tirto.id - Harga minyak mentah dunia kembali melonjak setelah dua fasilitas minyak utama milik Saudi Aramco terkena serangan teroris. Serangan itu menyebabkan produksi minyak hingga 5,7 juta barel per hari atau lebih dari 5 persen pasokan global berhenti, sehingga meningkatkan risiko kekurangan pasokan dunia.
Saudi Aramco dalam pernyataannya mengatakan, serangan teroris telah menyebabkan gangguan pada fasilitas minyak di Abqaiq dan Khurais. Aramco tidak menyebutkan kapan fasilitas tersebut bisa mengembalikan lagi produksinya, namun Aramco tengah berusaha memulihkan produksi dan akan memberikan informasi terbaur dalam 48 jam setelah serangan.
Yang jelas, konflik yang sedang terjadi di semenanjung Arabia ini terjadi saat Aramco tengah bersiap-siap untuk melepas saham perdananya atau go public, sekaligus mencatatkan rekor sebagai IPO terbesar di dunia.
CNN, mengutip kantor berita yang dikendalikan oleh Houthi, Al Masirah. menyebut Houthi menyatakan bertanggung jawab terhadap serangan tersebut. Kelompok gerilyawan Yaman yang berafiliasi dengan Iran itu juga menyatakan sebanyak 10 drone menargetkan fasilitas minyak Aramco di Abqaiq dan Khurais.
Saudi saat ini merupakan eksportir minyak terbesar dunia. Setiap harinya, Saudi mengirimkan 7 juta barel minyak per harinya ke berbagai belahan dunia. Indonesia sendiri adalah salah satu pengimpor minyak dari Saudi. Menurut data dari trademap, Arab Saudi merupakan pemasok minyak utama bagi Indonesia, dengan nilai impor pada 2018 sebesar US$2,72 miliar.
Kementerian Luar Negeri RI (Kemenlu) menyatakan Indonesia mengecam serangan pesawat nirawak kelompok gerilyawan Houti terhadap fasilitas minyak Aramco di Arab Saudi.
"Indonesia mengecam serangan pesawat nirawak terhadap fasilitas minyak Aramco di Arab Saudi," demikian keterangan Kementerian Luar Negeri di laman resmi Kementerian Luar Negeri, seperti dilansir dari Antara.
Menurut Kemenlu, serangan tersebut membahayakan keamanan dan stabilitas kawasan serta berdampak negatif terhadap ekonomi global. Untuk itu, Indonesia menyerukan kembali dialog dan mendukung proses politik di Yaman, di bawah kepemimpinan PBB.
Menteri Energi Saudi, Pangeran Abdulaziz bin Salman mengatakan, serangan yang menyebabkan lebih dari setengah produksi Saudi berhenti berisiko membahayakan perekonomian global. Data OPEC terakhir menunjukkan, produksi minyak Saudi mencapai 9,8 juta barel per hari, setara dengan sekitar 10% dari total suplai minyak dunia.
“Serangan-serangan ini tidak hanya ditujukan untuk instalasi vital kerajaan, tetapi juga pasokan minyak global dan keamanannya dan tentu memunculkan ancaman pada ekonomi global,” kata Pangeran Aziz, seperti dilansir dari CNN.
Harga Minyak Melonjak
Akibat serangan tersebut, bursa saham Saudi langsung anjlok pada perdagangan Minggu (15/9/2019). Sebelumnya, pergerakan bursa Saudi sudah berada dalam tren menurun karena valuasi yang tinggi, harga minyak yang lemah, dan kekhawatiran seputar pelemahan ekonomi.
Tak ketinggalan, harga minyak langsung melonjak lebih dari 15 persen ke titik tertingginya dalam empat bulan, pada pembukaan perdagangan Minggu (15/9/2019). Seperti dilansir dari Reuters, harga minyak berjangka Brent melonjak lebih dari 19 persen ke titik tertingginya di US$71,95 per barel saat pembukaan. Adapun, minyak berjangka AS melonjak 15 persen ke titik tertingginya di US$63,34 per barel. Kedua harga itu merupakan yang tertinggi sejak Mei.
“Abqaiq mungkin fasilitas paling penting untuk suplai minyak dunia. Harga minyak akan melonjak akibat serangan ini,” kata Jason Bordoff, founding director Center on Global Energy Policy dari Columbia University, seperti dilansir dari CNN.
Namun, tren kenaikan harga minyak mulai sedikit melambat dengan kisaran kenaikan hanya 12 persen setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan akan memberikan otorisasi untuk pelepasan minyak dari Strategic Petroleum Reserve (SPR) jika diperlukan untuk mencukupi kebutuhan menyusul kerusakan fasilitas minyak Saudi akibat serangan teror.
Analis menyatakan, perkembangan harga minyak selanjutnya akan tergantung pada kapan pemulihan produksi di Aramco. Diyakini, produksi tidak akan pulih dalam 1-2 hari ke depan, akan tetapi dalam beberapa pekan ke depan.
Catatan Kenaikan Harga Minyak
Aramco belum bisa memastikan kapan produksinya bisa pulih. Menteri Energi Saudi mengatakan bahwa pihaknya akan berupaya untuk memulihkan produksi yang hilang tersebut, dan mengumumkan perkembangannya dalam dua hari ke depan. Sumber dari CNN menyebut, Aramco memiliki cadangan sebanyak 200 juta barel yang disimpan di Amsterdam, Jepang, dan Cina.
Pasokan dari Saudi merupakan salah satu yang paling penting di dunia. Segala perkembangan di negara tersebut, selalu memberikan dampak signifikan terhadap pergerakan harga minyak mentah dunia.
Data Statista menunjukkan, harga minyak melonjak mendekati 100 pada 2008, tepatnya di kisaran US$94,1 per barel. Harga kemudian surut selama dua tahun, sebelum melonjak lagi menembus US$107,46 per barel pada 2011.
Harga naik lagi pada tahun berikutnya, di level US$109,45 per barel. Setelah itu terus turun, dan mencapai titik terendahnya pada tahun 2016, saat harga mencapai US$40,76 per barel. Harga secara perlahan naik ke kisaran US$60-70 per barel.
Menurut catatan dari Business Insider, lonjakan harga minyak pada tahun 2008 terjadi akibat membaiknya perekonomian Asia, terutama Cina. Di saat yang sama, Saudi menghadapi penurunan produksi. Sementara lonjakan harga minyak pada tahun 2011 terjadi akibat perang di Libya yang mengganggu pasokan minyak dari Timur Tengah.
Setelah itu, harga cenderung turun seiring temuan dari shale oil dari Amerika Serikat yang menyebabkan dunia kelebihan suplai. Harga minyak yang terus merosot, ditambah dengan persaingan produksi dari shale oil AS menyebabkan ekonomi Saudi mengalami tekanan. Saudi pun memutuskan untuk melakukan diversifikasi ekonomi, guna memeroleh pendapatan di luar minyak.
Editor: Ringkang Gumiwang