tirto.id - Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Aldo Felix January mengingatkan Pemerintah Provinsi (pemprov) DKI Jakarta untuk tidak memaksakan pembebasan lahan warga di Jalan Haji Nawi, Fatmawati, Jakarta Selatan selama proses hukum kasasi di Mahkamah Agung (MA) masih berlangsung.
Menurut Aldo, pemprov bisa dikategorikan melakukan penggusuran paksa jika bersikeras membebaskan lahan warga sebelum proses hukum selesai. Kepentingan umum, lanjutnya, tidak bisa menjadi dalil pemerintah untuk mengabaikan proses hukum.
“Kepentingan umum seharusnya ditentukan bersama dengan masyarakat,” kata Aldo saat dihubungi Tirto, Sabtu (21/10). “Anies-Sandi saya harapkan dapat mengubah pendekatan dari para Gubernur DKI Jakarta terdahulu.”
Maruli Rajagukguk, mantan pengacara LBH Jakarta, juga meminta pemerintah bersabar dalam proses eksekusi lahan di Jalan H. Nawi. Seperti Aldo, Maruli berpendapat meski pembebasan diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pembebasan lahan bisa dikategorikan sebagai pemaksaan apabila tidak melalui kesepakatan antara kedua belah pihak.
“Pemerintah tidak boleh memaksa masyarakat menjual tanah kepada pemerintah. Ia harus berdialog secara tulus dan menjelaskan kepentingan umumnya dan menjelaskan maksud-maksudnya kepada masyarakat,” ujar Maruli.
Sampai saat ini, ada beberapa keluarga yang menolak pembebasan lahan di Jalan Haji Nawi. Mereka tidak setuju dengan harga appraisal (perkiraan) yang sudah ditetapkan pemprov melalui pihak ketiga. Pemprov menawarkan harga lahan Rp30 juta per meter persegi hingga Rp33 juta per meter persegi, sedangkan permintaan pemilik lahan adalah Rp140 juta sampai Rp 150 juta. Artinya, belum ada kesepakatan di antara kedua belah pihak. Proses hukum di MA pun belum selesai.
Maruli mengatakan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, harus bisa menjelaskan maksud dan tujuannya dengan baik kepada masyarakat untuk meminta pembebasan lahan. Tidak selayaknya kepentingan negara atau kepentingan umum melanggar hak asasi manusia sebagai warga negara, imbuhnya.
Jika pemerintah mengatasnamakan kepentingan umum untuk membebaskan lahan, pemerintah bisa dianggap melanggar HAM, lanjutnya. “Seharusnya [yang dilakukan pemprov adalah] meminta supaya MA mempercepat proses hukumnya, sehingga ada kepastian hukum. Itu lebih baiknya,” imbuh Maruli lagi.
Kemarin, (Jumat, 20/10), Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno sempat meninjau lokasi pembangunan MRT di Jalan Haji Nawi. Ia tiba-tiba disambangi oleh pemilik toko Karpet Serba Indah yang bernama Mahesh, salah satu warga yang sebelumnya menolak lahannya digusur.
Baca Juga:
- Anies-Sandi Datang, Warga Bilang Mau Lepas Lahan untuk Proyek MRT
- Anies Berjanji Tak Gusur Warga Miskin
- Sandiaga Uno Berjanji Tak Gusur PKL
“Bahwa proses pengadilan berjalan silakan saja tapi keputusannya, kan, soal harga. Berapa harga yang diputuskan, kedua pihak akan tunduk, tapi tanah tetap harus bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan publik,” terang William.
Hingga kini, daerah sekitar tempat tersebut masih berfungsi sebagai pertokoan, di antaranya toko karpet milik Mahesh, toko mebel, dan beberapa toko lain. Namun, William meyakinkan mulai minggu depan daerah tersebut akan dibebaskan demi pembangunan proyek MRT.
“Paling lambat minggu depan dieksekusi. Ini masalah waktu saja, mau diserahkan kemarin atau minggu depan. Jadi, sejak kemarin teman-teman sudah memasang fondasi di titik yang diserahkan,” katanya.
Selama ini, proyek pembebasan tersebut tidak dipaksakan karena pihak pemprov masih mengajukan kasasi. Namun, menurut William, setelah Anies dan Sandi ke lokasi MRT kemarin, pembebasan lahan diputuskan untuk dijalankan.
“Kemarin gubernur dan wakil gubernur turun untuk menegaskan bahwa keputusan MA silakan jalan, tapi lahan itu harus bisa dieksekusi tanpa menunggu keputusan MA,” tandas William.
Kedatangan Anies-Sandi kemarin memang bertujuan untuk menuntaskan masalah pembebasan lahan yang menyebabkan proyek MRT terganggu. Anies menjelaskan, sebanyak 4 rumah atau ruko masih belum mau melepaskan lahannya untuk pembangunan MRT di Jalan Fatmawati.
“173 ribu orang akan lewat jalur ini setiap hari dan kami ingin memastikan Maret 2019 sudah jadi [proyek MRT Fatmawati]," ujar dia.
Dia memastikan akan menggusur lahan yang menghambat proyek MRT. Menurutnya, biaya akan menjadi lebih besar jika proyek ini tidak dituntaskan secepatnya. "Minggu depan akan kita lihat pelaksanaan eksekusinya," ujar Anies.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar & Maulida Sri Handayani