangan kasus Ketua DPR Setya Novanto yang diancam masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menyelenggarakan sidang, hari ini (16/11).
Agenda utama sidang ini, menurut Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad, adalah untuk menghimpun suara setiap fraksi. Sidang bukan untuk memutuskan apakah Novanto dicopot/diberhentikan dari posisinya sekarang atau tidak, meski sejumlah pihak mendesak MKD untuk melakukan langkah itu, seperti yang pernah dilakukan terhadap Ade Komarudin, 2016 lalu.
"Mari kita sama-sama menghormati proses hukum yang ada dan sedang dibahas. Tidak ada maksud tidak percaya dari DPR kepada Novanto," kata Dasco, sebelum memimpin sidang.
Anggota MKD, Muhammad Syafii, mengatakan bahwa MKD mengambil sikap untuk "menghormati hukum", dengan cara menunggu status Novanto jadi terdakwa terlebih dulu. Jika itu belum terjadi, maka pria yang juga Ketua Umum Golkar ini akan tetap jadi Ketua DPR.
"Kalau orang tersangka 'kan masih ada upaya hukum. Terbukti yang lalu [Novanto] lolos [dari status tersangka] via pra peradilan. Kan itu bisa saja terjadi lagi," katanya.
Syafii mengacu pada aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD [UU MD3]. Di sana disebutkan bahwa pimpinan DPR baru bisa dinonaktifkan kalau memang sudah berstatus sebagai terdakwa kasus tertentu.
"Pimpinan DPR diberhentikan sementara dari jabatannya apabila dinyatakan sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih," demikian isi Pasal 86 ayat (5) UU MD3, yang jadi dasar hukum utama pembahasan status Novanto.
Terkait ancaman KPK yang ingin memasukkan nama Novanto ke dalam DPO, Syafii mengatakan bahwa pemberitaan terkait hal itu "begitu kencang", padahal sampai saat ini hal tersebut baru sebatas ancaman dan belum pasti juga akan terealisasikan. "Kami tidak ikut campur di situ," katanya.
Di kesempatan berbeda, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan kalau pada akhirnya Novanto jadi terdakwa, proses pemberhentiannya pun tidak mudah. Harus dilakukan verifikasi, lagi-lagi oleh MKD.
"Mahkamah Kehormatan Dewan setelah melakukan verifikasi atas status terdakwa seorang pimpinan DPR RI berhak memutuskan untuk dilakukan pemberhentian sementara dan atau tidak dilakukan pemberhentian sementara," katanya, dalam pesan tertulis yang diterima Tirto.
Kemudian, jika MKD memutuskan Novanto diberhentikan, maka itu harus disepakati dulu melalui sidang paripurna.
"Sehubungan dengan status tersangka, penahanan, dan terdakwa terhadap salah seorang pimpinan DPR RI maka tidak akan berimbas pada pergantian sampai memiliki keputusan yang berkekuatan hukum tetap dan atau jika fraksi yang bersangkutan memilih mekanisme lain sesuai yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan," katanya.
Salah satu pihak yang mendesak MKD mencopot Novanto dari posisinya sebagai pimpinan DPR adalah Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Lucius Karus, peneliti Formappi, mengatakan bahwa hal tersebut harus segera dieksekusi untuk "menyelamatkan marwah lembaga yang tercabik-cabik ulah seorang pimpinan yang coba melarikan diri dari beban tanggung jawabnya di hadapan hukum."
Lucius menilai, hilangnya Novanto sejak tadi malam pasca memimpin Rapat Paripurna DPR adalah bukti bahwa dirinya hanya mementingkan dirinya sendiri. Ia mengatakan "sulit" untuk memahami tindakan ini dan bagaimana mungkin orang-orang terdekatnya bisa tidak tahu persis keberadaan Novanto.
Penulis: Rio Apinino