Menuju konten utama

Misi Berat Tencent Mencegah Karamnya Iflix

Akusisi Tencent atas Iflix memang masuk akal. Tapi krisis di tubuh Iflix membuatnya jadi tidak mudah.

Misi Berat Tencent Mencegah Karamnya Iflix
Gerai Tencent di Guangzhou Book Fair. FOTO/REUTERS

tirto.id - Ketika PT Telkom, penguasa hampir 60 persen pangsa internet seluler di Indonesia, mengumumkan pembukaan blokir terhadap Netflix pada 7 Juli 2020, banyak kalangan menilai kompetisi di sektor Video on Demand (VoD) tanah air sudah berakhir.

Berbekal pustaka film yang lebih luas, banjir konten eksklusif, dan opsi tarif langganan yang lebih beragam, Netflix seolah-olah tak punya kompetitor sepadan. Apalagi 3 bulan sebelumnya salah satu kompetitor mereka di ASEAN, Hooq, gulung tikar dan dilikuidasi pemerintah Singapura.

Namun kompetisi rupanya belum selesai. Dua pekan sebelum kabar pembukaan blokir Netflix tersiar, transformasi besar-besaran terjadi dalam tubuh Iflix, kompetitor lain Netflix di ASEAN.

Tencent, perusahaan konglomerasi rintisan orang terkaya Asia Ma Huateng, mengakuisisi seluruh saham platform yang berbasis di Malaysia tersebut. Nominal akuisisi memang dirahasiakan, tapi Variety menaksir transaksi itu bernilai “puluhan juta dolar AS.”

Tencent mengklaim pembelian Iflix searah dengan misi mereka untuk melebarkan sayap ke Asia Tenggara. Di Cina, platform andalan mereka—Tencent Video dan WeTV—merupakan salah satu penguasa pasar bersanding dengan iQiyi punya Baidu dan Youku, layanan besutan Alibaba.

“Ini [pembelian Iflix] sejalan dengan strategi kami untuk memperluas platform kami sebelumnya, WeTV, ke seluruh Asia Tenggara dan memberi pengguna konten internasional dan lokal berkualitas tinggi dalam berbagai genre dan bahasa,” papar juru bicara perusahaan seperti dikutip Bloomberg.

Analis modal Asia Pasifik Aequitas Research, Ming Lu, menganggap srategi Tencent sebagai manuver masuk akal. Sebab berbeda dengan WeTV, Iflix sudah punya akses legal untuk menyajikan tayangan ke 13 negara, yang 9 di antaranya adalah negara-negara Asia Tenggara.

“Tencent sebelumnya pernah mencoba melebarkan sayap ke Thailand lewat Tencent Video. Tapi itu gagal karena mereka gagal menarik banyak audiens. Dengan Iflix, Tencent bisa memperkuat pengaruhnya di Asia dan menekan iQiyi,” ujar Ming Lu.

Namun, masuk di akal tidak berarti mudah. Mengangkat pamor lewat Iflix bukanlah hal sepele lantaran perusahaan tersebut masih punya setumpuk permasalahan.

Polemik dan Krisis Duit

Batu sandungan paling baru adalah polemik tagihan pembayaran lisensi terhadap rumah produksi film asal Indonesia, Visinema Picutres. Pada awal Agustus 2020 Visinema melayangkan somasi kepada Iflix lantaran belum terbayarnya biaya lisensi senilai Rp9 miliar. Beberapa film produksi Visinema—mulai dari Filosofi Kopi hingga Love for Sale—memang terpampang di etalase Iflix dua tahun belakangan.

“Kami cukup menyayangkan hal ini dilakukan oleh pihak Iflix. Kerugian bukan saja terjadi pada Visinema Pictures, tetapi juga investor yang punya hubungan baik dengan Visinema. Melalui somasi ini kami masih menunggu itikad baik dari Iflix,” keluh CEO Visinema Angga Dwimas Sasongko dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Sabtu (1/8/2020).

Itu bukan somasi pertama. Pada September 2019 Visinema juga sempat melayangkan teguran serupa. Menurut keterangan Angga, pada 7 Juli 2020 salah satu co-founder Iflix, Mark Britt, sempat menjanjikan masalah lisensi itu akan dituntaskan dalam kurun 48 jam. Kenyataannya janji tersebut cuma omong kosong.

Visinema bukan satu-satunya yang digantung. Pada 29 Juli 2020 operator Liga Sepak Bola Malaysia (MFL) juga membongkar fakta bahwa Iflix belum membayar tagihan hak siar untuk penayangan kompetisi divisi tertinggi Negeri Harimau Malaya tersebut. Presiden MFL Datuk Hamidin Amin bilang hak siar yang belum dibayar meliputi penayangan untuk paruh kedua musim 2018 dan seluruh musim 2019. Iflix menandatangani MoU untuk lisensi MFL dengan ongkos 30 juta ringgit per musim. Artinya, total tanggungan yang belum dilunasi meliputi 45 juta ringgit atau setara Rp156 miliar.

“Kami baru saja mulai menempuh langkah hukum. Mereka [Iflix] tidak menghormati perjanjian kontrak. Saya tak bisa menjelaskan detail lebih rinci karena berkasnya kini sudah ada di pengadilan,” tegas Datuk Hamidin Amin.

Sebulan sebelum masalah MFL muncul ke permukaan, tepatnya pada 4 April 2020, Iflix melakukan PHK terhadap karyawannya. Perusahaan tak mengumumkan secara spesifik berapa korban PHK tersebut, namun laporan Nikkei Asian Review menyebut yang terdampak ada sekitar 65 pegawai.

CEO Marc Barnett menyebut PHK tersebut murni didasari kesulitan finansial perusahaan akibat COVID-19. “Industri ini tidak kebal terhadap kondisi yang serba tak terduga,” kata Barnett dalam pernyataan tertulis. “Keputusan memangkas jumlah karyawan datang setelah perusahaan melakukan pertimbangan yang cermat terkait pengurangan pemotongan biaya operasional.”

Namun masalah keuangan itu terindikasi bukan cuma karena pandemi. Aspek lain, yakni mundurnya sejumlah investor, turut jadi penyebab kian parahnya krisis di tubuh Iflix.

Elang Mahkota Teknologi alias Emtek, contohnya, telah menarik diri dari keterlibatan pendanaan Iflix sejak tahun lalu. Perusahaan yang masih terafiliasi dengan Surya Citra Media (SCTV) ini sempat mengucurkan pendanaan besar-besaran pada 2016. Belakangan, Emtek lebih memilih mengalirkan pundi-pundi uangnya ke platform besutan mereka sendiri, Vidio.com.

Salah satu investor utama Iflix sejak awal berdirinya perusahaan pada 2014, Catcha Group, juga semakin menarik diri setahun belakangan. Manuver itu mencapai puncaknya pada pertengahan April 2020 saat Patrick Grove dan Luke Eliott, dua co-founder Iflix dari lingkaran Catcha, memutuskan mundur dari manajemen.

Iflix belum mengumumkan laporan tahunan terbaru. Berdasarkan laporan terakhir yang dirilis pada pengujung 2018, perusahaan merugi 158,1 juta dolar AS.

Saat itu posisi liabilitas alias kewajiban bersih perusahaan masih berada di angka 67,6 juta dolar AS. Kemudian berjalan hingga Kuartal III/2019, perusahaan cuma bisa mengeruk tambahan pendanaan senilai 47,5 juta dolar AS, sedangkan cadangan kas perusahaan cuma tersisa 12,7 juta dolar AS.

Dengan hitung-hitungan tersebut, bila tanpa berutang atau dapat pendanaan lagi, Iflix diproyeksi cuma akan mampu berjalan hingga November 2019.

Infografik Kinerja Platform OTT Video di Indonesia

Infografik Kinerja Platform OTT Video di Indonesia. tirto.id/Quita

Target Berat

Di tengah pelbagai impitan ekonomi, Iflix bukannya tidak putar otak.

Sejak September 2019 perusahaan mencanangkan IPO di bursa Australia selambat-lambatnya Mei 2020. Namun, pandemi COVID-19 membuat hitung-hitungan tersebut runtuh seketika.

Kini di bawah bendera baru Tencent, perusahaan kembali membangun misi IPO. Marc Barnett, yang tetap dipercaya Tencent untuk berada di pos CEO, tidak menyebut spesifik target melantai di bursa. Namun Barnett mengirim sinyal tegas: Iflix menargetkan bisa mencapai Break Event Point (BEP) pada 2021.

Ekonom Insignia Ventures Yinglan Tan mengatakan target itu akan sangat sulit. Bila ingin mencapainya, IPO saja tidak cukup. Iflix, kata Yinglan, harus merombak total pendekatan mereka terhadap konsumen.

Di Asia Tenggara, pangsa pasar Iflix sebenarnya tak kecil. Bloomberg mencatat Iflix punya lebih dari 25 juta pelanggan di seluruh Asia Tenggara. Yang kemudian jadi kendala, pelanggan-pelanggan ini tidak menggunakan platform dalam intensitas tinggi.

Di Indonesia, misalnya, laporan AMPD berjudul Southeast Asia Online Video Consumer Insights & Analytics: A Definitive Study menyebut pada Kuartal I/2020 rata-rata pengguna menyaksikan tayangan Iflix 178 menit per pekan. Capaian tersebut lebih rendah dibandingkan torehan VIU ataupun Iflix.

Menurut Yinglan, jebloknya kinerja Iflik tak lepas dari inkonsistensi pendekatan mereka.

Saat awal berdiri, Iflix memakai pendekatan Subscription Video on Demand (SvoD), mirip dengan pendekatan yang dipakai Iflix dan VIU. Namun minimnya pustaka film dan konten orisinal membuat pelanggan tak betah berlama-lama mengutak-atik Iflix.

“Mereka tak bisa mencatatkan pertumbuhan basis pengguna yang cepat karena konten orisinal mereka kalah di pasaran, misalnya dibandingkan Netflix,” tutur ekonom Insignia Ventures Yinglan Tan.

Pada 2018 Iflix mengubah pendekatannya menjadi Premium Content. Beberapa layanan dapat diakses gratis, namun pelanggan bisa menikmati konten lebih banyak bila berlangganan. Nahasnya, perubahan ini belum menunjukkan dampak signifikan.

Laporan AMPD menyebutkan pada Kuartal I/2020 Iflix ditonton dalam durasi sekitar 3 miliar menit. Angka tersebut bahkan tak ada separuhnya dibanding Netflix dan Vidio.com, dua platform lain yang sama-sama ditonton lebih dari 7 miliar menit oleh pemirsa Indonesia pada periode yang sama.

Capaian Iflix juga cuma sepertiga dari torehan menit VIU, platform yang pada Kuartal I/2020 mencatatkan angka menit tonton tertinggi di Indonesia, yakni 9 miliar menit lebih.

Baca juga artikel terkait TENCENT atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Bisnis
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Ivan Aulia Ahsan