tirto.id - Seorang pria berlari dengan cepat dan menabrakkan diri ke kaca belakang mobil dengan brutal. Badannya tertancap di potongan-potongan kaca. Ia tak mengaduh kesakitan meski sekujur tubuhnya penuh dengan pecahan kaca. Pria itu kemudian malah bangkit dan kembali berlari, menaiki atap mobil yang sedang berjalan. Ia terus bertahan sampai akhirnya terjatuh karena tak kuat menahan laju mobil. Tuhuhnya yang berlumuran darah terpental menabrak tembok. Ia belum merasa kesakitan, bahkan kembali bangkit, berlari, dan kembali menabrakkan diri, mengulang adegan pertama.
Kisah berhanti pada tokoh seorang wanita tanpa busana yang berdiri di atas truk kontainer di sebuah jalan raya nan padat. Ia menggeram dan meracau tak tentu arah. Di jalan raya yang lain, seorang pria tiba-tiba berlari menghampiri sebuah mobil yang sedang melaju kencang dan menabrakkan diri hingga kaca depan mobil tersebut pecah. Setelahnya, ia mengambil sepeda yang diparkir di pinggir jalan dan membantingnya ke arah mobil tersebut sambil juga menggeram dan berjalan patah-patah dengan tangan menjuntai layaknya zombie. Mengerikan!
Anda tidak sedang membaca resensi sebuah buku horor atau thriller tentang zombie atau sejenisnya. Kisah di atas merupakan potongan dari cerita efek yang dihasilkan oleh narkoba jenis baru, “Flakka” yang sempat menjadi perbincangan dan viral karena efek yang dihasilkan oleh korbannya. Coba saja ketik Flakka di YouTube, maka Anda akan menemukan penggalan-penggalan cerita yang sangat mengerikan.
Di Amerika, narkoba jenis ini menyasar pada kaum menengah ke bawah. Untuk mendapatkannya pun tak perlu banyak merogoh kocek, hanya $6 saja, atau sekitar setara dengan Rp78 ribu saja. Kandungan dalam flakka sebenarnya hampir sama dengan kandungan yang terdapat pada setiap narkotika, hanya saja, dosis yang ada dalam narkoba jenis baru ini lebih tinggi dari yang lain.
Dr Benny Ardjil Sp.Kj, spesialis kedokteran jiwa dan minat khusus adiksi narkoba mengurai apa yang terdapat dalam kandungan narkoba yang berbentuk gravel atau kerikil akuarium ini. Menurutnya, bahan senyawa aktif kimia yang disebut alpha-PVP merupakan zat utama pembentuk flakka. Zat ini merupakan stimulan yang merangsang naiknya hormon dopamin.
“Efeknya sama seperti methapethamine dan kokain, menaikkan dopamin ke tingkatan tinggi. Tapi sebenarnya semua jenis narkoba memang begini cara kerjanya, hanya saja mungkin jenis baru ini lebih tinggi dosisnya,” ujar Benny kepada tirto.id, Minggu (17/10/2016).
Dopamin, yang merupakan semacam neurotransmitor ini apabila melonjak jumlahnya di dalam otak maka efek yang ditimbulkan akan membuat korbannya tidak sadarkan diri, berbicara ngelantur, agresif, dan berteriak-teriak. Persis sama dengan orang yang menderita sakit jiwa, di mana kadar dopamin dalam tubuhnya juga meningkat drastis.
“Zat stimulan ini juga terdapat pada daun katinon atau ghat yang sempat diladangkan di daerah puncak,” tambahnya.
Awalnya, flakka diproduksi sebagai obat sintetis pada 2012. Namun, obat ini kemudian dilarang karena para dokter kesulitan menentukan dosis yang pas, kini peredarannya sudah mendunia lantaran murah meriah dan siapapun sanggung membeli. Di Indonesia, flakka belum terendus kehadirannya. Namun, Drug Enforcement Administration (DEA) Amerika Serikat sudah memberikan peringatan negara-negara lain akan kehadiran narkoba jenis baru ini.
Tak Berpayung Hukum
Indonesia tentu juga perlu waspada dengan kehadiran narkoba jenis baru yang membuat penggunanya seperti zombie ini. Apalagi, diketahui banyak peredaran narkoba jenis baru seperti flakka yang belum terdeteksi hukum di Indonesia. Kita tentu belum lupa, kasus yang pernah menjerat artis sekaligus presenter Raffi Ahmad pada 2013 silam, ketika ia diciduk oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) lantaran diketahui telah mengonsumsi zat menyerupai narkoba yang dicampur dengan minuman bersoda.
Saat itu, Raffi hanya menjalani masa karantina sebab zat yang ditemukan belum masuk dalam golongan narkoba jenis manapun. Pihak kepolisian pun baru mulai meneliti dan kemudian menggolongkan zat yang diklaim Raffi tersebut sebagai obat penambah energi. New Psychoactive Substance (NPS), atau yang lebih akrab disebut narkoba jenis baru memang semakin banyak beredar. Para produsennya bahkan lebih senang mengutak-atik jenis sintetis untuk terlepas dari jerat hukum yang ada di berbagai negara.
Menurut data dari United Nation Office on Drugs and Crime (UNDOG), narkoba ditemukan dikonsumsi pada 70 negara di dunia dengan sekitar 251 merupakan NPS, 43 jenis di antaranya beredar di Indonesia dan hanya 18 jenisnya yang sudah bisa dideteksi negara ini. Kepala BNN, Budi Waseso pernah mengungkapkan bila jenis yang belum terdeteksi di Indonesia tersebut dikonsumsi, maka bisa jadi tidak akan ada sanksi hukum yang menjerat pemakainya.
Dalam kasus Raffi ini, misalnya, penegak hukum berpegang pada salah satu asas hukum pidana, yakni asas legalitas di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyebutkan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana jika telah ditentukan terlebih dulu dalam suatu ketentuan perundang-undangan.
Tak mau kecolongan, walau belum mengatur beberapa jenis NPS, para pengedar NPS di Indonesia tetap bisa dijerat pasal pidana, hanya saja, pasal yang digunakan tak menyoal tentang narkoba. “Bisa dicari celahnya dengan Undang-undang Kesehatan, karena termasuk bahan yang merusak kesehatan,” ujar Kombes Pol Slamet Pribadi, Kepala Humas BNN DKI Jakarta kepada tirto.id.
Selain mencari celah dengan menggunakan dasar perundangan yang lain, jeratan pidana juga dapat digunakan ketika hakim memakai dasar hukum di luar undang-undang untuk memutus perkara. Misalnya saja ditilik pada kasus seorang aktris, Zarima yang menjadi pelaku penyalahgunaan narkotika karena memiliki 30 ribu pil ekstasi. Saat hakim memutus Zarima bersalah dan dipidana di tahun 1996, UU Narkotika belumlah dibuat. Setahun kemudian barulah UU ini muncul, tapi hakim sebelumnya sudah terlebih dulu memutus pidana karena menganggap obat yang dimiliki Zarima berbahaya.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti