tirto.id - “Ini, ini tidak nyata?” tanya Neo sambil menyentuh sofa di depannya.
Neo tidak mengerti. Baru saja ia berada di dalam pesawat yang menyusuri kehancuran dunia. Dunia yang sudah dikuasai dan diporak-poranda oleh mesin. Lalu dengan sebuah sambungan kabel di tengkuk belakang kepalanya, Neo mendadak berada di ruang hampa berwarna putih tanpa ada apapun. Kecuali Morpheus, sosok yang sedang menjelaskan apa itu dunia matrix, dan dua sofa dengan satu televisi di depannya.
“Apa itu nyata?” Morpheus balik bertanya kepada Neo yang kebingungan. “Bagaimana kamu mendefinisikan kenyataan?” lanjutnya.
“Jika kamu bicara mengenai apa yang bisa kamu rasakan, apa yang kamu cium, apa yang kamu rasakan, dan apa yang kamu lihat, maka ‘nyata’ hanyalah sinyal elektrik yang ditafsirkan oleh otakmu,” jelas Morpheus.
Morpheus kemudian menyalakan televisi. Menjelaskan, dunia macam apa yang selama ini ditinggali oleh Neo. Dunia matrix. Sebuah dunia simulasi realitas.
Ini adalah adegan di mana tidak hanya Neo (Keanu Reeves) yang diberi penjelasan mengenai dunia matrix, namun juga penonton. Sebuah dunia simulasi yang diciptakan Artificial Intelligence (AI), kecerdasan buatan. Adegan yang muncul pada film The Matrix pertama dari triloginya (The Matrix Reloaded dan The Matrix Revolutions) yang dirilis 31 Maret 1999.
Awalnya, film ini dipuji karena permainan efek visualnya yang tergolong revolusioner pada eranya. Salah satu yang fenomenal dan ikonik adalah adegan “waktu peluru”. Peluru melambat tapi sudut pandang kamera bergerak dalam kecepatan normal mengitari Neo yang sedang menghindari tembakan.
Sebenarnya, bukan The Matrix yang pertama kali menggunakan efek visual ini. Film Blade telah lebih dulu menggunakannya pada 1998. Ada juga film Lost in Space (1998), The Return of the Pink Panther (1975), video klip Van Halen "Without You" (1998), dan klip dari Garbage untuk "Pust It" (1998). Beberapa film dan video musik yang juga menggunakan efek hampir sama.
Kelebihan “waktu peluru” waktu itu adalah karena pergerakan kameranya mampu merekam 12.000 frame per detik, sehingga bisa menghasilkan gambar jauh lebih lambat untuk memberi kesan dramatis dengan pergerakan sudut kecepatan normal. Wachowski mengakui sajian visual ini terinspirasi oleh film animasi Jepang: Ghost in the Shell dan Akira.
Selain kesuksesannya menghasilkan $171 juta di Amerika Serikat dan $456 juta di seluruh dunia ini, ada hal lain yang menakjubkan dari The Matrix. Untuk kali pertama dalam dunia sinema, ada upaya pengejawantahan gagasan teoretikus kebudayaan Jean Baudrillard melalui film yang mendapatkan empat penghargaan Oscar pada 1999 ini.
Film dari Andy dan Larry Wachowski (kini Lilly dan Lana) ini juga melontarkan ihwal hiperrealitas: kondisi di mana manusia tidak bisa membedakan antara yang nyata dengan yang simulasi.
Melihat begitu suksesnya trilogi The Matrix, pada pertengahan pekan lalu (18/3) muncul informasi bahwa Warner Bros membeberkan rencana untuk membuat reboot film The Matrix.
Namun, seperti dilansir The Independent, Zak Penn, yang disebut-sebut akan menulis skenario reboot The Matrix, malah menjawab kabar itu dengan mempermasalahkan istilah "reboot."
“[Saya] tak bisa berkomentar kecuali menyatakan bahwa kata 'reboot' atau 'remake' datang dari sebuah artikel," ujar penulis naskah The Avengers dan X-Men: The Last Stand ini. "Mari kita berhenti menanggapi berita yang tidak akurat. Bisa saya katakan pada saat ini tidak yang bisa atau harus membuat REBOOT The Matrix,”
Ia kemudian memang memberi sinyal positif.
“Orang-orang yang tahu Animatrix dan komik-komiknya pasti paham. Apakah aku ingin melihat cerita lanjutan dalam semesta The Matrix? Ya," kata Penn. "Lihatlah apa yang dilakukan semua orang dengan X-Men Universe. Antara Logan, Legion, dan Deadpool. Apakah ada yang ingin melihat mereka berhenti [membuat filmnya]? Kalau saya tidak.”
Zak Penn diduga kuat adalah sosok yang akan menulis ulang produksi film The Matrix dengan pemeran utama yang akan diperankan oleh Michael B. Jordan, aktor utama film Creed (sekuel film Rocky Balboa). Warner Bors dikabarkan sedang mempertimbangkan untuk memperluas latar film The Matrix, seperti yang dilakukan Lucasfilm terhadap film Star Wars.
Proyek ini direncanakan akan menjadi prakuel, kejadian sebelum Neo muncul. Sebab, Jordan tidak akan memerankan karakter Neo, melainkan Morpheus yang dulu diperankan oleh Laurence Fishburne. Namun, jika film ini tidak melibatkan Wachowski, secara teknis film ini akan disebut reboot, sekalipun Penn tidak mau menggunakan kata tersebut.
Istilah “reboot” memang kembali mengemuka belakangan ini. Istilah ini sering dicampuradukkan dengan “remake.” Perbedaan keduanya adalah pada jalinan cerita. Film yang disebut "remake” akan diproduksi dengan mempertahankan cerita asli dari film sebelumnya.
Misalnya film King Kong yang diproduksi tahun 1933, di-remake atau dibuat ulang oleh Peter Jackson pada 2005 dengan tambahan teknologi Computer Generated Imagery (CGI). Semua aktornya baru namun alur ceritanya sebagian besar masih sama.
“Reboot” adalah istilah untuk menandai film yang secara alur cerita sudah benar-benar berbeda dengan film terdahulu. Penggarapan ulang film dan inti cerita bisa menyimpang jauh. Ini terjadi dengan Spiderman-nya Tobey Maguire, The Amazing Spiderman-nya Andrew Garfield, sampai Spiderman Homecoming-nya Tom Holland.
Sayangnya, belakangan beberapa film reboot terbukti mengalami banyak kegagalan. Fantastic Four misalnya, sempat dijuluki Fantastic Flop karena hanya punya pendapatan bersih $56 juta. Padahal, angka tersebut adalah target dari rumah produksi Fox Film Corporation dalam sepekan. Angka ini jelas mengecewakan, mengingat Fox sudah menginvetasikan dananya mencapai $120 juta untuk film ini.
Ihwal rencana pembuatan ulang film The Matrix, Warner Bross memang patut hati-hati. Apalagi jika Wachowski tidak dilibatkan. Beberapa film yang mereka tulis memang tidak selalu fenomenal, seperti Jupiter Ascending (2015) yang gagal total. Meski begitu, sentuhan Wachowski masih jadi kunci.
Keanu Reeves sendiri tidak menampik jika Warner Bross benar-benar akan memproduksi lagi film The Matrix. Ia tidak menolak untuk terlibat. Namun, menurut Reeves, Lilly dan Lana Wachowski-lah yang harus membuatnya.
“Mereka [Wachowski bersaudara] yang harus menulis dan menyutradarainya. Lalu baru kita akan lihat apa ceritanya, tapi ya entahlah, kayaknya bakalan aneh, tapi mengapa tidak?"
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Maulida Sri Handayani