tirto.id - Hari ini Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bersidang menentukan nasib Setya Novanto sebagai ketua DPR. Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Novanto dinilai dapat menghalangi kerja pimpinan DPR.
“Hari ini MKD akan ambil sikap, saya sudah koordinasi dengan para pimpinan MKD untuk segera lakukan rapat. Karena kami memahami saat ini Ketua DPR sudah ditahan KPK,” kata Wakil Ketua MKD Sarifuddin Sudding di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (20/11) seperti diberitakan Antara.
Sudding menjelaskan berdasarkan Pasal Pasal 37 dan Pasal 87 UU No.17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) disebutkan pergantian pimpinan DPR bisa dilakukan manakala yang bersangkutan tidak melaksanakan tugasnya secara berkelanjutan atau selama tiga bulan tidak bisa melaksanakan tugasnya.
“Ada opsi, kami akan undang pimpinan fraksi-fraksi untuk meminta pandangannya terkait posisi Pak Novanto yang ditahan. Karena terbuka ruang di Pasal 83 Tatib DPR bahwa pergantian pimpinan DPR dilakukan fraksinya atas rekomendasi MKD,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Partai Hanura itu mengakui bahwa dalam UU MD3 disebutkan bahwa seorang pimpinan maupun anggota DPR diberhentikan setelah memperoleh putusan hukum tetap (inkrah) dengan ancaman selama lima tahun ke atas. Namun begitu Karding mengatakan MKD juga bisa memutuskan pemberhentian Novanto sebagai pimpinan DPR karena statusnya sebagai tersangka dan tahanan KPK juga menyangkut marwah DPR.
“Memang dalam rapat lalu terjadi perdebatan alot sehingga kami menunggu proses hukum yang dilakukan KPK dan minggu malam sudah dilakukan penahanan sehingga MKD harus ambil sikap,” katanya.
Sudding menekankan sidang MKD terkait posisi Novanto sebagai pimpinan DPR dalam rangka menjaga marwah dan kehormatan DPR.
Anggota MKD Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Maman Imanulhaq mengatakan status hukum Novanto sebagai tersangka tidak cukup menjadi alasan menggeser Novanto sebagai Ketua DPR. Ini menurutnya sesuai dengan UU MD3.
"Bahwa regulasi MD3 tidak memungkinkan itu diberhentikan dari DPR), karena harus ada status hukum tetap," ujarnya.
Meski begitu Maman mengatakan akan tetap mendengarkan masukan dari publik terkait Setya Novanto, apakah publik masing ingin tetap Setya Novanto dipertahankan jadi anggota dewan atau tidak. Maman mengatakan pihaknya juga menunggu sikap dari DPP Partai Golkar terhadap Setya Novanto, apakah ingin mencopotnya sebagai ketua DPR atau tidak.
Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Ginting menyatakan MKD sebaiknya segera mengambil sikap terhadap Setya Novanto. Ia menilai sikap Novanto yang berulangkali mangkir dari pemeriksaan KPK menjadi contoh tidak baik. "Setya Novanto tidak menunjukkan teladan yang sepatutnya sebagai Ketua DPR," kata Miko seperti dilansir dari Antara.
Selain itu, hilangnya Novanto saat akan diperiksa penyidik KPK juga perlu menjadi catatan MKD. Sebab hal itu menunjukkan sikap warga negara yang tidak taat hukum. “Tujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Mangkir hingga berkali-kali hingga menghilang saat dijemput paksa oleh KPK harus disikapi sebagai pengabaian kewajiban hukum seorang anggota DPR,” katanya.
Padahal, kata dia, kode etik dalam Pasal 2 mencantumkan bahwa "anggota bertanggung jawab mengemban amanat rakyat, melaksanakan tugasnya secara adil dan mematuhi hukum".
"Dengan pertimbangan ini, MKD perlu mengadakan sidang untuk memutuskan sikap mereka atas perilaku yang ditunjukkan oleh Setya Novanto," kata Miko
Menurutnya, proses persidangan oleh MKD itu tidak boleh mempengaruhi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan terhadap Setya Novanto. “Proses pengusutan oleh KPK adalah proses yang berbeda dengan proses di MKD. Dalam konteks ini, MKD berfungsi untuk menjaga marwah dan kepercayaan publik terhadap institusi DPR. Proses peradilan terhadap Setya Novanto sudah mulai berjalan dan seharusnya tetap berjalan secara transparan dan akuntabel,” ungkap Miko.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar