tirto.id - Demi mengerem kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, suku bunga acuan BI 7-Day Repo Rate kembali naik 25 basis poin menjadi 4,75%, Rabu (30/5). Sebelumnya, pada 17 Mei lalu, Bank Indonesia (BI) sudah mengerek suku bunga acuan ini ke level 4,5%, setelah lama bertahan di angka 4,25% sejak 22 September 2017.
Bukan cuma itu upaya BI. Bank sentral juga aktif melakukan intervensi pasar. Akibatnya, sepanjang April lalu, cadangan devisa menyusut sekitar US$ 1,14 miliar menjadi US$ 124,86 miliar. Bank sentral juga rajin membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Selama 25 Januari – 25 Mei, kepemilikan bersih BI di SBN meningkat Rp 108,3 triliun atau 69,5%, dari Rp 47,57 triliun menjadi Rp 155,87 triliun. Dengan demikian, porsi kepemilikan BI bertambah signifikan, dari hanya 2,26% menjadi 7,12%.
Sesaat setelah dilantik, Kamis (24/5), Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, stabilitas nilai tukar rupiah menjadi prioritasnya. Untuk jangka pendek, ia menyiapkan empat langkah, yakni kebijakan suku bunga yang lebih responsif, intervensi pasar dengan cara memasok valuta asing dan membeli SBN dari pasar sekunder, kerjasama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk stabilisasi rupiah, serta menggelar pertemuan dengan bankir dan pelaku usaha untuk meyakinkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia masih positif.
Menengok ke belakang, tren pelemahan rupiah mulai terlihat sejak akhir Januari silam. Setelah menguat hingga posisi Rp 13.289 per dollar AS (25/1), rupiah cenderung terus melemah. Akhirnya, pada 7 Mei lalu, rupiah menembus angka Rp 14.000, yang dianggap sebagai level psikologis rupiah. Pemicunya, pemerintah mengumumkan pertumbuhan ekonomi tidak sesuai ekspektasi. Produk domestik bruto (PDB) kuartal pertama hanya tumbuh 5,06%. Padahal, para analis berharap, PDB tumbuh 5,18%. Tak pelak, investor pun panik dan lari keluar dari aset dalam mata uang rupiah.
Pernyataan Perry, yang segera diikuti dengan tindakan riil, cukup membantu memperbaiki nilai tukar rupiah. Menyusul kenaikan bunga acuan, rupiah kembali menguat ke Rp 13.995 per dollar AS. Memang, dihitung sejak awal tahun, rupiah masih tercatat melemah 3,23%. Namun, posisi ini sudah lebih baik, mengingat akhir pekan lalu (25/5), rupiah masih terpuruk di Rp 14.125 per dollar AS. Bahkan, dua hari sebelumnya, sempat menyentuh Rp 14.209, nilai terendah sejak Oktober 2015. Posisi ini menjadikan rupiah sebagai valuta dengan kinerja terburuk kedua di kawasan Asia.
Tekanan pada Rupiah Masih Besar
Apakah posisi rupiah sudah aman? Belum. Dari sisi suplai valuta sebagai benteng pertahanan rupiah, cadangan devisa kita per April lalu tinggal US$ 124,86 miliar. Angka ini hanya sekitar 12,3% dari produk domestik bruto (PDB) 2017 yang sebesar US$ 1.015,41 miliar. Sementara, aktivitas perdagangan internasional juga tidak bisa diandalkan karena kita lebih banyak mengimpor ketimbang mengekspor. Selama empat bulan pertama 2018, neraca perdagangan kita masih mengalami defisit US$ 1,31 miliar.
Padahal, dari sisi permintaan, kebutuhan akan dolar AS justru cenderung meningkat, terutama untuk pendanaan impor dan pembayaran utang, baik pokok jatuh tempo, cicilan utang, maupun bunga.
Pada triwulan pertama tahun ini, pemerintah menambah utang dalam valuta asing (valas) lewat penerbitan sukuk global senilai US$ 3 miliar. Artinya, ada tambahan kebutuhan dolar untuk membayar kuponnya. Pada saat yang sama, pemerintah memiliki pinjaman dari kreditur asing sebesar US$ 56,3 miliar. Sulit mencari angka pasti, berapa utang valas yang jatuh tempo tahun ini. Yang jelas, per September tahun lalu, total SBN valas mencapai US$ 62,91 miliar. Ini baru utang dari sisi pemerintah. Belum lagi bicara utang valas dari sektor privat dan kebutuhan dolar AS dari individu.
Sementara itu, selama empat bulan pertama, impor kita melonjak 19,12% atau US$ 11,48 miliar menjadi US$ 60,05 miliar. Ke depan, bisa dipastikan angkanya akan bertambah, terutama dipicu belanja minyak. Tahun ini, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) kita diperkirakan mencapai 75 juta kiloliter, meningkat dari 66,94 juta kiloliter pada 2016. Celakanya, menjelang akhir 2016, harga minyak global kembali merambat naik. Walhasil, sebagai negara importir minyak, pemerintah membutuhkan dolar lebih banyak untuk belanja BBM.
Sebagai gambaran, rata-rata harga jenis West Texas Intermediate (WTI) hanya US$ 43,15 per barel pada 2016. Namun, tahun lalu harganya sudah mencapai US$ 50,88 per barel dan tahun ini diperkirakan mencapai rata-rata US$ 63,73 per barel. Harga jenis Brent bahkan bergerak lebih lebar. Jika harga rata-rata pada 2016 hanya US$ 43,55 per barel, tahun lalu sudah bertambah lebih dari US$ 10 menjadi US$ 54,25 per barel. Tahun ini diperkirakan harga rata-ratanya mencapai US$ 63,13 per barel.
Bahkan, sangat mungkin, harga Brent akan melenting lebih tinggi didorong perkembangan terbaru di industri pelayaran. Belum lama ini, International Maritime Organization (IMO) mengeluarkan aturan baru yang berlaku mulai 2020. Kelak, kapal-kapal tidak boleh lagi memakai bahan bakar dengan kandungan sulfur di atas 0,5%. Angka ini turun drastis dari batas yang diperbolehkan saat ini, yakni 3,5%. Morgan Stanley memperkirakan, harga Brent pada 2020 akan kembali ke kisaran US$ 90 per barel.
Pada perdagangan akhir pekan lalu, sekitar pukul 20.00 WIB, harga minyak mentah WTI dan Brent sudah cukup tinggi, masing-masing US$ 68,86 dan US$ 76,90 per barel. Padahal, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, pemerintah memakai asumsi harga minyak US$ 45 per barel.
Pada saat harga dan konsumsi minyak cenderung meningkat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru meminta harga BBM jenis premium dan solar, serta tarif listrik tidak naik hingga akhir 2019. Kebijakan ini bisa membuat defisit transaksi berjalan Indonesia melebar, yang berarti tambahan tekanan pada rupiah. Tahun lalu, defisit transaksi berjalan tercatat US$ 17,3 miliar atau 1,7% dari PDB. Tahun ini, mantan gubernur BI Agus Dermawan Wintarto Martowardojo memperkirakan, defisit akan melebar jadi US$ 23 miliar atau 2,3% dari PDB. Pada kuartal I-2018, transaksi berjalan terdata defisit US$ 5,5 miliar.
Dari luar negeri, tren kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) masih mengancam rupiah. Federal Reserve mengisyaratkan, akan mengerek suku bunganya dua kali tahun ini, dari 1,75% saat ini menjadi 2%. Tak berhenti di sini, bank sentral AS ini diprediksi menaikkan bunganya ke 2,5% tahun depan dan 3% pada 2020. Kenaikan suku bunga ini mendorong imbal hasil obligasi pemerintah AS. Saat ini saja, imbal hasil T-bonds bertenor 10 tahun sudah di atas 3%.
Alhasil, minat investor terhadap aset dalam rupiah menurun. Tengok saja hasil lelang Surat Berharga Negara (SBN) terakhir pada 8 Mei lalu. Dari lima seri yang ditawarkan, pemerintah berharap bisa menyerap Rp 17 triliun – Rp 25,5 triliun. Apa daya, penawaran yang masuk hanya mencapai Rp 7,18 triliun. Sudah begitu, investor meminta imbal hasil tinggi. Akhirnya, pemerintah memutuskan tidak memenangkan satu pun penawaran yang masuk.
Beruntung, selama empat bulan sebelumnya, pemerintah sudah berhasil meraup Rp 414,52 triliun atau 45% dari target penerbitan SBN tahun ini. Namun, rendahnya penawaran yang masuk serta tingginya permintaan imbal hasil sudah seharusnya menyalakan alarm bagi pemerintah. Apalagi, dana asing yang keluar dari pasar modal sudah cukup besar.
Masalah Klasik Dana Panas
Sejatinya, masalah dana panas yang keluar masuk pasar modal merupakan persoalan klasik yang memengaruhi pelemahan dan penguatan rupiah. Pasalnya, kehadiran asing cukup dominan, baik di pasar saham maupun surat utang. Di pasar saham, porsi kepemilikan asing bisa lebih dari 50%. Sementara, kepemilikan asing di SBN sempat mencapai 41,1%. Tak heran, saat mereka bernafsu masuk pasar modal, serta merta rupiah akan menguat. Sebaliknya, bayangkan apa yang terjadi ketika mereka ramai-ramai keluar dari bursa. Rupiah pun bisa keok.
Pelemahan rupiah belakangan ini pun tak lepas dari peran aliran dana panas di pasar modal tersebut. Sebelum rupiah jatuh ke Rp 14.209 per dollar AS pada Rabu (23/5), investor asing membukukan jual bersih (netsell) selama 21 hari nonstop, dari 20 April hingga 22 Mei 2018. Setelah itu, empat hari berturut-turut, asing kembali membukukan beli bersih (net buy). Namun, ditambah net sell kemarin, total jual bersih asing sejak awal tahun masih mencapai Rp 39,42 triliun. Bahkan, dalam setahun, nilainya mencapai Rp 103,08 triliun!
Aksi jual oleh investor asing juga terjadi di pasar obligasi atau surat utang. Data per 24 Mei memperlihatkan, asing memiliki Surat Berharga Negara (SBN) sebanyak Rp 829,81 triliun. Padahal, pada 23 Januari, kepemilikan asing sempat mencapai Rp 880,2 triliun. Artinya, dalam kurun waktu itu, dana asing yang keluar dari pasar obligasi pemerintah mencapai Rp 50,39 triliun.
Memang, keluar dari pasar saham dan obligasi, belum tentu asing langsung menukar uangnya ke dalam dolar AS. Mungkin saja, sebagian uang itu masih bertahan di rupiah dan menunggu waktu yang (dirasa) tepat untuk kembali masuk ke pasar. Namun juga tak bisa dipungkiri, ada korelasi kuat antara keluarnya asing dari pasar modal dengan pelemahan rupiah.
Kendati persoalan itu sudah lama disadari, regulator sejauh ini mengatasinya dengan cara-cara lama. Empat langkah yang disiapkan Perry pun sejatinya tak ada yang baru dan mengejutkan. Padahal, pelemahan rupiah tersebut bisa berdampak ke mana-mana, seperti tambahan beban pada keuangan negara, lonjakan biaya impor bahan baku mengerek harga jual produk di dalam negeri, hingga pelemahan daya beli, yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
Melihat dampak aliran dana panas itu, seharusnya bank sentral dan regulator lainnya, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) bisa bekerjasama membuat aturan yang lebih efektif untuk meredam gejolak rupiah. Melihat besarnya faktor kepemilikan asing, aturan-aturan itu harus mampu menyasar dua hal. Pertama, bagaimana dana asing itu tidak terlalu gampang keluar masuk. Kedua, meningkatkan kepemilikan investor domestik di pasar saham maupun obligasi.
Mendorong Investasi Lokal
Untuk meminimalkan aktivitas spekulasi, Indonesia mungkin bisa belajar dari Cina. Regulator bursa negeri Panda ini menetapkan minimal masa pegang atau holding period di saham selama satu hari. Selain itu, Cina membatasi kepemilikan asing di saham, yakni sekitar US$ 200 miliar atau 2,5% dari total kapitalisasi pasar saham yang berkisar US$ 8 triliun. Tak cuma itu, Cina juga membatasi pergerakan harga saham harian tak lebih dari 10%. Begitu batas ini tersentuh, transaksi saham langsung dibekukan sementara. Di sini, BEI menerapkan aturan auto rejection yang jauh lebih longgar, yakni 20%-35%, tergantung harga saham.
Besarnya porsi kepemilikan asing di SBN juga membawa risiko terhadap stabilitas rupiah. Pada periode 23 Januari – 24 Mei, kepemilikan asing di SBN berkurang sekitar 3,21% menjadi 37,89%. Namun, pada periode tersebut, nilai rupiah terpangkas 6%. Untuk mencegah spekulasi di SBN, bisa saja pemerintah menimbang penerapan minimal holding period, seperti pada Savings Bond Ritel (SBR).
Tentu saja, pengetatan aturan bisa berisiko menyurutkan minat investor terhadap pasar modal Indonesia. Namun, apabila ke depan kinerja rupiah terus memburuk, mungkin langkah yang lebih ekstrem perlu dipertimbangkan.
Cara yang lebih aman, pemerintah perlu mengurangi ketergantungan pada dana asing dengan mendorong lebih banyak investor lokal masuk ke pasar modal. Mata uang di pasar berkembang lainnya di Asia terbukti lebih stabil lantaran porsi kepemilikan asing di obligasi pemerintah mereka tak sebesar Indonesia. Sebut saja, porsi asing di obligasi pemerintah Malaysia hanya sekitar 25%, Thailand 15%, dan Korea Selatan 10%.
Kondisi ini juga membuat pasar obligasi lebih tahan terhadap perubahan kondisi dari luar, seperti suku bunga The Fed. Ambil contoh, sejak awal Januari lalu, imbal hasil obligasi pemerintah Malaysia bertenor 10 tahun hanya naik 30 basis poin. Sementara, imbal hasil obligasi pemerintah RI naik 136 basis poin. Ini membuat beban pemerintah makin berat ketika akan menerbitkan surat utang baru.
Boleh dibilang, belakangan kebijakan pemerintah sudah mengarah ke sana. Untuk mendorong investasi ritel di SBN (Surat Berharga Negara), pemerintah menerbitkan beberapa jenis obligasi dengan modal mini dan tenor pendek, namun dengan keuntungan yang lebih tinggi daripada deposito. Sebut saja, Obligasi Ritel Indonesia (ORI) dan Sukuk Ritel Indonesia (Sukri) yang bertenor sekitar 3 tahun, dengan modal minimal Rp 5 juta. Yang terbaru, SBR dengan tenor 2 tahun dan modal minimal Rp 1 juta.
Namun, agar porsi kepemilikan asing turun secara signifikan, investor lokal perlu didorong berbelanja lebih banyak SBN lewat pasar sekunder. Ini bukan hal yang mustahil. Masyarakat kita sebenarnya punya daya yang cukup besar. Tengok saja, jumlah deposito masyarakat di perbankan. Per Maret silam, nilainya mencapai Rp 2.415,7 triliun! Bayangkan bila 10% saja dari dana tersebut berpindah ke pasar SBN. Tentu, pasar obligasi kita akan menjadi lebih tahan banting terhadap goncangan dari luar.
Bagi masyarakat, berinvestasi di SBN sebenarnya juga lebih menguntungkan ketimbang mendiamkan dana di deposito. Sebagai gambaran, bunga deposito satu tahun saat ini berkisar 3,5% - 5,9%, sementara imbal hasil SUN bertenor 10 tahun akhir pekan lalu sebesar 7,86% per tahun. Sudah begitu, pemerintah hanya memungut pajak 15% atas kupon obligasi sementara pajak atas bunga deposito sebesar 20%. SBN juga seaman deposito karena dijamin pemerintah. Enaknya lagi, investor bisa mencairkan sewaktu-waktu jika membutuhkan dana.
Tak ada salahnya, membantu pemerintah meredam gejolak rupiah sekaligus mendapatkan keuntungan lebih tinggi.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.