tirto.id - Graeme Whiting hanya bisa menelan ludah saat teman-teman kelasnya terbahak-bahak menikmati novel Shakespeare. Ia merasa heran karena tak mampu mencerna alur cerita dalam novel. Suatu beban yang tak masuk akal baginya.
Begitu pula ketika mendapat tugas mengulas buku. Dalam blognya thedyslexicstudent.wordpress.com, Whiting bercerita dirinya selalu melanggar tenggat karena lamban membaca. Alhasil, ia dipermalukan di depan kelas karena dianggap malas dan bodoh. Sejak saat itu ia lebih memilih gitar demi menghindari buku.
Ketika masuk ke perguruan tinggi, ia masih penasaran dan mulai berkonsultasi dengan dosennya. Setelah berbincang-bincang, sang dosen memberitahu bahwa persoalan itu disebabkan oleh disleksia.
Whiting tidak sendiri. Seorang bocah delapan tahun bernama Evan juga mengalami hal sama. Meski mampu menghafal satu per satu pemain bisbol dalam sepuluh pertandingan World Series, Evan memiliki kendala saat membaca tentang bisbol.
Ia membutuhkan waktu yang sangat lama untuk membaca setiap kata dalam seluruh kalimat. Evan harus menebak huruf yang ia baca. Suatu kali ia diminta gurunya membaca keras di depan kelas. Alhasil, ia ditertawakan karena salah mengucapkan kata-kata, hal itu membuatnya malu dan stres.
Graeme Whiting dan Evan hanya contoh kecil dari jutaan pengalaman buruk penderita disleksia. Menurut laporan Austin Learning Solutions, hampir 40 juta orang dewasa di Amerika telah menderita disleksia. Parahnya, dari sekian banyak itu, hanya 2 juta yang benar-benar mengetahui.
Sementara menurut Asosiasi Disleksia Indonesia, 10 hingga 15 persen anak sekolah di seluruh dunia juga menyandang disleksia. Dari 50 juta anak sekolah di Indonesia, 5 juta di antaranya mengidap gangguan itu.
Apa sebenarnya disleksia?
Seperti ditulis Mayo Clinic, disleksia adalah gangguan belajar yang ditandai dengan kesulitan membaca karena bermasalah dalam mengidentifikasi huruf dan kata. Banyak penderita disleksia yang tidak menyadari hal itu selama bertahun-tahun.
Meski demikian, gejala disleksia bisa dideteksi melalui beberapa hal, seperti lambat dalam belajar bicara, lambat dalam mempelajari kata-kata baru, kesulitan dalam mengingat urutan, kesusahan dalam melihat persamaan dan perbedaan huruf dan kata, serta kesulitan dalam mengeja.
Sementara, gejala umum pada orang dewasa adalah: kesulitan membaca hal-hal yang berat, kesusahan memahami lelucon dari idiom-idiom tertentu, kesulitan memanajemen waktu, meringkas cerita, belajar bahasa asing, dan menghafal.
Penyembuhan Disleksia
Meskipun gangguan ini sulit dideteksi, disleksia bisa disembuhkan melalui beberapa cara, salah satunya dengan menjalani program Dyslexia Dyspraxia and Attention Treatment (DDAT) yang ditemukan oleh pengusaha Wynford Dore.
Dore mengaku menemukan pengobatan ini di saat putrinya bernama Susie didiagnosis disleksia berat yang menyebabkan ia depresi berat dan hampir bunuh diri. Setelah diberitahu bahwa tidak ada obat untuk disleksia, Dore mulai bekerja dengan tim peneliti untuk menyelidiki gangguan ini.
Program ini bertujuan untuk merangsang otak dengan serangkaian latihan, seperti berjalan mundur di lantai dengan mata tertutup, melemparkan bean bag dari satu tangan ke tangan lain, berdiri di papan goyangan atau berdiri di atas bola.
Metode Dore juga melatih keseimbangan dengan latihan sensorik yang dirancang untuk menstimulasi daerah otak kecil yang terlibat dalam belajar membaca dan mengendalikan perhatian.
Dilaporkan Daily Mail, Profesor David Reynolds dari Exeter University selaku penasihat pemerintah terkemuka di bidang pendidikan dan Profesor Rod Nicholson dari Sheffield University melakukan studi selama tiga tahun untuk menguji program ini.
Mereka menguji sekitar 269 anak-anak berusia 8 hingga 11 tahun. Dari jumlah itu, 35 anak positif mengidap disleksia. 35 anak itu akhirnya diberi serangkaian latihan selama 10 menit yang dilakukan di rumah sebanyak dua kali sehari: pagi dan malam.
Guna memeriksa kemajuan masing-masing anak, para peneliti meminta mereka untuk menyelesaikan berbagai tes setiap enam bulan. Setiap tahunnya mereka akan dinilai untuk melihat skor membaca, matematika, menulis dan pemahaman tentang sesuatu hal.
Hasil penelitian itu tidak lagi menunjukkan adanya disleksia pada anak. Hasil ujian itu juga menunjukkan bahwa anak-anak disleksia yang mengikuti program itu memperlihatkan hasil yang lebih baik daripada teman sekelas mereka.
Salah satu guru yang terlibat dalam penelitian itu mengatakan, pendekatan ini memiliki dampak yang besar pada anak-anak dan hal itu terbukti mampu menyembuhkan disleksia.
Selain di luar negeri, sejumlah pihak di Indonesia juga telah menemukan aplikasi yang dapat membantu penyandang disleksia. Desember 2014 lalu, Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang tergabung dalam kelompok NextIn Indonesia menghibahkan aplikasi LexiPal ke beberapa institusi pendidikan dan kesehatan, LexiPal adalah sebuah aplikasi belajar membaca yang dapat membantu anak-anak disleksia.
Aplikasi itu ditujukan untuk anak-anak usia 5-7 tahun dengan 12 konten yang meliputi bentuk dan pola, persamaan-perbedaan, ingatan jangka pendek, asosiasi objek, persepsi arah, urutan aktivitas, pemahaman tempat, konsep waktu, keterampilan sosial, huruf, suku kata dan kata, dan kalimat sederhana.
Walaupun cara ini telah ditemukan, tapi Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan penanganan disleksia di Indonesia masih mengalami beberapa keterbatasan seperti kurangnya tenaga ahli yang terlatih dan sistem deteksi gejala sejak dini. Selain itu, pengetahuan terhadap disleksia baik secara klinis maupun praktis juga masih minim.
Keunggulan di Bidang Seni
Meski disleksia telah menjadi momok bagi banyak orang, penelitian akhir-akhir ini menemukan hal yang berbeda. Para psikolog dari Middlesex University menemukan ada kaitan antara bagusnya kemampuan ruang atau spasial dengan disleksia, yang bisa menjelaskan orang orang yang diduga disleksia seperti Leonardo da Vinci, Pablo Picasso, dan Auguste Rodin bisa jadi master di bidang seni.
Penelitian itu menunjukkan bahwa laki-laki yang mengalami disleksia bisa memproses informasi visual 3D dibandingkan populasi secara umum. Kemampuan visuospasial ini adalah kunci untuk sukses dalam bidang-bidang seperti seni, arsitektur, dan desain.
“Ada bukti yang menunjukkan bahwa laki-laki secara umum punya kesadaran spasial yang lebih baik dibanding perempuan dalam beberapa pekerjaan. Sehingga perhatian yang lebih pada kesadaran spasial oleh para pembaca disleksia lebih mungkin terjadi pada laki-laki ketimbang perempuan," kata Dr. Nicola Brunswick, salah satu penelitinya, seperti dipacak pada situs Middlesex University mdx.ac.uk.
Ia juga mengatakan penderita disleksia laki-laki akan cenderung menyelesaikan masalah dengan berpikir dan mengerjakan sesuatu ketimbang dengan berbicara. Hal inilah yang membuat mereka mengembangkan keterampilan visual yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan di dunia seni dan kreatif.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Maulida Sri Handayani