Menuju konten utama

Mereka yang Tersingkir Karena Proyek MRT

Proyek MRT di satu sisi memang jadi solusi atasi kemacetan. Namun di sisi lain, ada juga yang tersingkirkan.

Mereka yang Tersingkir Karena Proyek MRT
Anies Baswedan dan Sandiaga Uno serta Pemilik Toko Karpet Serba Indah memukul pagar dengan palu sebagai simbol kesediaan untuk mengeksekusi lahan miliknya, saat meninjau proyek Stasiun MRT Haji Nawi, di Jalan RS Fatmawati, Jakarta, Jumat (20/10/2017). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Sigit merintis toko meubel bergaya Eropa yang diberi nama Megah Sari pada 1988. Toko yang terletak di Jalan Fatmawai, Jakarta Selatan, ini Diwariskan langsung orangtuanya. Sigit, bersama lima orang lain yang juga membuka toko di Jalan Fatmawati dan Jalan Haji Nawi, sepakat menolak pembebasan lahan yang ditawarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Salah satu dari mereka, Mahesh, berubah pikiran saat bertemu Anies Baswedan. Ia menyetujui harga di luar putusan pengadilan untuk pembangunan proyek MRT (Mass Rapid Transit). Sigit tidak sendiri, pemilik toko lainnya juga kecewa dengan keputusan Mahesh.

"Tindakan Mahesh ini tentunya memberi ruang bagi Pemprov DKI Jakarta untuk melanggar hukum," terang Sigit kepada Tirto saat ditemui di kantornya, Sabtu, (21/10/2017).

Baca juga: Anies-Sandi Datang, Warga Bilang Mau Lepas Lahan untuk Proyek MRT

Pernyataan Sigit diungkapkan pasca sejumlah pemilik toko mengadakan rapat di tempat Mahesh. Sigit enggan memberi tahu apa persisnya yang mereka bicarakan, namun yang jelas dalam forum itu ada adu debat. Di luar forum itu Sigit juga sempat mendebat Mahesh karena tiba-tiba setuju lahannya dipakai untuk MRT ketika dikunjungi Anies Baswedan, Jumat (20/10/2017).

"Saya berada di lapangan. Saya langsung protes ke dia (Mahesh). Dan saya protes ke Pak Anies, 'Pak itu pendapat Pak Mahesh sendiri,ya, bukan pendapat kami.' Pak Anies bilang, 'jangan begitu dong.' Saya bilang, 'gak bisa, kami sebagai warga negara yang baik itu taat hukum,'" katanya.

Sigit bukannya menolak digusur sama sekali. Sempat diputus bahwa ganti rugi sebesar Rp 60 juta per meter persegi oleh PN Jakarta Selatan Juni lalu, pihak Pemprov DKI Jakarta malah mengajukan kasasi karena menganggap besaran ganti rugi itu terlampau besar. Saat ini persoalan tersebut masih menggantung di Mahkamah Agung (MA).

Sigit sebenarnya mau saja melepas lahannya itu dengan harga yang ditetapkan pengadilan. Pun nominalnya lebih besar ketimbang penaksiran harga oleh bank (appraisal), Rp 33 juta per meter persegi.

Tanah Sigit sendiri luasnya sekitar 110 meter persegi. Jika ditebus Rp 60 juta/meter, maka Sigit akan mendapat Rp 6,1 miliar, nominal yang dianggapnya wajar mengingat kerugian materiil yang telah dialami serta lokasi yang terbilang strategis.

Baca juga: Soal Lahan MRT, LBH Jakarta: Pemprov Harus Tunggu Putusan Kasasi

Proyek MRT Yang Dianggap Mematikan Pebisnis

Toko meubel di Jalan Fatmawati Nomor 35 itu tampak sepi meski hari itu libur. Di depan tokonya ada tiang balok dengan lebar kurang lebih satu meter yang dibatasi dengan seng. Bagian kecil dari proyek MRT itu berada di tengah-tengah halaman parkir toko milik Sigit. Akibatnya, arus lalu lintas harus dibelokkan dan memakan satu ruas jalan jalur sebaliknya.

Sejak proyek transportasi massal ini bergulir, bisnis Sigit seret. Ia menyalahkan proyek yang sedang berlangsung. Tiang yang ada di mana-mana itu menambah kumuh dan macet lingkungan sekitar. Apalagi nanti persis di depan tokonya itu akan dibangun stasiun pemberhentian daerah Cipete Raya. Faktor-faktor ini yang menurut Sigit membuat orang enggan melewati Jl. Fatmawati.

Hingga hari ini saja, Sigit mengaku sudah memberhentikan dua karyawan toko dan puluhan pegawai bengkel. Omzetnya menurun hingga 50 sampai 60 persen dibanding sebelum ada proyek.

Menurut Sigit, efisiensi semacam ini juga dilakukan pemilik toko lain.

Baca juga: Lahan MRT: Anies Janjikan Pendekatan Berbeda dengan Ahok

Sepanjang jalan Fatmawati, sekurang-kurangnya ada lima toko bertuliskan "Disewakan/Dijual". Bahkan beberapa toko memasang plang bertuliskan "Tetap Buka" agar tidak dikira bangkrut oleh pelanggannya. Toko-toko ini yang menurut Sigit juga telah melakukan efisiensi. Malah sebagian besar memilih tutup dan menyewakan ke orang lain sebelum benar-benar bangkrut.

"PHK ini tidak kelihatan di permukaan, tapi sudah dilakukan," akunya.

Selain toko, Jl. Fatmawati sendiri tampak lengang. Sama lengangnya dengan toko-toko yang tersisih oleh proyek.

"Tidak ada yang datang. Hanya wartawan saja," kata Hery, pengusaha toko marmer di Jl. Fatmawati Nomor 41, seberang toko Mahesh.

Hery, sebagaimana Sigit, juga mengaku bisnis yang sudah dijalankan sejak 1980an ini sedang tidak baik. Ia sudah tidak mengingat kapan tepatnya mulai berkecimpung secara serius karena sama seperti Sigit, bisnis marmer itu adalah warisan orangtua.

Proyek MRT yang melintasi Jl. Fatmawati bukan proyek baru. Fauzi Bowo atau Foke bahkan sudah meresmikan proyek MRT ini di Lebak Bulus pada April 2012 menjelang ia lengser digantikan Joko Widodo. Proyek ini dikebut pada masa Jokowi menjabat gubernur DKI, dilanjutkan oleh Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot. Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menjadi gubernur kesekian saat proyek ini masih berjalan.

Penolakan Sigit, dkk., juga bukan baru-baru ini saja terjadi. Persoalan yang dihadapi Sigit, dkk., belum tuntas di masa kepemimpinan Basuki atau Ahok dan Djarot. Kini giliran Anies yang mesti menuntaskan persoalan ini.

Anies mengatakan bahwa pembebasan lahan yang masih dalam sengketa menjadi prioritasnya.

"Kita instrUksikan kepada Walikota [Jakarta Selatan] supaya dieksekusi, bebaskan lahannya, pastikan proyek ini tidak berhenti. Kita melihat kepentingan nasional yang amat bsar dalam proyek ini," katanya saat meninjau lokasi (20 Oktober 2017).

Baca juga artikel terkait PROYEK MRT atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Rio Apinino
Editor: Zen RS